Chapter 9.5

22 5 0
                                    

Ryota membelalak mendengarnya. Berciuman dengan laki-laki sudah sering di bayangkannya, dan lebih sering Akito menjadi objek fantasinya. Namun, untuk berciuman dengan orang kurang ajar ini...

"Woah, kau serius, Shiba?" tanya cowok di sebelah Shiba agak terkejut dan bersemangat.

Shiba menoleh dan menyeringai jahat. "Iya, aku ingin melakukan sesuatu pada bibir manis ini."

Ketika Shiba menekankan kata 'bibir manis', Ryota merasakan firasat buruk. Daripada mencium, sepertinya Shiba lebih ingin menggigit bibir Ryota sampai sobek.

Shiba mengeratkan cengkeraman pada dagunya, dan mendekatkan wajahnya. Ryota menahan napasnya. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Meskipun Ryota tidak pernah bisa menyukai pacar-pacarnya sekeras apa pun dia mencoba, namun dia tidak keberatan mencium mereka kerena mereka menyukai Ryota. Ryota tidak ingin menyerahkan bibirnya pada orang yang sudah menginjak harga dirinya ini.

Sebelum bibir mereka sempat bersentuhan, dengan sekuat tenaga Ryota mengangkat kaki kanannya dan menendang perut Shiba. Tendangan itu cukup kuat hingga membuat Shiba nyaris terjungkal dan batuk-batuk.

"Brengsek!"

Ryota terkejut mendengar teriakan itu di sampingnya. Tanpa bisa mengantisipasi, teman Shiba yang berdiri di sampingnya tadi memukul pipi kanan Ryota. Pukulan itu tidak main-main, membuat Ryota memekik kesakitan.

Shiba berhasil berdiri tegak, kelihatan sekali dia sedang menahan sakit. Tanpa memedulikan kondisi perutnya, Shiba melangkah dan memukul Ryota sekuat tenaganya. Pipi kanan Ryota mendapat pukulan dua kali, dan gara-gara itu sekarang mulutnya terasa amis.

"Beraninya kau!" bentak Shiba. Dia sangat ingin menghabisi orang yang sangat di bencinya ini, namun mengingat mereka ada di sekolah, Shiba menahan dirinya. Shiba berkata rendah kepada dua orang yang memegangi Ryota, "Lepaskan dia."

Begitu Ryota di lepaskan, tubuhnya langsung merosot dengan lemas. Dia duduk di tanah yang dingin karena di kotori sedikit salju. Ryota meludahkan isi mulutnya, liurnya bercampur darah, dan Ryota bersyukur darahnya tidak terlalu banyak.

"Brengsek," maki Shiba, mukanya terlihat sangat marah. Dia menghina Ryota dengan muka jijik terang-terangan, "Dasar tidak tahu diri. Homo sepertimu seharusnya mati!"

Ryota tidak membalas makian itu. Bukan karena mulutnya terasa sakit, tapi karena hatinya yang sakit. Shiba menendang bahu Ryota sekali, lalu berkata pada teman-temannya dengan nada datar, "Ayo pergi."

Meskipun Ryota terus melihat melihat kakinya, dia tahu bahwa mereka meninggalkannya sambil menatap penuh hina. Ryota bernapas dengan sesak. Suhu dingin saat ini, luka di dalam mulutnya, dan rasa sakit di hatinya–membuat Ryota gila.

Air mata Ryota mengalir. Namun dia cepat-cepat menghapusnya. Selain untuk keluarganya, air mata ini tidak boleh menetes. Tidak untuk orang-orang yang sudah memperlakukannya seperti sampah.

Hanya saja, rasanya sakit, sangat sakit. Kau di hina oleh hal-hal yang sebenarnya adalah fakta. Ini lebih perih daripada fitnah. Rasanya seperti kau di telanjangi, di ikat di tiang, dan di bawa berkeliling kota. Rasanya malu hingga ingin mati. Ini jenis malu yang menyakitkan. Dia tidak bisa mengelak hinaan itu, tidak juga mengiyakan.

Ryota merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kepalanya. Ryota mendongak. Salju turun. Hanya rintik-rintik, bahkan tak lebih deras dari gerimis. Salju itu melayang-layang lembut, kadang bergerak terkena angin. Ini benar-benar indah, menatap langit kelabu yang menurunkan salju, seakan berada di negeri dongeng. Ryota menatap langit dengan kagum seolah ini pertama kalinya dia melihat salju.

Sangat dingin, salju itu menyentuh kepala dan punggung tangannya. Ryota berdiri dengan lemah. Tubuhnya menyuruh untuk berpindah tempat karena tak ingin membeku. Cara dia berjalan seperti orang mabuk, lemas tanpa arah. Lorong sekolah begitu sepi, sepertinya pelajaran sudah di mulai beberapa saat yang lalu.

Love is Called Melody [COMPLETE]Where stories live. Discover now