4# Barma Yang Lain

720 123 28
                                    

Kata penjaga di gerbang masuk depan, Tuan Barma biasa datang jam delapan malam pada hari-hari seperti ini. Malam yang sempurna untuk menjamu rekan-rekannya dan membuat kesepakatan bisnis.

Sekilas pandang saja Olie langsung tahu tempat itu adalah sebuah club yang tertutup. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Yang memakai mobil mewah dan berpakaian ala jetzet saja ditolak sama penjaga pintu. Bagaimana halnya dengan seorang Olie?

Ia mengawasi sekilas bayangannya pada sebuah kaca jendela mobil (yang itu untuk kesekian ratus kalinya), dan berdecak kenapa ia tidak membeli pakaian yang lebih mahal.

Sebenarnya gaun selutut berwarna ungu itu sudah nyaris membuat Olie pingsan dengan harganya. Dua potong yang serupa pakaiannya ini sudah bisa membuatnya membeli pick up bekas yang anti macet. Modelnya saja yang sesuai dengan harapannya: cantik tetapi cukup sopan alias tidak terlalu terbuka di sana sini dan tidak terlalu menonjolkan lekuk lekuk tubuh yang (menurutnya) memalukan.

Pada pikirnya tadi tidak apa apa membeli gaun yang agak mahal, toh ini mungkin pertama dan terakhir kalinya ia berpakaian seperti itu, karena baru saja memasukkan gaun itu melewati kepalanya, ia sudah gatal ingin kembali ke jeansnya  yang lututnya robek dan jumper longgar yang menjadi dresscode-nya sehari-hari.

Tetapi sekarang melihat pria dan wanita yang turun dari mobil bagus mereka di depan club itu... dengan pakaian mereka...

Ia menyesal kenapa tidak membeli yang tiga atau empat kali lebih mahal. Karya perancang kenamaan kalau perlu. Toh uang yang dipakainya juga uang orang itu.

Olie bersitatap dengan penjaga gerbang depan yang membuka dan menutup pintu untuk anggota club yang datang, dan mengangkat alisnya

Sudah datang? Rombongan yang baru masuk itu kah?

Penjaga gerbang itu menggeleng.

Sejak malam baru saja turun tadi, Olie sudah mengatakan pada pria itu kalau ia ingin bertemu dengan Tuan Barma. Dengan terheran-heran penjaga itu bertanya balik, "Tuan besar Barma?"

Tentu saja! Dia bahkan disebut 'Tuan besar'?

"Kenapa tidak datang dengan Tuan Barma langsung kalau ingin bertemu dengannya? Kenapa malah menunggunya di luar seperti ini?"

Matanya membulat melihat penjaga itu setengah tertawa. Bagaimana mungkin ia datang bersama Barma kalau mereka tidak bertemu? Dan kalau Olie datang bersamanya itu namanya berkencan! Bukan bertemu.

Sejenak wajahnya menghangat dengan pemikiran itu.

Berkencan....

Detik berikutnya suaranya yang berat menggaung-gaung di dalam dadanya.

Anakmu sakit... dan kau meninggalkannya sendirian....

Masih ada sisa saldo di kartu itu.... cukup untuk membeli obat turun panas dan membawanya ke dokter besok pagi.... kau pakai saja... kode pin-nya hari kemerdekaan Indonesia.

Aàiìhhh...! Tiba-tiba belakang telinganya sangat gatal! Kenapa perkataan seperti itu saja bisa membuat bagian dalam dadanya sangat geli hingga ia tidak bisa menahan senyum? Bibirnya sampai pecah-pecah dua bulan ini karena terus saja dia gigiti.

Ketika Olie kembali ke desanya di pesisir pantai dan setelah kejadian di rumah sakit dengan Pak Fandi dan kartu itu, ia mulai melihat orang di gang itu –Jusuf Hectorardin Barma– di mana-mana.

Saat memotong anak pisang di belakang rumah, tiba-tiba induk pisangnya tampak gagah tinggi besar seperti dia.

Saat membuka gudang untuk mencari sapu, sulur-sulur kain pel yang terbalik di belakang laci plastik susun tampak seperti rambutnya.

 GREY LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang