Langit kelabu masih menumpahkan rintiknya yang sendu. Sepasang insan itu belum mengubah posisi mereka. Karena detik di mana mereka bersama, di situlah waktu terasa abadi. Seakan kata selamanya adalah milik mereka, seolah mereka bisa saling memiliki satu sama lain meski hanya sebentar.
Sayangnya, untuk Kim Jisoo dan Kim Seokjin, kata selamanya merupakan sesuatu yang fana.
Sejurus kemudian Jisoo menjauhkan tubuhnya dari Seokjin, tubuhnya gemetar. Dirinya masih tak percaya Seokjin baru saja mengungkapkan cinta kepadanya.
Pengungkapan cinta yang membuatnya bahagia sekaligus patah hati dalam waktu yang bersamaan.
"Soo-ya, kau harus kembali," ujar Seokjin. "Anginnya agak kencang. Kalau kau kedinginan bisa masuk angin."
"Seokjin, maaf..." Kepala Jisoo tertunduk, ia tak tahu harus mengatakan apa untuk menjawab pernyataan cinta dari Seokjin. Haruskah Jisoo mengatakan bahwa sedari dulu ia telah mencintai Seokjin?
Seokjin meremas kedua tangan Jisoo. "Lupakan semua perkataanku barusan dan pergilah."
"Seokjin..." Bahu Jisoo kembali gemetar sebab menangis.
"Tinggalkan aku sendiri, atau aku akan semakin sakit jika melihatmu lebih lama di sini." suara Seokjin terdengar pilu.
Aku mencintaimu, aku mencintaimu Seokjin-ah...
Ingin sekali Jisoo mengatakan dengan keras kalimat itu. Namun, ia justru memilih bungkam seribu bahasa.
Jika Jisoo mengungkapkan perasaannya, apakah mereka akan berakhir bersama?
Lebih baik ia tetap menyimpan perasaannya seorang diri meskipun dirinya harus menanggung rasa sakit. Cukup dirinya yang terluka, tidak boleh ada yang lain. Tidak Suho, tidak Seokjin.
"Soo-ya, jika sekarang aku mengatakan aku akan belajar merelakanmu bersama dengan Suho, kurasa aku akan menjadi manusia munafik belaka kalau kenyataannya aku sama sekali tidak rela." Seokjin tersenyum kecut. "Kau pernah dengar kalimat 'Titik tertinggi dari mencintai seseorang adalah dengan merelakannya bahagia bersama dengan orang lain'? Aku rasa itu merupakan kalimat paling konyol sekaligus munafik." ia menghela napas, mencoba menghalau rasa sesak yang melanda. "Tidak ada orang yang benar-benar merelakan tambatan hatinya bersama orang lain. Kalimat itu hanya diucapkan oleh orang-orang yang putus asa dan tidak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa bersama dengan tambatan hatinya."
Jisoo masih belum mengerti ke mana percakapan ini akan bermuara.
"Aku rasa kita tidak perlu bertemu lagi," Seokjin berkata lirih, "itu lebih baik."
"Apa maksudmu?" balas Jisoo, tersentak.
"Sebaiknya kita tidak bertemu lagi. Aku tidak mau jatuh terlalu dalam, Soo-ya."
Jisoo tertawa pahit. "Semudah itu kau mengatakan tidak mau bertemu lagi denganku? Bukankah kau sendiri yang meminta agar aku tetap tinggal dan tidak meninggalkanmu?"
"Tapi sekarang keadaan berubah Soo-ya. Kau tidak mengerti."
"Tidak, kau yang tidak mengerti," kilah Jisoo, memandang Seokjin dengan tatapan terluka. "Kau.... kau egois, Seokjin."
Dengan gemetar, Jisoo menyeret kakinya pergi dari sana bersama hati yang patah.
Kini hanya tinggal Seokjin seorang diri. Tenggelam dalam pahitnya rasa cinta yang terkadang menghidupkannya. Namun terkadang juga mematikannya.
•••
"Astaga, Seokjin-ie! Apa yang terjadi padamu?"Eunsoo memekik, terkejut mendapati Seokjin yang baru pulang dengan kondisi terbilang cukup mengenaskan. Rambutnya berantakan, kedua matanya merah, penampilannya benar-benar kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Moonlight | Jinsoo ft. Irene✔ [COMPLETED]
Fiksi Penggemar"Aku masih ingat bagaimana caramu tersenyum ketika memandang cahaya rembulan." Sejak kematian istrinya, Kim Seokjin menjalani kehidupan dengan status 'single parent'. Ia tidak memikirkan perkataan orang-orang yang memberikan saran agar ia sebaiknya...