E M P A T P U L U H E M P A T

10.1K 577 33
                                    

Mobil yang Dita tumpangi baru saja berbelok masuk ke dalam pelataran restoran saat ponselnya berdering

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil yang Dita tumpangi baru saja berbelok masuk ke dalam pelataran restoran saat ponselnya berdering. Nama Dewa muncul di layar ponselnya. Tak ayal jika senyuman juga ikut muncul di wajahnya.

Sebelum menggeser layar ponselnya untuk mengangkat panggilan itu, Dita mengatur sejenak pita suaranya agar tak terdengar riang ketika menyambut suara Dewa.

"Halo?" Suara Dita terdengar menyapa telinga Dewa.

"Hai." Ada jeda sejenak sebelum Dewa melanjutkan ucapannya. "Kamu belum sampe ke restoran, kan, Dit?"

Dita mengernyitkan alisnya, merasa bingung dengan pertanyaan Dewa. Namun, alih-alih menjawab dengan jujur, Dita memilih untuk berbohong. "Belum, kok. Kenapa emang?"

Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. Kernyitan di alis Dita tercetak semakin jelas. "Syukur, deh, kalo belum sampe. Aku takut masih lama."

"Maksudnya?" Dita menuntut penjelasan.

"Aku minta maaf banget, Dit. Hari ini ternyata bunda mau ke psikiater. Aku ikut ayah nemenin bunda." Suara Dewa terdengar serius. "Makan siangnya bisa diganti besok aja, kan, Dit? Aku enggak enak kalo harus balik duluan. Soalnya, udah lama bunda enggak mau diajak ke psikiater. Semakin cepet bunda sembuh, semakin baik buat kita."

Kecewa? Tentu saja. Dita sudah sampai di restoran siang itu. Namun, mau bagaimana lagi? Jika ini berhubungan dengan Kemala, Dita tak mempunyai pilihan lain selain mendukung Dewa dan berdoa agar wanita paruh baya itu bisa membuka hati untuknya dan Dewa.

"Enggak apa-apa, kok, Wa. Aku ngerti." Sayang, hati tidak bisa berbohong. Rasa getir tentu menyelimuti hati Dita.

"Beneran? Apa kamu mau makan malem aja? Aku cuma enggak mau bikin kamu nunggu, Dit." Suara penyesalan Dewa terdengar jelas di telinga Dita. Ada sebuah rasa yang disebut dengan kelegaan menyelinap masuk ke dalam hati Dita. Ia merasa sedikit lega, setidaknya Dewa merasa bersalah tentang hal ini.

"Aku beneran, kok, Wa. Makan siangnya bisa direschedule, kok. Kamu tenang aja. Yang penting itu bunda kamu." Dita berusaha meyakinkan Dewa dan hatinya sendiri jika ia baik-baik saja.

"Aku bener-bener minta maaf, Dit. A- Bunda? Bunda udah selesai sesinya?" Dewa terdengar terkejut. "Dit, maaf. Bunda keluar dari ruangan konsul. Nanti aku telepon lagi, ya?"

Tanpa menunggu jawaban dari Dita, Dewa memutuskan panggilan tersebut. Dita juga tidak bisa protes. Bagaimana pun kondisinya, Kemala memang harus menjadi prioritas Dewa dibandingkan dirinya.

"Pak, kita pulang aja," ujar Dita setelah menatap sejenak layar ponselnya yang telah matin.

"Pulang, Non?" Asep terdengar bingung.

FIANCÈES | COMPLETED✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang