17. Ramen

3.1K 272 5
                                    

"Pluto!"

Cewek berhodi kuning itu mendongakkan kepala dari ponselnya, menatap seseorang yang berdiri tak jauh di depannya. Devan, cowok itu sudah siap di dekat motornya. Ah, dia bawa motor sekarang.

Pluto mendekat, menyapa cowok itu singkat. Bahkan ia kebingungan saat Devan tersenyum gila sejak tadi. Atau memang beneran gila?

"Kenapa lo? Kepentok?" tanya Pluto saat memakai helmnya. Devan menggeleng kecil sambil membantu Pluto mengaitkan kunci helm.

"Gue lagi seneng aja, jadi mau traktir lo makan."

"Ramen?" tebak Pluto langsung Devan angguki. "Yuk, keburu demo cacing di perut gue," ajak Devan seraya menaiki motornya.

Pluto ikut naik setelah motor menyala, berpegangan pada tas yang memisahkan jarak mereka. Tak lama perjalanan, mereka tiba di cafe bertemakan makanan Jepang yang Devan tuju. Padahal, ia bisa memakan ramen di rumah.

"Tar dulu." Devan menahan Pluto saat gadis itu akan masuk. Ia menarik Pluto mendekat, merapihkan beberapa helai rambut yang keluar dari kupluk hodi yang gadis itu pakai. Ia menurunkan kupluk itu gemas. "Jangan gini ah, kayak teroris aja," celetuknya sambil terkekeh.

Pluto mengikuti tarikan tangan Devan walau ia sempat kesal dengan perlakuan cowok ini yang seenaknya mengatur penampilan. Mereka duduk di tengah, mulai memesan apa yang mereka mau.

"Tumben, biasanya bayar sendiri-sendiri," celetuk Pluto setelah makanan mereka tiba. Bahkan sekarang wajah Pluto sudah memerah karena pedasnya ramen yang ia makan.

"Gue lagi seneng," jawab Devan setelah menelan. Pluto mengusap bibirnya kepanasan. "Seneng karena apa? Dapet lotre?" tanya Pluto, membuat Devan terngakak sendiri.

"Ini lebih nyenengin dari lotre, asal lo tau."

"Apa?" tanya Pluto penasaran. Ia kembali menyuap padahal sudah kepedasan.

"Gue dapet nilai 91 di ulangan Biologi."

"Uhuk!" Pluto tersedak, memejamkan matanya karena perih bukan main. "Ah!" pekiknya seraya minum sebanyak-banyaknya.

Devan memberikan minum miliknya sebelum Pluto meminta, membiarkan gadis itu terbebas dari rasa pedas yang ia rasakan. "Perih," lirihnya mengibas area mata.

Devan mengerti, pasti gadis ini terkena cipratan air ramen. Devan bangkit dari kursinya, mengecek mata Pluto yang terpejam. "Sini, gue tiupin," tawar Devan. "Buka matanya."

Pluto perlahan membuka matanya, membiarkan udara kecil nan dingin memasuki area bola matanya yang perih. Devan mengambil satu tisu, mengelap beberapa air di area kelopak mata Pluto. Persetan, kenapa wajah berkeringat Pluto begitu cantik bagi Devan sekarang? Bahkan bibir yang sedikit menganga itu serasa begitu merah. Astagfirullah, sadarkan Devan.

"Masih?" tanya Devan mempertahankan fokus. Pluto mengerjapkan matanya, menggeleng lemah. "Gak papa, cuman matanya aja panas."

Devan tersenyum kecil kemudian menyentil dahi Pluto gemas. "Ceroboh." Ia kembali ke bangkunya, menatap Pluto yang mempout bibirnya lucu.

"Berita lo ngagetin, gue jadi kesedak, 'kan?" Kesal Pluto. Ia kembali mengambil tisu untuk membersihkan wajahnya dari keringat. Padahal Devan suka itu. Eh?

"Hebat 'kan, gue?" tanya Devan menaikkan alis. Pluto mengangguk tak ragu. "Kalo lo berhasil gue gak sia-sia pulang malem terus."

Devan tersenyum tipis, benar. Pluto memang sangat berjasa dalam pendapatan nilai besar ini. "Thanks, ya," ucapnya tulus.

Pluto menggeleng tegas. "Lo baru aja mulai perjuangan. Beberapa minggu lagi UN, di sana lo harus gunain ilmu yang gue ajarin."

"Pasti, To!" pekik Devan semangat. Ia kembali memakan ramen, tertawa bersama gadis di depannya. Tanpa gadis itu tau, hati Devan mulai bergetar setiap mendengar tawanya yang langka. Selama sebulan kurang ia belajar bersama, tak pernah menangkap tawa yang begitu indah ini. Hanya sore ini, Devan bisa merekamnya jelas dengan kedua netranya.

"Lo unik, To. Kayak planet yang ilang itu. Meski ilang tapi masih terkenal di mulut orang-orang."

Pluto mengangguk kecil. "Kata Mamah, waktu baru lahir jantung gue sempat berhenti. Tapi karena dokter berusaha keras waktu itu, gue bisa hidup. Dari situ, Mamah kasih gue nama Pluto. Putri Pluto Anggini. Karena gue pernah hilang, dan membuat geger satu ruang bersalin."

Seketika Devan terdiam, sedalam itu kisah di balik nama seseorang.


---Dear, Pluto.---



"Makasih ramennya," ujar Pluto sedikit teriak karena suaranya terkalahkan ributnya jalanan. Padahal ia menjadi pilek karena kebanyakan memakan pedas. Ingusnya tak mau berhenti mengalir.

"Sama-sama, itu bayaran pertama. Lusa nanti semua bayaran gue kasih. Itung-itung refresh sebelum ujian."

Pluto mengangguk saja, padahal Devan tidak melihat itu. Jalan Jakarta di malam hari tidak macet, tapi ramai. Sehingga Devan sering memperlambat lajunya.

"To, lo takut ketinggian gak?" tanya Devan. Ia menatap Pluto lewat kaca spion, gadis itu tengah menyumpal hidungnya dengan tisu. Dasar, benar-benar lucu.

"Suka," jawab Pluto mendekatkan suaranya ke helm Devan. "Kenapa?"

"Gak papa, siapa tau lo takut. Soalnya gue yakin lo bakal terbang tinggi setelah gue puji cantik. Apalagi ada tisu nyumpel gitu, cantiknya makin nambah."

"Ish!" Pluto menggeplak bahu cowok itu keras karena merasa terledeki, siapa juga yang mengajaknya makan ramen, ia jadi lupa akan semua hal karena makanan pedas itu.

Devan terkekeh pelan. "Gue serius, lo cantik."

Untuk kesekian kalinya motor Devan melambat, kini karena lampu merah mengakibatkan beberapa antrian kendaraan ke belakang. Devan melirik Pluto lagi dari kaca spion.

"To, coba deh dagu lo ke sini." Devan menepuk bahunya membuat kening Pluto mengerut. "Ngapain?"

"Sini aja dulu." Pluto menurut, ia meletakkan dagunya di sana. "Nah, kalo gini 'kan kayak orang di depan." Devan menujuk satu pasang orang yang menaiki motor di depan, membuat posisi sama seperti dirinya dan Pluto. Seketika Pluto mengangkat dagunya, menoyor kepala ber-helm Devan. Kesal ia.

"Kesempatan lo! Gue bukan pacar lo!"

Devan terngakak sampai pengendara motor di sampingnya menoleh kaget. "Aduh, bisa aja lo gue bodohin."

"Bukannya lo emang bodoh?"

Nyes, Devan akui itu. Motor yang mereka naiki kembali melaju setelah lampu berubah hijau. Devan tak henti-hentinya berbicara membuat Pluto tak tau harus menjawab apa. Devan terlalu nyaring untuk dirinya yang senyap.

Tapi, satu pertanyaan Devan membuat ia tercenung di boncengan sana. "Lo kalo mau ketawa kayak tadi harus gimana dulu?"

Pluto malah tersenyum tipis, tak tau harus menjawab apa. Dia juga bingung, tawa itu sudah punah setelah kepergian Venus. Tapi tadi, ia begitu mudah kembali tertawa hanya karena sosok Devan.

"Gue gak tau," jawab Pluto seadanya, ia tiba-tiba meletakkan dagunya di pundak Devan. Padahal jelas-jelas tadi ia begitu kesal ketika cowok itu menyuruhnya begitu. Rasanya tiba-tiba hati Pluto melow mengingat sosok Venus.

"Gue juga gak tau, sejak kapan gue kuat makan ramen."




---Dear, Pluto.---

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang