12~Alven

15.1K 677 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Venus pulang dengan perasaan yang bahkan tak ia mengerti. Setelah Endra pamit, ia segera masuk ke dalam rumah dan langsung ambruk di atas kasur. Alex pun demikian, dia ketar-ketir menunggu Venus di teras rumah setelah pulang dari mengantar Jessi. Pintu rumah Venus tertutup. Sengaja. Venus sengaja tidak membukakan pintu untuk Alex. Alex panik, ia menggedor-gedor pintu rumah Venus dengan tidak sabar. Sampai Venus sendiri jengah dan memilih mengalah. Gadis itu akhirnya beranjak dari tempat tidur dan membukakan pintu rumah untuk Alex. Seketika Alex menjelaskan semuanya, tentang hubungannya dengan Jessi, tentang apa pun yang mungkin sekarang membuat Venus salah paham. Tapi Venus mengabaikan itu, ia sudah terlampau lelah. Sampai kata putus kembali terucap dari mulut Venus. Alex melotot dan tak menerima keputusan Venus. Seperti biasanya bukan?

"Kamu nggak bisa jadiin ini alasan untuk kita putus."
"Kalau alasan aku tidak bahagia denganmu bagaimana?"
Alex terdiam di tempat mendengar pertanyaan mengejutkan dari Venus. Bibirnya membentuk garis lurus, tatapan sarat akan ketakutan terlihat di kedua bola matanya.

"Ven.. aku mohon.. Jessi itu teman sepermainanku waktu kecil. Dia yang tahu semua masalahku, sekarang aku sedang memiliki masalah dan cuma dia yang mampu memahamiku."

"Dan aku nggak mampu mahami kamu kan, Lex?"

Hening sejenak, tubuh Alex mematung. Raut wajahnya sangat redup, mulutnya terbuka berniat untuk mengeluarkan semua unek-unek yang ada di dalam hatinya selama ini.  "Iya. Kamu memang tidak pernah mampu memahamiku. Kamu tidak pernah peduli padaku. Dari awal hanya aku yang selalu memberikan perhatian padamu, tanpa peduli timbal baliknya akan seperti apa. Apa kamu pernah mengkhawatirkanku? Nggak, cuma aku yang selalu khawatirin kamu. Apa pernah kamu sekali saja ingin tahu tentang hidup aku? Nggak. Apa pernah kam--"

"Itu alasan, kenapa kita harus putus. Jangan bertindak seperti pengemis Lex," sahut Venus memotong ucapan Alex. Rahang Alex mengeras, tangannya mengepal ingin meninju Venus namun segera ia urungkan. Tatapan sendunya hampir saja membuat Venus goyah dan merasa kasihan. Tapi tidak, biarkan Venus egois kali ini. Sekarang gilirannya. Gilirannya untuk membuat keputusan.  Alex menatap Venus tajam, ia tak mampu berkata-kata. Kepalan tangan yang semakin mengeras itu melayang di udara sampai menghantam sebuah pintu yang berada di samping Venus. Venus terlonjak kaget dengan jantungnya yang tiba-tiba berdegub kencang. Mata Alex memerah, ditariknya kembali tangan yang tadi meninju pintu. Setelah itu,  tanpa aba-aba, ia melangkah pergi. Baiklah. Dia tidak menahan Venus kali ini. Dia tidak memaksa Venus kali ini. Dia tidak akan memohon lagi kepada Venus kali ini. Dia.... dia menyerah. Hati Venus terlalu keras untuk ia masuki. Hati Venus terlalu kokoh untuk ia hancurkan bentengnya. Gadis itu tak goyah sedikit pun walau Alex berusaha sekeras yang ia mampu.


**********

Semenjak putus dari Venus, banyak sekali perubahan dalam diri Alex. Ia kini justru dijuluki embel-embel pembuat onar nomor satu di sekolahnya. Setiap hari ada saja masalah yang ia perbuat, sampai semua siswa siswi satu sekolah membencinya. Merusak nama baik sekolah, begitu kata mereka. Ada saja kelakuan Alex yang memang niatnya ingin menarik perhatian Venus, walau respon gadis itu hanya diam dan acuh. Seperti saat ini, saat dimana kelas Venus sedang ada jam olahraga namun gurunya tidak hadir, Alex kembali membuat masalah dengan teman sekelasnya Venus, yakni Endra. Ia sengaja melemparkan bola basket tepat di kepala Endra. Agaknya Endra yang mendapat lemparan keras itu tidak terima dan memaki Alex.  hingga terjadilah adegan baku hantam. Venus melihatnya. Sangat jelas. Melihat laki-laki kasar yang kini dipenuhi api amarah. Ia bertengkar lagi, padahal luka di wajahnya masih belum mengering. Kemarin laki-laki itu mendapat surat skors dari guru BK, namun tak ia hiraukan.
Kini, sepertinya Alex harus mengalah, membiarkan orang dihadapannya memukulinya habis-habisan. Tubuhnya lemas, Pipinya memar, sebentar lagi tubuhnya akan  ambruk. Dan benar saja---

"Aleeeexxx!!!" teriak Venus dengan air mata yang bahkan tidak ia tahu mengapa bisa jatuh dari pelupuk matanya. Jauh di tengah lapangan, Alex terkapar lemah. Sebelum benar-benar terpejam matanya, laki-laki itu sempat tersenyum melihat Venus khawatir dan menghampirinya. Ini dia, ini yang selama ini Alex inginkan.

•••••

Alex terbangun dengan ringisan yang keluar dari mulutnya. Sakit. Itu yang ia rasakan saat ini di seluruh tubuhnya. Matanya perlahan membuka dan beredar ke seluruh penjuru ruangan. Siapa yang membawanya ke UKS? Sampai ia tersadar ada seorang gadis yang kini tertidur dengan menelungkupkan wajahnya di atas kasur yang ia tiduri. Alex tersenyum.

Akhirnya, Venusnya ada di sampingnya. Akhirnya usahanya untuk menarik perhatian Venus kini tidak sia-sia. Diusapnya rambut Venus dengan perlahan. Sampai si empunya rambut agaknya terusik dan seketika terbangun. Ia terkejut karena Alex sudah terlebih dahulu bangun darinya. Alex merasa kikuk dan segera menarik tangannya dari atas rambut gadis itu. Ia mencoba merubah raut wajahnya yang tadi tersenyum kini seolah acuh dengan kehadiran Venus.

"Ma-maaf. Aku...." ucap Venus terbata-bata namun tak ia selesaikan ucapannya itu. Alex mengernyitkan dahi, sebelum ia bertanya.

"Jam berapa sekarang?"

Dahi Venus ikut mengernyit dan matanya menatap jam yang ada di pergelangan tangan Alex. Tepat pukul 5 sore. Ia melotot dan segera berdiri dari kursi yang sejak tadi ia duduki. Tak menyangka ia akan tertidur selama itu dan tidak mengikuti pelajaran tadi siang.

"A-aku harus pulang. Sudah sore," ucap Venus dengan menatap tembok yang ada di hadapannya. 

"Dan membiarkanku sendiri di sini?"

Venus menghentikan pergerakannya, ia menatap Alex sekilas. Apa yang harus Venus lakukan untuk Alex sekarang? "Bawa aku pergi dari sini. Bawa aku ke rumah."

"Ke rumahmu?" tanya Venus tak percaya. Naik angkot? Bahkan di jam-jam sekarang hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu lalang di jalanan sekolahnya.
"Bisa memakai motor matic kan?" Belum juga Venus menjawab tapi laki-laki itu sudah beranjak dan menarik tangan Venus. Tidak ada paksaan sedikitpun dari tarikan tangan tersebut.
Tapi keinginan Alex tadi masih terbilang sebuah paksaan tanpa ingin tau apakah Venus mau mengantarnya pulang atau tidak.
Setelah sampai di parkiran, Alex menyodorkan helm kepada Venus. Venus yang melihat itu diam tak mengerti, sampai Alex berdecak karena merasa geram.

"Cepat pakai, dan kendarai motor ini."
"Hah? T-tapi---"

"Sudahlah jangan berdebat, ayo naik," ucap Alex dengan memegang bahu Venus dan menuntun gadis itu untuk duduk di atas motornya. Setelah itu ia juga ikut duduk di boncengan Venus. Venus masih diam dan belum menyalakan motornya. Ia memboncengkan Alex? Yang benar saja.


"Kamu ingin berlama-lama denganku di sini? Ya sudah, jangan salahkan aku jika aku khilaf nanti. Di sini sepi loh." Ucapan Alex tiba-tiba membuat Venus merinding. Alex tersenyum samar karena berhasil menggoda Venus. Akhirnya gadis itu menyalakan motor dan melaju membelah jalanan. Sampai di tengah perjalanan, Venus dibuat terkejut karena tiba-tiba tangan Alex melingkar di pinggangnya. Tak lupa juga dengan kepalanya yang bersandar di pundak Venus.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Venus risau karena ia jadi tidak fokus menyetir. Alex berdecak namun masih melingkarkan tangannya dan kepalanya yang tak juga menjauh dari pundak Venus.

"Tubuhku lemas, kalau aku tidak berpegangan, nanti aku terjatuh."

Venus mempercepat laju motor yang ia kendarai, agar mereka bisa dengan cepat sampai di rumah Alex. Ia tidak nyaman dengan posisi mereka yang seperti ini. Untung saja jalanan sedang sepi sore ini. Ketika sudah sampai di rumah Alex, Venus segera menuntun Alex untuk turun dari motor dan membawa laki-laki itu masuk ke rumah.

"Alex? Kamu kenapa nak?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut mama tirinya yang menampilkan wajah penuh kekhawatiran. Alex yang melihat itu hanya memutar bola mata malas, ia semakin tidak suka ketika Venus malah menurunkan tangannya yang tadi tersampir di pundak gadis itu.

"Maaf Lex, aku harus pulang." 

Belum juga Venus melangkahkan kaki, Alex sudah menahannya.

"Nggak boleh, kamu nggak boleh pergi. Kamu harus rawat aku."

"Hah? Tapi--"

"Salah kamu sendiri tadi menolongku, itu artinya kamu harus bertanggung jawab sampai aku sembuh."

Venus terkejut dengan pernyataan Alex barusan. Sampai mama tirinya pun angkat bicara.

"Biarkan Venus pulang, sudah hampir malam ini. Nanti mama yang akan mengurusmu."
Tatapan Alex menajam.

"Nggak usah sok peduli anda! Sampai kapan pun saya nggak sudi kalau anda yang ngurus saya!"

Kini, Venus pasrah dan mengikuti perintah Alex. Rasanya ia ingin menangis karena Alex tak membiarkannya pulang. Ia kira setelah putus dengan Alex hidupnya akan lebih tenang, namun ternyata hidupnya kini jauh lebih sengsara.

AlVen [Possessive Boy]✔  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang