DUA PULUH - BEGITULAH!
HEI, terima kasih sudah bertahan sampai di chapter dua puluh ini. Kurasa hanya tinggal beberapa orang saja yang setia membaca, mengingat cerita ini bertolak belakang dari selera pasaran. Cara menulisnya pun berbeda dari yang biasanya, cerita ini dibiarkan mengalir begitu saja.
Bagaimana sampai sejauh ini? Berikan komentar kalian di bawah. Aku hitung sampai tiga. Satu... dua... tiga!
Jadi, sesuai dengan judulnya, begitulah awal mula aku menjadi sangat tertarik pada Steve. Semua karena dukungan dan keantusiasan keluarga besar di Pekanbaru. Yang awalnya hanya kenal lewat game dan chatting biasa saja, kini malah menjadi akrab dan hampir setiap jam saling balas-membalas pesan.
Hanya satu hal yang kuinginkan sebelum kembali ke Batam. Aku ingin sekali bertemu dengan Steve—manusia pemalu itu. Aku ingin menatap matanya, bertukar cerita dengannya, dengan tujuan memastikan apakah aku benar-benar tertarik padanya.
Seperti hari ini, Kak Ruth berjanji akan mengajakku ke rumah neneknya Steve. Katanya sih jarak antara rumah Steve dengan neneknya tak terlalu jauh, hanya tinggal menyebrang dan jalan beberapa langkah, sampai deh.
Jadi setelah aku menemani Kak Ruth ke kantor ekspedisi guna mengirim paket online shop-nya yang membludak, kami segera meluncur ke TKP. Hari ini matahari sangat terik, menyebabkan pendingin mobil tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Saking panasnya kota ini dan lumayan sering terjadi kebakaran hutan—yang menyebabkan asap, jerawatku langsung bermunculan semua.
Untungnya, Kak Ruth yang ahli dalam dunia skincare, segera melakukan semacam home spa treatment agar jerawat di wajahku tidak bertambah semakin banyak. Jadi, produksi sebum berkurang sehingga pori-pori tak lagi tersumbat. Duh, kok aku malah nyasar ke skincare, 'sih?
Okay, back to the topic. Setelah kira-kira menghabiskan dua puluh menitan di perjalanan, kami akhirnya tiba di depan sebuah bangunan ruko berlantai tiga yang menjual ikan-ikan hias.
"Ini rumahnya tante Steve, Kak?" tanyaku pada Kak Ruth yang sedang fokus memarkirkan mobilnya.
Kak Ruth mengiyakan. "Yep. Neneknya juga tinggal di sini. Yuk, turun."
"Apa kita nggak aneh, Kak? Datang-datang langsung menodong mau ketemu Steve?" Nada suaraku terdengar khawatir. Aku terlalu sering seperti itu, semua hal-hal kecil yang seharusnya tidak perlu dipikirkan, pun bisa menjadi beban pikiran. Tak jarang panic attack melandaku.
"Udah, kamu tenang aja. Kalau ada Kakak, semuanya aman. Nggak ada yang perlu kamu takutin," kata Kak Ruth menenangkanku. "Sekarang, ayo turun. Kita jumpai tante dan neneknya Steve dulu."
"Oke, deh. Let's go."
Kami berdua sama-sama melangkah masuk ke dalam toko yang menjual ikan hias dan perlengkapan a.k.a aksesori akuarium tersebut.
Berbeda dengan Kak Ruth yang langsung cipika-cipiki dengan tante juga neneknya Steve. Mataku malah terpaku pada sebuah ikan hias yang mengingatkanku pada peliharaanku di rumah. Namanya Zebra Tilapia, bahasa latinnya tilapia buttikoferi.
Pokoknya kalau berkeinginan memelihara ikan hias jenis air tawar, kalian kudu banget pelihara yang satu ini. Aku nggak bohong, ini akan menjadi informasi berguna! Kenapa aku bisa berkata demikian? Tilapia ini adalah jenis ikan hias yang pintar. Mereka sangat aktif dan akan mengikuti setiap gerakan dari luar akuarium, coba saja gerakkan tanganmu padanya.
"Dek, sini kenalan dulu sama tante dan neneknya Steve," panggil Kak Ruth tatkala aku sibuk bermain dengan ikan-ikan di akuarium.
Aku berlari kecil menghampiri mereka.
"Halo, Oma. Salam kenal, saya Rika, temannya Steve. Saya lagi liburan dari Batam ke Pekanbaru," sapaku mengangguk hormat pada Oma yang duduk di kursi goyangnya, sebelum perhatianku beralih pada wanita cantik di samping Oma yang kuduga adalah tante dari Steve. "Halo, Tante. Saya Rika. Salam kenal."
Oma memandangku dengan wajah berseri-seri dan meraih tanganku. "Halo, Rika. Kamu cantik sekali. Senang bisa berjumpa dengan kamu."
"Terima kasih banyak, Oma. Saya juga merasa demikian."
Kini giliran tante Steve yang balas menyapaku. Dia juga tampak sama ramahnya dengan Oma, mereka berdua menyambutku dengan sangat ramah. "Hai, Rika. Salam kenal. Saya Lucy, tantenya Steve. Yuk, mari duduk, kita nge-teh dulu. Nggak usah segan sama kita, anggap aja keluarga sendiri."
"Oke, Tante Lucy. Thanks."
Oma mempersilakanku dan Kak Ruth untuk duduk di kursi yang telah disediakan, sementara Tante Lucy menghilang ke dapur untuk membuatkan kami secangkir teh jasmine hangat.
"Sudah lama nggak mampir ya, Ruth. Oma kadang ada kepikiran kamu dan adik-adik juga. Rasanya baru beberapa waktu lalu Oma jadi guru kalian, sekarang sudah menua saja." Oma menatap kami bergantian, sambil tersenyum. "Rika, kamu sudah ketemu sama Steve? Dia baik, 'kan?"
Aku tahu jawaban yang Oma harapkan adalah sebuah anggukan, tapi sayangnya aku justru menggelengkan kepala. "Belum, Oma. Steve malu-malu, katanya nggak berani ketemu."
Oma menepuk jidatnya. Haha, lucu 'kan? "Dasar anak yang satu itu. Entah apa yang harus dimalukan. Lucy, mana handphone Oma, tolong kamu bantu Oma telepon Kuin. Biar suruh Steve ke sini sekarang. Masa ini temannya datang jauh-jauh dari Batam, dia nggak ajakin ketemu."
"Kenapa, Ma?" tanya Tante Lucy yang muncul dari balik pintu dengan membawa sebuah nampan berisi gelas-gelas minuman dan menaruhnya di atas meja. "Silakan minumannya, Ruth dan Rika. Nanti kalau nggak cukup, jangan segan-segan bilang, ya."
"Lucy, telepon Kuin sekarang. Cucu Oma yang satu itu sombong banget nggak mau ketemu sama temannya dari Batam. Sudah jauh-jauh begini, masa masih malu," omel Oma yang membuatku gemas, mengingatkanku pada mendiang nenekku.
Kami sama-sama tertawa, sementara Oma masih menggerutu. "Pokoknya nanti Steve itu biar Oma yang urus, Rika. Kamu tenang saja, Oma yang bilangin ke cucu Oma untuk ketemuan sama kamu. Kalau dia masih nggak mau, biar kita sama-sama ke rumahnya."
Ya ampun, Oma baik banget. Aku jadi terharu dengan kegigihannya agar aku dan cucunya dapat bertemu. Diri ini jadi semakin termotivasi. Haha.
Thank you, Oma, jasamu takkan pernah kulupakan!
Hari ini, esok, dan seterusnya.
Oma akan selalu kukenang.
Dan... ya, siang hari itu adalah saksinya, di mana aku akhirnya mengenal bagian dari keluarga Steve dan kami terlibat dalam percakapan yang luar biasa serunya. Semenjak perkenalan itu, aku seakan-akan menjadi bagian dari keluarga mereka. Bahkan, Steve sempat mengatakan padaku bahwa Omanya menceritakan tentang diriku ke semua sanak-saudara yang dijumpainya. Aku dan Steve menjadi lebih sering berinteraksi walau hanya lewat chat dan perlahan-lahan Steve mulai mencuri perhatianku, atau... lebih tepatnya,
dia mencuri hatiku.
***
Part ini kudedikasikan khusus untuk Oma, nenek dari Steve yang telah berpulang ke rumah Tuhan dan beristirahat dengan tenang bersama-Nya. Terima kasih Oma, untuk segala kebaikanmu, untuk support dan restu hingga kami aku dan cucumu memiliki kisah tersendiri. Jasa dan kebaikanmu tidak akan pernah kulupakan, Oma. Aku menyayangimu, sama seperti aku menyayangi keluargaku sendiri.
Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini. Tetaplah bertahan, cerita yang sesungguhnya akan dimulai sebentar lagi.