TUJUH - SAKIT
SELESAI mandi dan berseragam lengkap, aku duduk termenung di sofa ruang tengah, menunggu Mama bersiap untuk mengantarku ke sekolah. Mendadak kepalaku terasa berat, pusing, dan nyut-nyutan. Suhu tubuhku juga panas dan telapak tanganku berkeringat.
"Ma, aku hari ini nggak masuk sekolah, boleh?" tanyaku pelan, suaraku parau. "Sepertinya nggak enak badan. Telepon wali kelas minta izin, yah?"
Dengan spontan, Mama memegang keningku untuk memeriksa apakah aku benar-benar sakit. "Lho, kok tadi kamu nggak kasih tau Mama? Malah mandi."
"Baru terasa pas selesai mandi, Ma. Aku istirahat ya, hari ini, boleh?"
Mama geleng-geleng kepala. Yang kuyakini pasti akan memulai ceramahannya. "Tuh kan. Main HP terus, jadinya sakit. Nggak bisa ya, HP-nya dikurangi dulu, kena radiasi itu."
"Hadeh. Nggak ada hubungannya kali, Ma," jawabku membela diri.
"Iya udah, sekarang kamu naik ke atas, buka lagi AC-nya, kamu istirahat. Nanti Mama masakin bubur, kasih paracetamol, nanti kalau memang nggak turun panasnya, Mama bawa kamu ke dokter," ujar Mama yang membuatku merasa lebih baik. Kasih sayang seorang Ibu memang tiada tandingannya, walaupun suka mengomel, tetap saja kasih sayangnya lebih mendominasi.
"Oke, Mama."
"Nanti Mama hubungi wali kelas kamu. Sekarang kamu tidur, jangan main handphone."
"Iya, Ma," ucapku tanpa perlawanan. "Makasih, Mama."
Setelah mengganti seragam sekolah menjadi setelan baju tidur, aku masuk ke dalam kamar.
***
KATAKAN aku gila, yep, that's me. Bukannya langsung mengistirahatkan diri, aku masih sempat-sempatnya mengecek ponsel untuk membuka aplikasi LAIN. Astaga, sepertinya aku harus segera mencari bantuan untuk menghilangkan kebiasaanku yang sudah terlalu candu terhadap ponsel.
Wow.
Sudah dua hari terhitung sejak Kelvin menghilang tanpa kabar.
Bahkan pesanku sama sekali tidak dibaca.
Apakah lelaki memang suka bermain-main dengan cara seperti itu? Menghilang ketika rasa penasaran sudah hilang?
Seriously?
Aku mengetikkan sebuah pesan di layar yang menampilkan chat Kelvin denganku.
Rika : Kelvin... kamu kok ngilang?
Tapi, sedetik kemudian aku langsung menghapus pesan itu, tidak jadi mengirimkannya pada Kelvin. Mungkin lebih baik aku sadar diri dan mundur saja.
Maksudku, hey, aku memang tidak cantik seperti wanita-wanita yang wajahnya terpampang nyata di sampul majalah. Tetapi, bukan berarti aku tidak berharga dan harus mengemis untuk mendapatkan perhatiannya.
Begini, untuk apa menghabiskan energi secara sia-sia pada orang yang tidak menghargai keberadaan kita?
Daripada kita membiarkan harga diri diinjak sebegitu mudahnya, mengapa tidak mengangkat kepala dan menunjukkan siapa kita yang sebenarnya?
Tinggalkan.
Tidak usah ditunggu.
Tidak usah diharapkan.
Tidak ada gunanya.
Aku mengacak-acak rambutku, pusing dengan perdebatan yang terjadi di otakku.