32# Di Balik Pintu Hitam

339 77 18
                                    

Olie tidak percaya saat para pelayan bilang ia tidak bisa menghilangkan senyum dari wajahnya. Ia hanya merasa lebih bersemangat sejak kemarin, dan tentu saja ia bersemangat, karena hanya dalam hitungan jam –besok pagi– mereka akan berangkat ke Pandemanik.

Kedua putri Barma masuk ke kamar saat ia sedang duduk di pembatas teras balkon, memandangi alam pegunungan di malam hari. Udara benar-benar dingin di sini, tetapi Olie bahkan tidak memakai baju hangat. Bagaimana bisa seseorang merasa kedinginan saat matahari berpendar-pendar begitu terang di dalam batinnya?

"Oh, ya ampun.... Sekarang aku benar-benar harus tahu alasan seringai menakutkan itu, atau aku perlu memanggil dokter." Valda mencebik.

"Kau ini bicara apa? Aku dokter!"

"Maksudku dokter jiwa!"

Rania memilih tempat duduknya di pembatas yang sama, sementara Valda melempar pantatnya dengan malas ke salah satu kursi teras.

"Sekarang kau mau bilang, kan?"

"Apa?"

"Kenapa kau kelihatan gembira sekali seharian ini?" Rania masih bersabar menuntut penjelasan darinya.

"Tentu saja aku gembira! Kita akan ke Pandemanik! Sudah empat bulan lebih aku tidak menjenguk kakekku!"

"Iya, tapi kau menelponnya dua kali setiap hari, tujuh hari seminggu! Kau tidak mungkin merindukannya! Aku saja sampai eneg melihat kau videocall dengannya setiap waktu." Valda memutar mata, dan Olie melempar sebelah sandalnya pada gadis termuda itu.

"Pasti ada alasan lain." Rania menggeser duduknya dan menusuk-nusuk rusuk Olie dengan siku, sambil mengangkat alis membujuk.

"Mmmh.... Bilang tidak ya?"

"Ayolah.... Masa' kau main rahasia-rahasiaan sama kami?" Rania memandang Olie dengan alis terangkat menunggu jawaban, dan akhirnya cewek berambut cepak itu tidak bias menahan rahasianya juga.

"Sebenarnya.... Hector melamarku... dia berencana memintaku dari Avo saat di Pandemanik nanti."

"Whhaattt??!!"

Kesenyapan yang mengikuti teriakan itu terasa begitu aneh dan sangat panjang. Mata Olie menelusur kedua wajah yang ada di hadapannya dan seketika tahu bahwa apa yang mereka rasakan lebih dari sekedar keterkejutan.

"Apa? Kenapa memangnya?"

"Tapi Olie..." Rania bertukar tatap dengan Valda yang juga berwajah kosong, "Kau tidak mengerti... Kau tidak tahu seperti apa abangku itu sebenarnya"

Perkataan Rania masih tidak menjelaskan apapun, "Maksudnya?"

"Hector ... dia terobsesi dengan rasa bersalah karena kematian putrinya.... Namanya Carolina... kau tahu, kan? Dan sejak Carry meninggal, ia seperti ingin menebus rasa bersalahnya kepada setiap wanita yang bernama Carolina."

Ada sebuah luka perih yang terbuka kembali di dalam hatinya, mengingat dia pernah juga memiliki persangkaan yang hampir sama ketika Hector memeluknya pada suatu malam di lantai dapur rumahnya beberapa bulan berselang. Polisi itu menangis tergugu meminta putrinya hidup kembali, mengatakan kalau ia akan menyerahkan nyawanya sendiri sebagai ganti. Saat itu Olie tahu Hector mungkin memperlakukannya dengan baik karena ia memiliki nama yang sama dengan anaknya yang sudah meninggal. Sekarang saat ia mendengar itu bukan sebagai persangkaan belaka, rasanya menjadi jauh lebih menyakitkan.

"Sebulan setelah putrinya meninggal, Hector pergi dari rumah. Yulinar mencarinya ke mana-mana, tetapi ternyata ia tidur di rumah sakit menunggui seorang nenek tua yang sekarat karena kanker. Dia duduk di samping orang itu, menyuapinya, dan membacakan buku untuknya sepanjang hari. Tidak pulang dan tidak bekerja. Nama wanita itu Carolina. Lalu beberapa bulan setelahnya, dia hidup dengan seorang wanita bersuami yang sebelumnya mau bunuh diri. Dia menghibur wanita itu dan hampir bercerai dengan Yulinar karenanya. Wanita itu juga bernama Carolina. Tidak berapa lama dia menghajar seorang laki-laki pemilik restauran, karena selama dua hari berturut-turut Hector melihat laki-laki itu menganiaya pegawainya. Kau tahu siapa nama karyawan itu..."

 GREY LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang