19. Malam, Malioboro.

3.3K 272 13
                                    

Pagi sekali ketiga anak dari Ibu Kota itu sudah berangkat mengunjungi destinasi Jogja. Meski awalnya mereka berdebat mau berkunjung ke mana. Pluto menyarankan untuk ke Borobudur saja karena dekat dengan villa, tapi Devan langsung menolak dengan alasan pasti Pluto mengajaknya karena akan memenuhi perjalanan dengan belajar. Akhirnya mereka memutuskan ke Prambanan atas usul Nichol, padahal apa bedanya dengan usul Pluto? Memang dasar Devan yang memiliki dendam terselulubung mingkin.

Di sana Devan dan teman-teman sama asiknya seperti pengunjung lain. Berkeliling dan sesekali memotret lewat kamera yang sengaja Nichol bawa dari Jakarta. Devan tak henti-hentinya terus mengajak Pluto berfoto padahal gadis itu sudah memberinya peringatan tajam lewat mata elangnya, tapi tetap saja ia kalah. Dan berakhir dengan pose foto yang Devan minta. Menyebalkan baginya.

Hari beranjak naik, pukul sepuluh mereka memilih keluar area candi untuk mencari makan. Lebih tepatnya cemilan saja, karena makan siang rencana mereka nanti di tempat berikutnya. Di sisi tempat wisata sekarang mereka berada, di sebuah stand yang menjual bakso. Tentu saja ini permintaan sekaligus paksaan Devan, tidak lupa dia setan bakso bukan?

"Abis ini ke Kalibiru, gimana?"

Nichol yang sejak tadi sibuk mengecek kamera bersuara. Devan mengangguk setuju setelah meletakkan gelas es teh yang sudah kosong. Makan mereka sudah selesai. Lebih tepatnya hanya Devan, Pluto dan Nichol hanya memakan camilan yang mereka punya.

"Seru tuh, udah lama kita gak muncak jadi gak nikmatin alam. Gimana, To?" Devan meminta pendapat gadis itu, tengah memainkan ponsel cuek. Bahunya terangkat sebentar kemudian kembali turun, malas memberi usul. "Yaudah langsung ke sana aja, keburu sore."

Mereka bertiga beranjak berdiri setelah membayar, bersiap ke destinasi yang lain. Perjalanan mulai ditempuh, kini giliran Nichol yang menyetir di depan ditemani Pluto. Meski gadis itu sibuk dengan ponsel yang entah memainkan apa.

"Nic?"

Euforia, setelah hampir 20 menit mereka hening Pluto akhirnya buka suara. Ia yakin pasti ngantuk melanda jika sampai menit ke 30 masih saja diam. Lagi pula Devan sudah terlelap karena lelah terlalu aktaktif saat di Prambanan tadi.

Nichol menoleh sekejap, menggerakan alisnya tanda menjawab. Pluto melepas ponsel dari genggamannya, meletakkan di paha.

"Kuat punya temen kayak dia?" tanya Pluto melirik Devan dari spion atas. Nichol tertawa pelan, sedikit lucu dengan nada bicara gadis itu. Sinis dan datar, tapi lucu.

"Kuat gak kuat, harus kuat, Plu. Dia itu spesies langka, susah nyari temen kayak dia dan Ridho."

Pluto mengangguk singkat, kembali ke ponselnya. Astaga, Nichol tak menyaka hanya secepat itu topik pembicaraan mereka. Ia juga bisa menebak, Pluto bertanya begitu karena masih kesal atas debatan tadi pagi.

"Susah buat ngertiin Devan, tapi lo harus maklumin sifat dia yang terlalu memaksa dengan cara yang berbeda. Dia cuma nyembunyiin sesuatu dari lingkungan luar," jelas Nichol tiba-tiba. "Gue lebih suka sisi nyebelin dia dari pada sisi rapuh, gue harap lo kuat sama sikap dia yang kayak gini."

Pluto masih diam, tapi dia mencerna apa yang Nichol ucapkan. Tak bisa ia pungkiri juga ia sudah terbiasa dengan sikap Devan yang berisik dan petakilan, jadi itu bukan masalah besar sekarang.

"Atau mungkin lo mulai baper sama tingkah bucin dia?" Pertanyaan Nichol hanya dibalas senyuman tipis oleh gadis berbando itu. Nichol memang teman Devan, tapi Pluto tidak bisa sebebas di depan Devan saat memutuskan untuk tertawa dan tersenyum. Lagi, Pluto tak tau kenapa. Mungkin dia sudah nyaman dengan keberadaan Devan.

"Gue peringatin aja, dia emang suka ngalus. Lo boleh baper, nanti minta tanggung jawab aja sama tu bocah."

Kini Pluto mengangguk setuju, "ngalus, bucin, slengean, ngeselin. Lo mau nambahin?"

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang