EMPAT BELAS - TAKUT
KEESOKAN harinya pukul delapan pagi, aku sudah berpakaian rapi dan duduk di ruang makan sambil menyantap semangkuk sereal. Chris dan lainnya masih nyaman berkelana di alam mimpi, sedangkan aku merasa sayang bila melewatkan liburan dengan tidur sepanjang hari.
Maka dari itu, ketika serealku tandas tidak bersisa, aku segera bangkit dari kursi dan meletakkan mangkuk kotorku di bak cuci piring guna membersihkannya. Begitu selesai, aku mengeringkan dan meletakkannya di rak.
Pagi ini aku diajak Om Santo untuk mengunjungi tempat produksi roti rumahan miliknya. Pabrik ini sendiri sudah beroperasi sejak beberapa puluh tahun lalu dan merupakan bisnis turun-temurun dari keluarga pihak Mama, cabangnya juga tersebar di beberapa kota besar.
"Aku boleh bantuin packing rotinya, Bu?" tanyaku pada salah satu karyawan Om Santo, Ibu Ningsih, yang katanya sudah bekerja sejak pabrik ini dibuka.
"Eh, nggak apa, biar Ibu saja," tolaknya halus dengan senyum simpul. "Nanti tangan kamu luka, lho. Mesinnya tajam."
Aku mengangguk-angguk, akhirnya duduk memperhatikan saja. "Oke deh, Ibu. Kalau begitu aku lihat prosesnya saja."
"Lagi liburan sekolah ya, Dek?" tanya Ibu Ningsih sembari menyusun roti-roti yang telah dipacking ke dalam keranjang. Roti ini nantinya akan didistribusikan ke toko swalayan dan toko-toko kelontong.
"Iya, Bu. Ini pertama kalinya saya main ke Pekanbaru lagi setelah sekian lama. Terakhir sepertinya pas saya masih balita, itu pun saya udah nggak ingat," ceritaku tersenyum padanya. Maklum, aku tergolong talkative, jadi nggak heran kalau bertemu orang baru pembawaannya ramah.
"Asli mana, Dek?"
"Batam, Ibu."
Ibu Ningsih ber-oh ria. "Saudara Ibu ada yang tinggal di Batam juga. Daerah Batu Aji. Sudah lama juga ndak main ke sana. Belum ada waktu yang pas."
"Kapan-kapan main ke Batam, Ibu. Udah banyak perubahan, pembangunan di mana-mana. Keren, lho," ucapku layaknya mempromosikan Batam, wah harusnya dibayar uang endorse nih!
"Rika!" kejut Chris yang mendadak saja sudah muncul di belakangku.
"Ya ampun, bikin kaget aja!" omelku memutar kedua bola mata. "Kenapa? Kangen ya? Panggil-panggil begitu?"
"Cih! Ge-er lo. Siapa juga yang kangen. Cepat amat lo bangun, udah rapi pula, mau ke mana emangnya?"
"Nggak tahu. Lo ada rencana ke mana? Bawa gue jalan, lah. Lo 'kan orang sini. Kok malah nanya ke gue."
Chris berpikir sejenak. "Em... Kelvin ngajak ketemuan sih, sama temannya yang lain. Ada anaknya Om Rudi juga, Feri. Lo mau? Kalau nggak mau, jangan dipaksa. Senyaman lo aja."
"Terserah," kataku bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah yang suasananya langsung berubah sejuk. Wah, hawa di dalam pabrik rotinya lumayan panas. Padahal aku baru sebentar saja di dalam.
Chris mengekoriku. "Jangan terserah. Pusing gue."
"Terserah. Kalau emang harus pergi, gue ngikut."
"Iya atau enggak?" tanya Chris memastikan. "Gue cuma takutnya lo nggak nyaman aja kalau harus ketemu sama Kelvin."
"Lo tahu dari mana soal Kelvin?" tanyaku penuh selidik. "Siapa yang ngasih tahu lo? Steve?"
Bukannya menjawab, Chris malah menertawakanku. Apa sih yang lucu?
"Lucu banget lo. Sumpah! Siapa coba yang nggak tahu lo sama Kelvin lagi ada masalah? Seisi grup LAIN juga udah pada sadar kali.... Lo yang biasanya sama Kelvin doyan bucin-bucin di group, mendadak sunyi, nggak pernah main bareng lagi, masang-masang status galau. Kelihatan banget, lah! Nggak perlu sampai Steve cerita, dia bukan tipikal cowok yang kayak gitu. Ketika lo curhat ke dia, semuanya akan disimpan sendiri, nggak akan disebarin ke siapapun. Lo harus ketemu sama dia, biar ngerti orangnya gimana. Jangan mikir negative gitu, nggak semua cowok sama," papar Chris panjang-lebar yang membuatku terdiam seribu bahasa.
Aku menelan ludah. Wow. Ini pertama kalinya kudengar Chris berbicara seperti itu, kupikir bakatnya hanya meledek saja. Tapi kali ini kuakui, dia layaknya sedang menamparku yang sempat mabuk asmara.
Apakah orang yang buta akan cinta memang tampak sebodoh itu?
"Amazing," kataku yang masih tak menyangka. "Speechless gue. Nggak nyangka ternyata lo bisa ceramah juga. Nggak bagus nih sifat gue, harus diubah. Always judge a book by its cover."
"Iya, makanya. Itu sifat jelek lo, harus segera disingkirkan," balas Chris sebelum kembali bertanya, "jadi pergi atau nggak? Kalau jadi biar gue kabarin ke mereka."
Aku berpikir sejenak.
Jikalau aku masih enggan untuk bertemu dengan Kelvin, bukankah sebenarnya itu adalah suatu pertanda bahwa aku belum bisa berdamai dengan diri sendiri atau justru dengannya?
Jikalau aku masih takut untuk bertatap mata dengannya, bukankah sebenarnya itu adalah suatu pertanda bahwa aku belum bisa benar-benar merelakannya?
Bukankah seharusnya aku menerima kenyataan dan bangkit saja?
Bukankah rasa sedih itu tak mungkin terjadi selamanya?
Lalu, kenapa aku masih sebegitu takutnya?
Bila aku benar-benar mengikhlaskan, harusnya aku tak lari dari kenyataan.
Bagaimana jika aku menghempaskan jauh-jauh semua rasa sakit hati yang telah berlalu, mengangkat tinggi kepalaku, dan menghadapi semua yang akan menghampiriku?
Bukankah itu lebih baik daripada harus terus-terusan bersedih dan tak menerima kenyataan?
Bangkitlah!
Mungkin takkan mudah, tapi aku yakin kau akan bisa!
"Okay, Chris. Lo bilang sama mereka, gue join," tegasku lengkap dengan wajah yang tak lagi menyiratkan kesedihan. "Apa yang harus gue khawatirkan? Nggak ada."
Yep, aku siap untuk bertemu dan bertatap mata dengannya.
Kalau bukan diriku sendiri yang menghadapi, siapa lagi?
***
Sampai di sini dulu, teman-teman. Selamat hari Minggu, ini tak kasih bacaan dulu supaya Minggu paginya nggak bosen. VOTE ya! Sebelum itu, ayo coba cek dulu, pasti dari kalian ada beberapa yang belum follow author, 'kan? Yuk, luangkan waktu untuk follow
Kenapa harus follow? Karena aku berencana untuk menulis cerita lain, jadi kalian akan dapat notif kalau aku up story-nya! Thank you!