4. Rumah Cewek Planet

4.2K 335 19
                                    

Sepulang dari rumah Nichol, Devan tak langsung pulang ke rumah melainkan mampir ke rumah teman mamahnya. Katanya sih mamahnya sedang main, jadi ia disuruh menjemputnya. Jadilah Devan mengendarai motornya ke lokasi yang Prisila kirim.

Devan memarkirkan motornya di depan gerbang, tidak langsung masuk. Alasannya ...

"Pasti banyak tante rumpi arisan, jadi sasaran pipi gue entar."

Yah, begitulah Devan. Ia tak pernah mau ikut ke acara Prisila lagi, karena waktu kecil pernah kejadian pipinya dicubit sampai menangis, mungkin karena gemas tapi malah memerahkan pipi malang Devan kecil.

Devan bergidik ngeri ketika mengingat itu semua. Ia memakaikan hoodie ke kepalanya, menutupi dari terik matahari. Tiba-tiba gerbang terbuka membuat Devan terjengkat lebay.

"Ya Allah, kirain malaikat maut," pekiknya saat seorang cewek keluar.

"Taunya bidadari dari pagar."

Cewek itu ikut tersenyum. "Devan, 'kan?" tanya cewek itu.

"Bukan. Kenalin, gue Manurios." Devan mengulurkan tangannya sedangkan cewek itu semakin terkikik lucu.

"Aduh, hi Manurios, gue Kenya." Cewek itu menerima uluran tangan Devan.

"Oh iya, tante Prisila ada di dalem, lo disuruh ke dalem bentar."

Devan melongo ke dalam pagar sebentar. "Gak mau, pasti banyak tante arisan," ucap Devan takut membuat Kenya tertawa garing lagi.

"Gak ada kok, cuman nyokap sama tante Prisila doang."

"Bener?" tanya Devan memastikan lagi, Kenya mengangguk yakin.

"Bener, yuk masuk. Dari pada lo di sini kepanasan."

Kenya membukakan gerbangnya agar Devan membawa masuk motor besarnya. Baru cowok itu turun dan mengikuti Kenya memasuki rumah.

"Terima kasih, bidadari cantik."

Kenya menepuk bahu Devan pelan. "Gak usah gombalin kakak kelas, besok-besok lo mau dikecengin kakak kelas?"

"Eh? Lo Kenya Putri?" tanya Devan sedikit terkejut.

"Ya ampun, Bunda gue temenan sama nyokap cewek tercantik di sekolah." Devan menangkup pipinya kagum dan berbinar.

"Lebay lo, itu cuman gelar para murid yang lambe turah aja."

"Tapi bener, gue baru liat lo dari deket pertama kali sih, soalnya lo gak pernah keliatan."

"Lo nya aja yang kebanyakan ngelakuin hal gila sampe gak liat sekitar," balas Kenya.

"Wih, gue terkenal banget nih sampe lo tau tentang gue?"

"Iyalah, Devan Alvaro Wijaya, cowok tengil seantero sekolah. Mana ada yang gak tau lo."

"Wiss, thank you of the ... tar dulu, gelar apa Bahasa Inggrisnya?"

Kenya menggelengkan kepalanya sambil terus terkekeh. "Pantesan lo tetep jomblo, gila akut."

"Jomblo juga gak papa, yang penting ganteng."

"Terserah. Lo duduk dulu gue panggilin Mamah sama tante."

"Sip, se abad juga gak papa, cemilan toples lo lumayan ini," cengenges Devan.

Setelah kepergian Kenya, Devan sibuk dengan game dari ponselnya. Taulah kenapa dia begitu suka dengan game yang kalo tai-nya dipencet jadi koin. Biar kaya pikirnya.

Sedang sibuk-sibuknya dengan game mobil anak kecilnya itu, Devan tak sengaja melihat ke arah pintu di dekat tangga yang terbuka dari dalam. Keluarlah satu cewek lagi, bukan Kenya. Devan memicingkan matanya.

"Cewek planet!" pekiknya sedikit keras. Cewek itu mencari asal suara. Wajahnya tampak bingung saat melihat Devan sepenuhnya.

"Ya ampun ketemu lagi, jangan-jangan jodoh."

Pluto tak peduli, cewek itu melanjutkan langkahnya menuju lorong entah kemana. Dari pada bosan memainkan game, Devan memilih mengikuti cewek itu. Ternyata lorong itu membawanya ke dapur.

"Cewek planet?" panggil Devan. Pluto yang tengah menyeduh satu kopi tetap menunduk mengaduk isi gelasnya. Devan mendekati Pluto.

"Lagi apa, cewek planet?"

"Pluto," balas cewek itu datar. Pluto akan berbalik pergi tapi tangannya ditarik Devan sekuat tenaga cowoknya. Alhasil Pluto membalik dan menubruk Devan. Devan yang belum siap ikut terjengkang.

Brugh

Prang!

Napas Pluto tercekat kaget saat mereka terjatuh bersamaan. Posisi Pluto menindih Devan. Kedua insan itu saling tatap dengan jarak wajah mereka hanya sejengkal.

"Astagfir––"

"Devan!!"

Pluto dan Devan sama-sama kaget, menoleh menatap orang berteriak itu. Cepat-cepat Pluto bangkit lebih dulu, berlalu pergi tanpa melihat siapapun. Sedangkan Devan, masih di posisi awal, terlentang di lantai dengan tatapan kosong.

"Devan? Heh! Apa yang terjadi?" tanya Prisila.

"Awas kena pecahan gelas, Pris." Jessika memunguti pecahan gelas itu dan Prisila membantu Devan untuk segera berdiri.

"Devan?" panggil Prisila lagi, ditepuk pipi cowok itu pelan.

"Cantik banget, Bunda."

"Hah?" bingung Prisila.

"Saha nu cantik?" tanya Jessika ikut bingung.

"Cewek planet."

Prisila dan Jessika saling tatap, lalu kembali menatap Devan.

"Pluto maksud kamu?" tanya mereka bersamaan. Devan seperti mendapat kesadarannya saat mendengar suara lebih nyaring lagi. Dia menatap sekelililing, melihat situasi.

"Eh, nggak Bun, tante." Devan menggaruk belakang kepalanya malu.

"Anu, itu tadi ... Pluto mau jatuh terus ya ... gitu deh."

Jessika tersenyum lalu mencubit pipi Devan gemas. "Kasep pisan anak kamu, Pris. Hehh ... mau kemana?"

Devan langsung menjauh, berlindung di belakang punggung Prisila.

"Pulang, Bun," bisik Devan. Prisila tertawa kecil.

"Devan paling takut dicubit pipinya, Jess. Maaf ya."

"Oh takut, maafin tante yah. Gak tau, lagian kelepasan juga. Ganteng pisan, duh."

"Bunda ayo pulang," ajak Devan seperti anak kecil.

"Iya bentar, Devan."

"Aku pulang dulu ya, Jess. Makasih loh atas tawarannya, nanti aku pikirin lagi."

"Sama-sama. Iya hati-hati pulangnya."

"Duluan yaa."

"Duluan, tante." Devan mendekat walau takut, mencium tangan Jessika sopan.

"Aduh, mani kasep budak teh." Jessika mencubit satu kali lagi pipi Devan.

"Mau nangis lagi tapi bukan anak kecil," batin Devan.

---Dear, Pluto---

Brak

Pluto menutup pintu kamarnya. Mengatur alur napasnya yang begitu cepat. Tangannya sedikit bergetar karena efek lari tadi.

Tiba-tiba air matanya jatuh bersamaan dengan luruh tubuhnya di balik pintu. Ia peluk lututnya, semakin keras mengeluarkan emosi batinnya.

"Venus."

---Dear, Pluto.---

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang