ENAM - IBU
KEESOKAN paginya, saat aku terbangun dari tidurku, tanganku langsung mencari-cari ponsel yang rupanya tertindih di bawah bantal. Aduh, enggak bagus tahu, bisa terkena radiasi. Belum lagi efek candunya. Rasanya tidak segera mengecek ponsel ketika bangun, bisa kiamat.
Aku cuma hendak memastikan, apakah Kelvin membalas pesanku.
Saat kubuka LAIN.
Hasilnya nihil.
Terhitung sudah satu hari sejak dia tidak membaca ataupun membalas pesanku.
Apa 'sih susahnya meluangkan sedikit waktu untukku?
Jangan bodoh, kamu itu bukan prioritasnya.
"Ah! Tinggal balas aja susah. Bukannya nagih utang, harus pakai acara ngilang segala," gerutuku sebal. "Heran sama cowok zaman sekarang."
Sudahlah, daripada aku lelah sendiri, berharap sendiri, lebih baik aku sudahi.
Tidak perlu berjuang pada orang yang tak pantas diperjuangkan.
"Rika! Bangun! Nggak mau sekolah kamu? Udah mau telat, Nak!" Terdengar suara teriakan dari lantai bawah. Mama pasti mengira aku masih tidur.
"Iya, Mak. Ini udah bangun!" teriakku dari loteng.
"Main handphone aja kerja kamu, bukannya mandi, pergi sekolah," omel Mama ketika aku menuruni anak tangga. "Buta kamu nggak bisa lihat jam? Asik aja handphone terus, handphone terus. Kenapa? Pacaran kamu? Mama laporin nanti ke Papa."
Aku berdecak, ada-ada saja pikiran beliau ini. "Apa Mama, asik aja ngomel terus. Sekolah 'kan jam tujuh, masih ada setengah jam lagi. Nggak, nggak. Nggak pacaran aku, mau langsung nikah aja. Biar puas Mama, langsung dor nimang cucu."
"Eh, nggak sopan kamu sama Mama," balas Mama tak mau kalah. "Nikah lah kamu. Kamu kira nikah itu gampang, sekolah dulu kamu yang benar. Masih kecil, nggak usah cinta-cintaan."
Bibirku mengerucut. "Ya udah, aku mau mandi dulu, Mak."
"Iya, mandi sana. Udah mau telat, asik aja handphone terus."
Handphone lagi, handphone lagi.
"Iya. Iya. Kalah aku, Mak."
***
Segini dulu ya, guys. Tadi udah ketik panjang terus ilang. Nanti malam updet lagi. Jangan jadi silent reader ya, guys. Please hargai author yang sudah meluangkan waktu menulis. Thank you!