9. Pelangi

3.4K 299 4
                                    


Sebuah kalung ditatap lirih oleh Pluto. Kalung emas putih, dengan bandul berbentuk hati. Dia masih ingat kapan kalung itu ia terima dan siapa pemberinya. Orang yang selama ini masih mengisi relung hati seorang Pluto.

"Aku kangen kamu."

Sudah cukup Pluto mengenang, kalung itu kembali ditaruh ke dalam laci. Air mata Pluto sempat jatuh tapi tak bertahan lama, Pluto segera menyekanya sampai kering. Dia harus menguatkan hatinya sendiri.

Mencegah semua kenangan itu kembali terngiang lagi, Pluto beranjak keluar kamar. Dia memutuskan untuk mengambil sekotak susu. Tiba di dapur, ternyata ruangan itu tidak kosong. Ada Kenya dan seorang laki-laki duduk di meja makan. Tak usah diberi tau pun Pluto tau siapa laki-laki itu. Rega, kekasih Kenya.

"Makan, Plu," tawar Kenya saat Pluto melewati mereka untuk mengambil sekotak susu dari kulkas.

Pluto hanya mengangguk singkat sebelum akhirnya berbalik keluar lagi dari dapur. Melihat sikap adiknya yang dingin Kenya hanya mampu geleng-geleng kepala.

"Masih tetep dingin, ya?" tanya Rega.

Kenya mengangguk setuju. Dia mengaduk nasi gorengnya tak nafsu. Dia berucap lesu, "Aku kira kejadian Venus gak akan berpengaruh besar buat Pluto."

Melihat pacarnya berubah murung, Rega menarik bahu kecil Kenya untuk mendekat, membiarkan kepala gadis itu menyandar nyaman di atas bahunya.

"Ade aku udah tenang, aku yakin lambat laun Pluto akan lupain Venus."

Kenya hanya mengangguk saja. Dia sampai kehilangan nafsu makannya karena mengingat itu semua. Rega mengelus pucak kepala Kenya kemudian mengecupnya singkat.

"Ayo makan lagi, tadi katanya mau nasi goreng," suruh Rega lembut. Kenya tersenyum kecil kemudian mengangguk nurut.

Tanpa dua sejoli itu tau, dari balik dinding dapur Pluto mendengar semuanya. Dia tersenyum lirih di sana sebelum beranjak pergi dengan perasaan pahit.

"Melupakan katanya?" gumam Pluto lirih, "udah gue lakuin kalo gue bisa!"

Pluto kembali ke kamar dengan perasaan yang tak bisa lagi dibilang baik. Niatnya untuk membuat perasaan lebih tenang justru menjadi semakin buruk. Pluto kembali ke kamarnya, mengunci dirinya sendiri dan meredam tangisnya di kamar mandi.

"Hiks ... aku ... minta maaf Venus."

----Dear, Pluto.----

Devan merenggangkan otot-ototnya dengan cara mengeliat. Belajar dalam waktu tiga jam membuat tubuh dia seperti mati rasa hanya duduk di kursi kafe.

Bagaimana dia tidak merasa pegal, Pluto menyuruhnya mempelajari cara mengingat beberapa materi dalam jangka selama itu. Apalagi selama itu juga Devan tidak diperbolehkan memegang ponsel. Sungguh, seperti dipenjara saja, bagi Devan.

"Pegel asli," ujar Devan dengan raut waja sedih dibuat-buat.

"Lebay!" Pluto yang baru keluar dari kafe nyeletuk kasar. Gadis itu memegang segelas coffee capuccino. Memang, hujan baru reda beberapa menit yang lalu jadi pantas bila gadis itu membutuhkan kehangatan.

Di waktu itu mereka tidak langsung pergi, Pluto menatap air yang berjatuhan dari atap kafe sedangkan Devan masih merenggangkan ototnya pegal.

"Van?"

Devan mengerjap pelan dan berdehem tanpa melirik Pluto.

"Lo suka pelangi gak?"

Alis Devan menaut, kenapa gadis ini tiba-tiba menanyakan hal itu? Lagi pula, ini malam hari kenapa menanyakan pelangi?

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang