CHAPTER X: Deus Caritas Est

33 7 2
                                    

Di tengah-tengah keramaian panti asuhan, Ryan lebih memilih untuk menyendiri, seperti biasanya. Ia menyandarkan bahunya di sebuah pohon oak yang tertanam kokoh di dekat pagar batu bata panti asuhan.

"Why don't we rewrite the stars... Say that the world could be ours..." Sepasang earphone mendengungkan nyanyian Zac Efron dan Zendaya.

Dengan santainya Ryan menumpukan kaki kirinyanya pada tunggul pohon. Well, setidaknya ia tampak santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa, tetapi dalam hatinya, ia tidak dapat menyembunyikan rasa galau.

Mana bisa, ia berpura-pura tenang? Banyak hal yang terjadi hari ini dan itu membuatnya bingung. Ia masih tidak mengenal siapa ibunya, siapa wanita berambut pirang itu, dan kenapa dia terus memimpikannya? Dan yang paling utama...

"Apa ya isi surat ini?" Tanya Ryan dalam hati. Untuk beberapa saat, ia mengamat-ngamati amplop surat itu. Tidak ada yang istimewa... hanya amplop putih biasa tanpa perangko, alamat dan sebagainya. Kali ini, lem kertas melekat pada penutup amplop, tandanya bahwa belum ada yang pernah melihat isi surat itu, kecuali May yang sudah membukanya sebelum dilem.

"Huft... What the heck... Mungkin lebih baik kubaca sekarang..." Desah Ryan lirih.

Ryan menggigit sisi surat itu dan menyobeknya dari samping. Masih sambil mengigit sisa amplop yang sobek, ia mengeluarkan sepucuk surat merah muda bergaris-garis dan mulai membacanya.

Untuk: Ryan...

~~~~~~~~~

"Kau memberikannya! Kau akhirnya memberikan surat itu!" Pekik Rachel dengan suara melengking. Ia menggenggam tangan Chloe dan berjingkrak-jingkrak riang.

Meskipun Chloe tidak tampak begitu gembira. Wajahnya merah padam, "Kalian memata-mataiku... lagi!"

"Siapa yang peduli, sobat! Kau mengirim suratmu!"

"I-iya sih... Tapi aku merasa sedikit menyesal. Kurasa suratku kurang menarik..." Chloe menutup wajahnya malu, "Apa yang akan dijawab Ryan?"

"Sudah kukatakan seharusnya kau membiarkanku menghiasinya!" Sanggah Rachel seketika, "Aku punya sebotol glitter dan stiker lucu. Menurutku cocok kalau di amplopnya ada stiker Stitch."

"S-sepertinya Ryan bukan tipe seperti itu." Kata Chloe gelisah.

"Kau benar!" Kali ini Ricky yang menyela, "Dia itu tipe cowok yang cuek, tenang, dan cool! Menurutku seharusnya ada gambar tengkorak dan tetesan darah pada amplopnya."

*Bletak!* Rachel menjitak kepala adiknya yang nyaris tak berisi itu, "Kau pikir kita menulis surat ancaman, dasar bodoh!"

"Apa salahnya mengutarakan pendapatku! Idemu lebih bodoh tahu!" Gumam Ricky kesal pada dirinya sendiri.

"Kau bilang apa?!" Tanya Rachel mengancam.

"Nothing..."

"Cih..." Rachel melipat tangan dan membuang wajahnya dari Ricky. Sejenak, hening menyergap.

"But, guys..." Chloe memecah hening, "Tidakkah menurutmu tingkah Ryan sedikit aneh saat di dapur tadi? Dia tidak seperti biasanya..."

"Setelah dipikir-pikir, kau benar juga!" Ricky menyutujui, "Dia itu cowok tidak peka yang tidak bisa dirayu. It's not like him to make the first move like that... Kau tahukan, saat ia menerjang ke arah Chloe dan ..."

[HIATUS]Deus Caritas Est (DCE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang