Chapter 9.2

21 5 0
                                    

2 tahun yang lalu.

"Ryota-kun, mari kita putus."

"Eh?"

Ryota menatap kaget pacarnya yang berdiri di depannya. Mereka berdiri di samping tangga yang menuju lantai empat gedung sekolah. Musim dingin tahun ini sama dinginnya dengan tahun kemarin, membuat tangan Ryota betah bersembunyi di balik kantung mantelnya.

Gadis di hadapannya saat ini tengah menunduk. Wajahnya memerah, entah karena cuaca dingin atau sedang menahan tangis.

"Kenapa?" tanya Ryota.

"Karena kau tidak menyukaiku," balas gadis itu. Dia terlihat sakit hati meskipun gadis itu yang menginginkan putus. "Hei, apakah kau menyukaiku?"

Ah, ini lagi.

"Aku menyukaimu," jawab Ryota. Setiap gadis yang berpacaran dengannya pasti menanyakan hal ini di tengah hubungan mereka. Ryota sendiri merasa tidak pernah melakukan kesalahan, mengapa tiap gadis selalu ingin mempersalahkan dia?

"Kau tidak meyakinkan," cibir gadis itu. "Kau selama ini tidak pernah menyukaiku. Kita putus saja."

Ryota menghela napas. "Baiklah kalau begitu."

Gadis itu menatap Ryota dengan mata melebar, lalu pergi. Jelas sekali bahunya bergetar menahan tangis. Apakah gadis itu berharap Ryota akan menarik tangannya dan berkata, "Jangan pergi!"? Kalau gadis itu benar berpikir begitu, dia telah jauh bermimpi.

Teman-temannya juga pernah memberi saran padanya, kalau gadis itu marah dan sampai meminta putus, cukup peluk dan keluarkan kata-kata manis, lalu ciumlah gadis itu. Ryota tidak pernah berkeinginan untuk melakukan itu. Menurutnya, untuk apa mempertahankan seseorang yang tidak ingin di pertahankan.

Ryota menggaruk kepalanya gusar dan berjalan keluar dari gedung sekolah. Maaf kalau dia tidak bisa memperlakukan perempuan dengan baik. Pada dasarnya dia tidak pernah bisa menyukai perempuan.

Orang-orang yang berkeliaran di sekelilingnya memakai baju hangat berwarna warni, cenderung warna gelap. Juga mengenakan syal ataupun sarung tangan agar lebih hangat. Kota besar seperti ini selalu saja di penuhi manusia berkeliaran.

Suhu dingin menambah kegusaran hatinya. Dia jadi badmood sejak di putuskan pacarnya tadi. Memang dia tidak terlalu menyukai gadis itu–Ryota tidak bisa menyukai gadis itu menggunakan hati, namun setidaknya Ryota tidak membencinya. Dia baru saja di putuskan, yang dimana di putuskan kurang lebih sama artinya dengan di tolak. Jadi dengan kata lain Ryota sudah di tolak, dan itu tidak mengenakan.

Ryota berhenti sejenak di depan mesin penjual minuman. Memasukan koin dan memencet tombol, dia membeli ocha hangat. Siapa pun di cuaca sedingin ini pastilah ingin memakan sesuatu yang hangat untuk menghangatkan diri. Ryota membuka tutup botol dan menegak isinya, dia bisa merasakan air mengalir di dalam dadanya dan itu terasa nyaman.

Setelah memasukan air ke dalam perutnya, tiba-tiba Ryota menyadari bahwa dia lapar. Ryota mempercepat langkah menuju rumahnya. Bukan sebuah rumah sebenarnya, lebih tepatnya sebuah apartemen mewah. Ayah Ryota memutuskan pindah ke apartemen dan menjual rumah setelah ibu Ryota meninggal.

"Aku pulang!" salam Ryota sambil melepas sepatu di genkan.

"Selamat datang!" terdengar balasan dari ruang keluarga.

Ryota melangkah memasuki rumah. Dia melihat adik perempuannya sedang menonton tivi dengan santai. "Mirai, tolong hangatkan makanan untukku," kata Ryota sambil masuk ke kamarnya.

"Oke." Mirai patuh dan melangkah ke dapur. Adiknya yang sudah memasuki kelas 4 SD sering kali membantu Ryota mengerjakan pekerjaan rumah. Karena ayahnya sering pulang malam, Ryota dan adiknya yang sering membersihkan rumah. Ryota sendiri sangat pandai mengerjakan pekerjaan rumah karena sudah belajar mandiri sejak SD. Ayahnya jarang makan malam bersama mereka, tapi setidaknya mereka bertiga selalu sarapan bersama.

Love is Called Melody [COMPLETE]Where stories live. Discover now