Aku bergegas menuju toilet wanita demi menghapus air mata yang jujur saja membuat mataku bengkak pagi ini.
Dasar Zacharry sialan.
Tapi aku yakin ini yang ia mau. Ia ingin aku membencinya dan well, sejauh ini usahanya sangat berhasil.
Hujan turun begitu aku memasuki lobby sekolah. Bau hujan yang menyedihkan menusuk hidungku. Siswa-siswa yang tadinya bergerombol di lorong pun bergegas masuk ke dalam kelas walaupun guru mereka belum ada atau justru sama sekali tak hadir. Aku mulai mempercepat langkah begitu toilet wanita terlihat. Toilet wanita bersebrangan dengan toilet pria dan –
Tiba-tiba saja aku tergelincir. Tubuhku kehilangan keseimbangan. Pandanganku beralih ke atap bangunan yang putih pualam. Dalam hitungan detik, kepalaku yang belum benar-benar sembuh akan menghantam lantai.
Loh, kenapa aku tidak jatuh?
Mimpi buruk itu tidak terjadi. Sepasang lengan kekar menarik tubuhku dengan cepat.
“Kylie, kau tidak apa-apa?”
Aku menengadah dan mataku bertemu dengan sepasang mata hitam arang milik Will. Lengannya mendekap tubuhku erat membuatku sedikit kesulitan bernafas.
“Lepas.” Pintaku sembari menegakkan badan.
“Oh maaf,” Dengan segera ia melepaskanku. “Aku hanya ingin membantu—Hei kau kenapa? Matamu? Kau habis menangis ya?” Nah, ini yang kukhawatirkan.
“Tidak.”
“Ayolah jangan berbohong.”
“Sebenarnya ini bukan urusanmu.” Aku bergegas melewatinya, tapi aku belum cukup cepat. Ia mengambil lenganku lalu mendorong tubuhku ke dinding.
“Cukup, Aku lelah, Kylie.”
“Lepaskan aku, Will.” Aku berontak tetapi Will malah mengambil tanganku dan menarik tubuhku hingga aku naik ke atas sepatunya. Tangan kirinya memegang pinggangku sedangkan tangan kirinya menyibakkan rambut yang menutupi wajahku.
Yatuhan sudah 2 kali dalam jarak waktu yang berdekatan tubuhku tak berdaya ditangan 2 lelaki.
Pipiku memanas begitu mataku bertemu dengan mata Will yang rasanya sudah tidak berjarak lagi.
“Maafkan aku.”
“….”
“Kylie, kumohon maafkan aku.” Ulangnya lagi.
Mata kami saling bert atapan dan aku melihat mata Will menggelap dan menatap bibirku seakan hendak--
Cukup. Aku yang pertama memalingkan wajah sebelum sesuatu terjadi. “Maaf untuk apa?” tanyaku berlagak bego.
Will tersenyum masam melihat tingkahku tetapi ia tetap menjawab pertanyaanku. “Karena aku sudah sering kali membuatmu marah, karena semua pertengkaran yang telah terjadi kemarin. Bertengkar denganmu membuat hidupku seperti berada di ambang kehancuran.” Jelasnya sembari memberikan senyuman yang terlihat sedih.
“Dengar, aku tak pernah mempermasalahkan—“
“Benar.” Tanpa kumengerti Will memotong omonganku. Kemudian ia melepaskanku, membuat kakiku kembali menjejak lantai yang tadi terhalangi sepatunya. “Kau memang tak pernah mempermasalahkan kita, ya kan?”
“To be honest aku tak mengerti maksudmu.”
“Oh yeah tentu saja kau tak mengerti.” Katanya sinis. “Lupakan saja, itu tadi tidak penting buatmu.” Kemudian ia berbalik dan melangkah menjauh sementara aku terdiam dan berusaha mencerna perkataannya.
Aku tak mau mengerti apa maksudnyatapi sayangnya aku mengerti.
Cukup sudah! Permasalahan dengan Zacharry sudah membuatku muak. Kumohon Will jangan membuat semuanya semakin runyam.
Tanpa kusadari, kakiku membawaku ke William. Lebih tepatnya, saat ini, aku berada di belakangnya. Mengekornya sementara ia berjalan agak cepat dari murid-murid yang lain ke arah parkiran. Ia menekan kunci mobilnya dan melihat kearah jendela mobilnya. Kemudian, ia berbalik menghadapku dengan raut wajah terkejut. “Sejak kapan kau disini? Kau mengikutiku. ”
“Yeah dan ternyata kau tidak menyadarinya.”
William memucat dan yeah ia terlihat agak kebingungan.
“Ada masalah?” tanyaku.
Ia menggeleng dengan cepat, “tidak. Aku senang mengetahui kau mengikutiku tapi aku tak ingin kau membolos pelajaran hanya karena ingin mematahkan hati seseorang,”
"Mematahkan hati seseorang?!" Sergahku. Aku memandangnya tak percaya. "Kita bahkan baru mengenal!"
William tak menggubrisku. Ia berusaha bersikap santai dan biasa aja tapi aku berani sumpah bahwa kedua tangannya mengepal memperlihatkan otot-ototnya dan.. itu sedikit menakutkan.
“Jadi ada apa? Say it loudly”
Aku menatapnya tidak yakin, tapi.... masa bodo! Aku harus mengatakannya. “Saat ini aku sedang banyak problems, jadi kumohon jangan menambah runyam perasaanku.”
Tubuh Will menegang memperlihatkan otot-otot di lehernya. Ia menggertakan giginya rapat-rapat dan tiba-tiba saja aku merasa sangat bersalah.
“Will, I didn’t mean to—“
Ia menginterupsi dengan mengangkat tangannya, “Aku sudah tau kemana arah pembicaraan ini. Sudah kuduga kau memang tak menganggapku.”
“Will, look. I didn’t mean to break ur heart.”
“You just did.”
“I just need a time to—“
“I got it. ”
“Will—“
“Massive thank you for breaking my heart,” Will membuka pintu mobilnya tapi aku menarik tubuhnya kemudian menutup pintu mobilnya sebelum ia berhasil masuk. Aku membalik tubuhnya dan melihat raut wajah kesalnya. Ia mendesah tak sabar. “Cukup, Kei. Urusi saja Zacharry dan katakan pada mahluk penghisap itu bahwa begitu berartinya ia untukmu. Katakan bahwa kita tak ada apa-apa sedangkan mahluk itu tak perlu merasa cemburu! Katakan begitu spesialnya dia! ”
“Kau bicara apa sih? Aku–“ Perkataanku terpotong sementara mataku membelalak berusaha mencerna perkataan Will barusan. Will bilang Harry apa tadi?
Mahluk penghisap?
Tiba-tiba saja wajah Will memucat. Kemudian ia buru-buru masuk ke dalam mobilnya saat aku lengah dan menyalakan mesinnya. Aku mengetuk kaca jendelanya keras-keras dan berteriak. “Will keluar! Kita perlu bicara!”
Tapi bukannya mendengarkanku, Will menjalankan mobilnya dan meninggalkanku sendirian di tengah kebingungan.
Sial, ini jauh lebih rumit dari yang kukira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbelievable
VampirgeschichtenVampire dan Pemburu Iblis alias Shadowhunters, tiba-tiba saja masuk ke dalam kehidupanku. Merusaknya sekaligus mewarnainya. Tapi yang kutahu pasti hanya satu hal : Aku jatuh cinta dengan mahluk bertaring sialan itu.