Venus merenung di dekat jendela cafe, makanan yang ada di hadapannya belum ia sentuh sama sekali. Pandangannya mengarah ke luar jendela yang menampakkan hujan yang jatuh ke bumi dengan derasnya. Hari sudah mulai petang, gadis itu enggan untuk pergi ke rumah. Ia masih ingin berlama-lama di luar dengan memakai seragam sekolahnya. Tadi, saat bel pulang sudah berbunyi, Venus dengan santainya menuju ke halte sendirian karena Neina tak mau pulang bersamanya.
Akhir-akhir ini, Venus merasakan keanehan pada dirinya. Seperti ada bagian yang kosong. Tiba-tiba saja gadis itu teringat dengan sosok Alex. Entah mengapa laki-laki itu seperti menjauh darinya. Jika biasanya laki-laki itu akan selalu datang pagi hari untuk berangkat bersama, memaksanya pergi ke kantin karena dirinya yang tak mau makan, biasanya juga Alex akan selalu menempel ke manapun dia pergi, Takut-takut kalau ia akan berinteraksi dengan laki-laki lain. Namun tidak untuk sekarang, Alex sudah tak pernah datang ke rumahnya barang untuk berangkat bersamanya. Saat berpapasan dengan venus pun, jika biasanya laki-laki itu langsung mendekat dengan cengiran mengerikan. Namun tidak sekarang, laki-laki itu hanya melengos pergi begitu saja.
Jujur saja, Venus seperti merasa ada yang hilang. Ia rindu dengan sikap kasar laki-laki itu, rindu dengan sikap keras kepalanya, dan juga sikapnya yang selalu semena-mena terhadapnya. Seminggu laki-laki itu tak menampakkan dirinya di hadapan Venus, seperti menghilang ditelan bumi. Dan datang kembali dengan sikap yang seakan acuh dengan Venus.
Bukan hanya Alex, Neina pun sama halnya seperti Alex. Gadis itu seperti menjaga jarak dengannya. Sudah dua minggu Venus tidak duduk sebangku dengan Neina. Neina tiba-tiba saja memilih duduk di belakang dengan Mila. Anehnya lagi, Neina sama sekali tak pernah mengajak Venus bicara. Saat bertemu pun tak ada kata sapa dari Neina. Venus bingung, ia tidak tau mengapa Neina bisa berubah seperti itu. Saat ditanya oleh Venus pun, Neina memilih diam dan pergi meninggalkan Venus. Venus sungguh-sungguh tak mengerti dengan apa yang dilakukan Neina terhadapnya.
Venus memegang kepalanya, memijat-mijat perlahan. Gadis itu merasa pening memikirkan hal yang tak ia ketahui alasannya tersebut. Ia melongok keluar, hujan sudah mulai reda. Gadis itu berdiri dan meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja. Memakai tasnya, dan kemudian keluar dari cafe tersebut.
Ia berjalan menyusuri trotoar, kembali merenungkan semua yang terjadi akhir-akhir ini, tanpa mengetahui jika di depannya ada sebuah jalan berlumpur.
Karena tak memperhatikan jalan, Venus akhirnya terjatuh ke jalanan berlumpur tersebut. Kakinya terasa perih karena sempat tersandung batu tajam yang ada di dekat lumpur tersebut.
"Awh..." ringisnya dengan meniup-niup lukanya yang lecet di area betis.
Terlihat ada sepasang sepatu yang mendekat ke arahnya. Sepatu tersebut terlihat lusuh, dengan tali sepatu kanan berwarna merah, dan tali sepatu kiri berwarna hitam. Sangat jelas sekali jika orang di hadapan Venus ini tipe orang yang suka melanggar aturan.
"Kalau jalan itu lihat-lihat! Jangan melamun kayak orang susah!"
"Sekali saja jangan jadi gadis ceroboh bisa nggak?!"
Venus akhirnya mendongak menatap orang yang tak mau menolongnya tapi malah marah-marah terhadapnya.
Venus terkejut saat tahu siapa orang dihadapannya saat ini. "Untung cuma lecet, nggak sampai berdarah! Kalau sampai berdarah, kamu juga yang susah!" ucap orang itu masih meneruskan ocehannya. Entah angin darimana, Venus justru tersenyum. Membuat orang di hadapannya berhenti bicara karena melihat Venus tersenyum ke arahnya.
"Alex, kamu--"
"Kok ada disini?"
Raut bahagia tercetak di wajah Venus, baru beberapa saat gadis itu memikirkan laki-laki itu. Dan detik itu juga ia dapat melihatnya langsung. Alex gelagapan, awalnya ia ingin sekali menarik Venus dan kemudian mendekapnya, namun dengan segera ia tepis niatnya itu.
"Kamu kok juga masih memakai seragam?" tanya Venus yang kini sudah mengembalikan raut datarnya.
Semenjak Alex memutuskan menjauh dari Venus, laki-laki itu tak benar-benar menjauh, Ia selalu membuntuti ke manapun Venus pergi. Minggu-minggu ini ia seperti penguntit. Mana mungkin ia membiarkan Venus. Walau selama seminggu ini pun dia berusaha mati-matian menahan amarahnya kala melihat Venus berdua dengan Rega maupun Endra. Laki-laki itu ingin membuat Venus merasa kehilangan dirinya. Ia percaya kalau Venus sudah mencintainya, hanya saja Venus tak pernah menyadarinya. Entah itu benar atau tidak, tapi Alex benar-benar yakin dengan pemikirannya itu.
Alih-alih menolong Venus, Alex menguatkan dirinya untuk melawan egonya. "Ngapain masih duduk, berdiri!!!"
Dilihatnya Venus yang menatap Alex dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Aku kira-- kamu menjauhiku."
Alex mencoba mengabaikan ucapan Venus barusan, laki-laki itu membalikkan badannya.
"Alex, aku---"
Belum sempat Venus menyelesaikan ucapannya, Alex sudah pergi begitu saja. Venus menatap Alex lesu, seiring kepergian Alex, Venus merasakan jika dirinya tak mau ditinggal oleh Alex.
"Padahal, aku cuma mau bilang kalau--aku rindu..." lirih Venus menatap lumpur-lumpur yang ada di bawahnya.
Venus akui, Venus memang merindukan laki-laki kasar itu. Ia sudah terlalu terbiasa dengan bentakan laki-laki itu. Jadi, sekali saja Alex tidak membentaknya, seperti ada yang aneh bagi Venus.
"Aku kira--dia tadi peduli padaku. Tapi nyatanya dia benar-benar menjauhiku."
Venus sendiri tidak paham dengan dirinya, mengapa dia jadi mellow begini. Tanpa diminta, gadis itu tiba-tiba saja merasa sedih kala Alex benar-benar meninggalkannya tanpa nerniat membantunya untuk berdiri.
"Apa Alex sakit hati karena aku pernah bilang kalau aku membenci sikapnya? Jadi dia pergi?"
"Tapi, aku kan cuma bilang membenci sikapnya, bukan dirinya."
Venus mencoba berpikir keras dengan menjauhnya Alex. Namun seketika Venus tersadar dan dengan cepat gadis itu mencoba berdiri, walau masih terasa perih di betisnya.
"Huft, harusnya aku senang bukan? Alex menjauh dariku. Bukankah ini yang aku ingin dari dulu? Tapi mengapa semakin aku tepis rasanya semakin sakit? Apa sebegitu pengaruhnya Alex dalam hidupku? Sehingga aku seperti merasa sedih, saat Alex menjauhiku?"
"Ah sudahlah, justru bagus kalau Alex menjauhiku. Aku bisa sedikit lebih tenang."
"Aku bisa leluasa melakukan aktivitas tanpa adanya paksaan."
"Aku bisa bebas dengan siapa saja."
"Aku bisa bebas berangkat kesekolah tanoa harus bertengkar terlebih dahulu dengan seseorang."
"Aku bisa......" tanpa ia sadari, air matanya menetes dengan sendirinya tanpa diminta. Dan entah mengapa rasanya ia ingin menangis sekencang-kencangnya. Merasa kekosongan itu lebih dominan dalam hatinya.
Harusnya ia senang bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
AlVen [Possessive Boy]✔ [TERBIT]
Ficção AdolescenteToxic relationship By : Nur Nailis S Instagram : @nailissaa___