Chapter 4.2

45 6 0
                                    

Ryota tak peduli. Saat intro selesai, dia langsung bernyanyi, "Yang ku butuhkan hanyalah satu. Rubahlah ketakutanmu menjadi kepercayaan."

Tamaki tahu lagu ini, dia pun mengeluarkan suaranya.


"Kemana cinta itu pergi

Saat semuanya sudah terucap dan berakhir sudah

Kemana cinta itu pergi

Kau berjalan sampai lari

Kau meminta ku untuk tetap tinggal

Tapi aku belum pernah bertemu gadis yang bisa kupercayai

Kau ucapkan kata-kata seolah kau membenciku sekarang

Kebahagian kita terbakar saat kau pacu amarah

Di sini jiwamu berteriak

Jangan takut dengan awan petir ini."


Fokus pada perasaanmu, perasaan... Mengingat hal ini dalam kepalanya, Tamaki bernyanyi lebih rileks. Orang-orang yang lewat menolehkan kepala penasaran. Reff satu berlalu, sepasang kekasih berhenti dan menonton mereka. Hanya dua orang, Tamaki bisa menanganinya. Namun orang-orang berdatangan lagi, sekitar sepuluh orang menonton 'konser kecil' mereka. Suara Tamaki mulai kaku. Ryota paham lalu dia pun bernyanyi, membantu Tamaki. Mereka bernyanyi berdua sampai lagu selesai.

Tepuk tangan ringan terdengar dari orang-orang yang mendengarkan mereka. Bahkan ada yang ingin memberikan uang, namun Ryota menolak halus. Ryota membalas apresiasi orang-orang dengan senyum senang, dan Tamaki hanya bisa tersenyum canggung. Mereka undur diri, para penonton juga mulai membubarkan diri. Ryota dan Tamaki mencari mesin penjual minuman otomatis, menemukannya dan membeli air mineral.

"Kerja bagus." Ryota melemparkan air mineral yang ditangkap Tamaki dengan baik. Mereka duduk di bangku terdekat dan menegak air mineral.

"Haa... aku gugup sekali tadi." Tamaki sekilas terlihat lelah.

Ryota tertawa kecil. "Kau sudah sangat bagus tadi. Kita hanya perlu membuatmu terbiasa bernyanyi di depan umum."

"Ngomong-ngomong, lagu yang akan kita nyanyikan di festival nanti, itu lagu buatan siapa?" tanya Tamaki.

"Buatan Kentaro dan Yuu," jawab Ryota. "Mereka membuatnya sebelum tahun ajaran baru mulai. Selalu ada saja tiap angkatan klub band yang pandai membuat lagu, takdir yang beruntung." Ryota ingat betapa kerasnya Kentaro dan Yuu membuat lagu itu, mereka selalu menghabiskan waktu barhari-hari di ruang klub.

Tamaki mengangguk paham. Mereka beristirahat tanpa banyak bicara. Berjalan kemari–apalagi Ryota yang membawa beban gitar–lalu latihan bernyanyi, cukup melelahkan juga. Beberapa menit diam, sampai Ryota merasakan setitik air menabrak hidungnya.

"Eh?" Ryota mendongak, dia tidak sadar bahwa langit sedang mendung. Tak lama gerimis turun.

"Uwah! Hujan!" Tamaki berdiri dengan cepat. "Kita harus mencari tempat berteduh!"

"Jangan panik. Aku membawa payung."

Ryota ikut berdiri, menggendong tas gitar di kedua bahunya, lalu mengeluarkan dan membuka payung lipat dari tas sekolahnya.

"Kebetulan sekali kau membawa payung hari ini."

"Sebenarnya aku sengaja membawanya, hari ini memang diramalkan hujan. Kau tidak melihat ramalan cuaca hari ini?"

Tamaki menggeleng. "Sejujurnya aku jarang menonton ramalan cuaca."

Ryota menggunakan payung yang dibawanya untuk melindungi dirinya dan Tamaki dari hujan. Orang-orang yang tidak membawa payung berlarian mencari tempat berteduh. Ketika melewati perumahan, beberapa orang berteduh di toko yang tutup atau di depan kombini.

"Dimana rumahmu?" tanya Ryota. Tamaki menyebutkan sebuah alamat. Ryota mengangguk, "Biar aku antar kau sampai rumahmu."

"Eh? Tidak apa-apa?"

Ryota mengangguk. Mereka terus melewati banyak rumah, satu dua apartemen, toko dan kombini. "Itu rumahku!"

Ryota tiba-tiba menunjuk ke arah kanan, Tamaki menoleh dan melihat Ryota menunjuk salah satu pintu apartemen yang mereka lewati.

"Kau tinggal di apartemen?"

"Iya."

Tidak aneh sebenarnya keluarga tinggal di sebuah apartemen. Namun apartemen yang ditunjuk Ryota barusan adalah apartemen kecil yang biasa-biasa saja. Mungkinkah Ryota tinggal dengan orangtua tunggal? Hanya dengan ayah atau ibunya? Tamaki takut bertanya meski sebenarnya dia ingin tahu. Tamaki akan bertanya jika waktunya terasa tepat.

"Huh? Ini kan berlawanan dengan arah rumahmu?" Tamaki tiba-tiba tersadar.

"Memang."

"Kalau begitu kau tidak perlu mengantarku."

"Tidak apa-apa kok, aku juga ingin tahu dimana rumahmu."

"Tapi–"

"Sudah, tidak apa-apa."

Tamaki memajukan bibirnya. Dasar keras kepala! Sifat Ryota inilah satu-satunya yang sering membuatnya kesal. Tamaki yang tidak pandai berdebat tidak punya pilihan selain menurut. Tamaki melirik kesal ke arah Ryota yang sama sekali tidak menyadari kekesalannya.

"Hei, bahumu basah."

"Ha?"

Tamaki menunjuk, "Itu, bahumu basah."

Ryota melihat bahunya. "Ah, kau benar. Tolong pegang payung ini." Tamaki menerima gagang payung yang disodorkan Ryota. Lagi-lagi Ryota melakukan hal tidak terduga, melingkarkan tangan ke pundak Tamaki dan menariknya mendekat. "Tolong pegang payungnya sampai ke rumahmu."

Tamaki seketika gugup. Dirangkul seperti ini... Tamaki jadi sedikit kesusahan menghirup napasnya. Merasakan pundak Tamaki menegang, Ryota menoleh sedikit. Tamaki yang pipinya memerah dan bulu matanya yang terlihat lembut...

Ryota menghela napas. Suasana mendadak canggung. Namun apa boleh buat, kalau tidak begini tas gitar yang digendong Ryota bisa basah. Suasana canggung mendadak dilenyapkan oleh suara Tamaki.

"Kita sudah sampai. Ini rumahku."

Mereka berdiri di depan gerbang yang didalamnya berdiri kokoh sebuah rumah berwarna putih. Rumahnya lumayan bagus dan terawat.

"Terima kasih sudah mengantarku pulang."

"Iya. Sampai jumpa besok."

Ryota tersenyum kecil. Tamaki yang merasa gugup hanya mengangguk kecil lalu berlari masuk ke rumahnya. Setelah pintu tertutup, Ryota berbalik pulang.

Manis. Tingkah Tamaki yang imut dan gugup itu menarik perhatian Ryota, bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Ryot berjalan sambil menghela napas berkali-kali, mencoba menenangkan jantungnya yang berpacu kencang.

Love is Called Melody [COMPLETE]Where stories live. Discover now