.
.
.
.
.Huang Renjun.
Hanya itu yang ada di dalam kepala seorang Lee Jeno. Benar, hanya ada nama itu di dalam kepalanya. Hanya sosok itu yang dia cari saat ini. Sosok lemah lembut nan rapuh itu kini menghilang di tengah malam. Berkat keinginan untuk buang air di tengah malam, dengan mata setengah sadar ia melihat kasur di sebelahnya kosong dengan selimut dan bantal di posisi yang sama sebelum dia tidur. Jeno juga sempat mengecek apa tempat itu hangat atau tidak. Nyatanya tempat tidur itu dingin, tanpa ada tanda-tanda kehangatan.
Matanya terpaku sementara pikirannya pergi untuk memikirkan satu tempat dimana si mungil itu berada sekarang. Hingga satu tempat muncul dalam pikirannya. Rooftop. Ya, pasti si mungilnya ada di sana sekarang. Duduk di pinggiran pembatas gedung sambil memandang lalu lintas Seoul yang tidak begitu ramai di tengah malem seperti ini.
Jeno tau dia harus segera menyusulnya. Maka dari itu diambillah mantel digantungan dibalik pintu dan bergegas menuju rooftop yang berjarak 2 blok dari rumah. Hawa dingin langsung menghampiri kulit pucatnya. Tapi hal tersebut tidak mengurungkan niatnya untuk pergi menuju tempat Renjun berada sekarang. Dikerahkan kedua kakinya untuk melangkah ke tempat Renjun berada.
Butuh waktu hampir 15 menit untuk sampai di depan pintu rooftop ini. Dengan perlahan dia buka daun pintu berwarna biru pudar itu. Kedua matanya mencari-cari keberadaan si mungilnya. Hingga akhirnya dia menemukannya. Duduk dipinggir pembatas gedung dan menghadap ke arah sungai Han. Kedua kakinya dia tekuk sedada dan ia peluk dengan kedua tangannya. Tanpa harus Jeno lihat dengan kedua matanya dia sudah tau kalau sosok mungil berbaju putih disana sedang melamun. Tentu saja dia langsung menghampiri manisnya, hingga tersisa jarak satu meter, si mungil bersuara.
"Kau tau? Sudah berapa kali aku mencoba dan terus gagal?" tanya si mungil.
Jeno hanya diam terpaku pada tempatnya, tidak sedikit pun suara yang dia hasilkan karena dia tau Renjun nya belum sampai akhir kalimat.
"Ratusan kali dan selama itu aku terus gagal. Apa gunanya aku di dunia ini jika aku terus gagal?"
"Apa gunanya aku berusaha selama ini jika pada akhirnya hanya untuk kegagalan?"
"Bukan kah ... diriku ini adalah sampah? Penghambat kemajuan kalian, perusak suasana, sang sarkasme, pembual, pembohong, si kasar Renjun, dan semua hal buruk ada dalam darahku."
"Apa aku harus membuang semua darahku agar aku bisa berguna di depan kalian semua? Apakah itu harus? Aku akan melakukannya jika itu memang benar."
"Jangan."
Kali ini, Jeno angkat bicara. Omongan Renjun mulai keluar batas.
"Jangan? Kenapa jangan? Bukan kah itu bagus jika aku pergi? Aku pergi sama saja hilangnya batu besar yang menghalangi jalan kalian."
"Tidak, Renjun! Jangan lakukan hal diluar batas!"
Kemudian jeda sejenak. Jeno masih pada tempatnya dengan sikap was-was jika Renjun melakukan hal-hal bodoh dan berbahaya yang melintas di pikirannya. Sementara Renjun mulai mengayunkan kakinya ke bawah sambil terus menatap lampu terang yang berasal dari lalu lintas di bawahnya.
"Menurutmu ... apa arti dari Huang Renjun itu?"
Renjun bertanya sambil membalikkan badannya dan menatap Jeno tepat di matanya. Tatapan itu, tatapan jiwa yang sudah lelah dengan semua cobaan yang ada dalam hidupnya. Tatapan frustrasi dengan jalan hidup yang sulit dilewati. Tatapan yang nyaris kosong karena putus asa.
"Huang Renjun ... arti dari Huang Renjun yang aku tau adalah ... dia tetap semangat dan memberi semangat pada orang lain walaupun dia lebih membutuhkan itu. Seseorang yang menunjukan rasa pedulinya lewat caranya sendiri. Tidak ingin kepeduliannya dilihat oleh orang lain. Pantang menyerah dan...."
Jeno menggantungkan kalimatnya. Kakinya melangkah pelan menuju tempat Renjun memperhatikan nya saat ini. Begitu jarak mereka semakin menipis, tangan kurus nan lembut itu ia tarik pelan hingga Jeno bisa merengkuh pinggang kecil milik Renjun. Kedua tangannya berada dibalik punggungnya, mengusap halus punggung itu.
".... Seorang Huang Renjun yang selalu menyimpan kesedihannya untuk dirinya sendiri. Berbagilah padaku Renjun, ceritakan semua padaku. Aku akan membantumu sebisaku. Kau tidak sendiri di dunia ini, kau masih memilikiku, member Nct, dan keluargamu. Kami siap membantumu jika kau mau terbuka pada kami. Buka hatimu itu Renjun, biarkan kami masuk dan menata ulang hatimu hingga tersusun rapih dengan semua kenangan indah yang kita buat. Dunia memang kejam, tapi kau punya kami yang siap menghadapi dunia itu bersama. Kami selalu bersamamu, ingat itu."
Kata-kata Jeno bagaikan memiliki magis tersendiri untuk Renjun. Benar saja, saat Jeno mengakhiri kalimatnya butiran air mata bening itu turun dengan indah melewati pipi tirus itu. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik teman sekamarnya. Tangan yang awalnya hanya menggantung dikedua sisinya kini merengkuh tubuh Jeno dan memeluknya erat. Tangisannya terdengar pilu. Tangisan yang tidak ingin Jeno dengar untuk selamanya.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Norenmin
FanfictionHanya ada Jeno, Jaemin, Renjun Start : 26 - 08 - 19 End : ∞