"Pagi, Pluto."
Gadis yang kini tubuhnya dipenuhi alat penunjang hidup itu masih terdiam di atas kasur rumah sakit, membiarkan sapaan lirih Nichol sebagai angin lalu. Semalam dia sempat bisa bernapas mendengar gadis penerima jantung adiknya ini melewati kritis, tapi entah kenapa dia kembali ke titik buruk. Bahkan sempat mendapat kejut pada jantungnya karena sempat berhenti. Tidak ada yang tidak menangis sampai Nichol sekalipun, cowok itu kini sudah kumal tanpa bisa diberi penilaian baik.
Bibir Nichol tersenyum, mengelus alis tebal Pluto lembut, "buka mata lo, gue pengen liat. Lo harus bikin Devan sadar, bikin dia minta maaf sama lo, Pluto."
Sudah air mata ke berapa yang Nichol luruhkan, dia tidak peduli. Dia tidak ingin kehilangan sesuatu mengenai adiknya lagi. Dia ingin jantung itu masih berdetak.
"Pluto, bangun. Ayo kita ke Jogja lagi, gue bakal biarin lo main di Malioboro sesuka lo, selama yang lo mau," lirihnya.
Tidak tahan, Nichol memilih beranjak keluar ruangan. Semua orang yang menunggu di luar menatap Nichol miris. Mungkin ikatan batin saudara mereka masih melekat dan membuatnya buruk seperti ini.
"Sabar, Ko." Ridho menepuk kepala Nichol yang menunduk, menahan isakkan tangisnya. Ia merasa cengeng sekarang. Rapuh.
--Dear, Pluto---Di sudut koridor rumah sakit, sudut bibir Devan menyungging. Pipinya sudah basah sejak tadi saat melihat Nichol keluar dari satu ruangan. Melihat sahabatnya bersimpuh penuh air mata, membuat batinnya terusik.
Devan merasa kepalanya memberat, dia berjongkok kemudian memukul kepalanya sendiri dengan kepalan tangannya sendiri. Dia merasa bodoh, tapi dia tidak akan menyesal. Iya, Devan tetap membenci Pluto bagaimana pun keadaan gadis itu. Devan terlanjur membenci keadaan.
"Maaf, Aisyah. Tapi aku gak terima ini semua."
Devan bangkit dari sana, pergi meninggalkan koridor rumah sakit tanpa mau menemui kumpulan orang yang tengah meraung dalam tangisan. Devan tidak setangguh itu, dia juga rapuh.
---Dear, Pluto---
Pluto membuka kelopak matanya pelan dan kian lebar. Dan yang pertama ia lihat adalah batang hidung seseorang tepat beberapa centi saja di depannya. Seketika bibirnya tersenyum senang.
"Venus!" pekiknya girang. Dia begitu rindu kekasihnya ini.
Dengan cepat Pluto beranjak duduk, beralih memeluk leher Venus erat. Dia menangis saking senangnya. Venus tanpa pikir merengkuh pinggang Pluto, membalas pelukan itu penuh erat.
"Rindu 'kah?" suara lembut itu mengalun di telinga Pluto.
Kepala Pluto mengangguk dalam pelukannya. Setelah beberapa menit baru ia melepasnya, menatap wajah yang selama ini ia rindukan. Tidak ada lagi wajah penuh selang dan kepala hampir botak akibat kemo. Venus di depan Pluto saat ini adalah Venus yang memiliki mata sipit dan rambut kecoklatan. Kulit putih mulusnya begitu indah terkena cahaya matahari.
"Jangan nangis, sayang."
Jemari Venus mengusap pipi Pluto lembut, membersihkan jejak air mata dari sana. Bola mata coklatnya tidak lepas untuk menatap gadis cantiknya itu.
"Mau peluk lagi?" tawar Venus yang langsung dibalas pelukan hangat oleh Pluto.
Merasa asing dengan tempat dan suasananya, Pluto melirik sekitar. Hanya dataran bunga matahari dan langit biru. Sebenarnya ia sedang dimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, PLUTO!
HumorDisarankan follow sebelum baca. |Complete| Pluto, cewek yang pintar Biologi harus terjebak dengan situasi dimana ia menjadi partner belajar seorang cowok. Cowok yang berwatak petakilan, bertolak belakang dengan dirinya yang dingin. Sayangnya, seirin...