22. Retak, Pecah.

3.1K 263 9
                                    

      Dalam keheningan ruangannya, Pluto menatap kosong ke depan. Air mata yang sejak ia sadar tak pernah ia hapus. Di pangkuannya, ada sebuah diary yang Devan lempar sebelum Pluto kehilangan kesadaran. Dia sudah tau semuanya, membaca isi dari buku itu. Kenyataan yang begitu pahit. Venus, lelaki itu membohonginya.

     Suara pintu dibuka tak mengalihkan fokus Pluto. Seorang cowok dan cewek masuk, menatap gadis itu penuh sesal. Sampai mereka tiba di sisi brangkar dirinya, Pluto masih engan bersitatap.

    "Mput?" panggil Rega pelan tapi menggema di ruangan serba putih ini.

     Perlahan jemari Pluto mencengkram diary yang ada di pangkuannya, membiarkan beberapa tetes air mata mengaliri pipi.

    "Pergi," ucap Pluto datar, tak ingin menatap lawan bicara.

    "Plu, Rega bisa jelasin." Kenya berusaha menggenggam tangan Pluto tapi gadis itu tepis cepat. Matanya mulai bergerak, menatap tajam ke arah Kenya.

    "Pergi." Dengan sekali ucap dan penuh penekanan. Telunjuknya terangkat ke arah pintu ruangan.

    Rega menghela napasnya, sudah tau ini bakal terjadi. Tapi kemungkinannya hanya tipis, tak mengira Devan yang akan membuat semua ini menjadi nyata. Cowok itu memeluk punggung Kenya, membawanya keluar ruangan.

    Sepergian Kenya dan Rega, Pluto menangis sejadinya tanpa suara. Menggigit bibir tanpa peduli sudah berapa luka akibatnya. Kepalanya berat, berkecamuk segala kenyataan bercampur di sana. Venus, Devan, bahkan Aisyah.

    Ditatap buku diary bersampul tosca itu, mengusapnya perlahan kemudian menempelkannya di dada seolah tengah memeluk sang pemilik. Tubuh Pluto merosot, meringkuk di balik selimut menutupi tangisnya.

   "Aisyah, lo kenapa lakuin ini?"

_____

      Aku tau ini akan mempersulit keadaan. Tapi aku melakukannya demi Pluto, gadis yang selama ini Venus cintai, bukan diriku yang selama ini mencintai Venus juga.

      Devan menyugar rambutnya gusar. Catatan itu selalu saja mengiang dalam otaknya. Padahal Devan bodoh dalam menghafal, tapi kenapa hal yang membuat hatinya sakit seolah terus saja berputar seperti kaset? Devan benci ini, dan Devan benci Pluto.

     Nichol beranjak duduk, mengambil bantal dan memeluknya. Ditatap Ridho yang sama tengah memperhatikan Devan. Mereka tak akan mengira Devan kembali dalam titik terpuruk ini. Malam ini, atas permintaan Nichol kedua sahabatnya itu menginap di rumahnya. Hal itu justru membuat Devan tak bisa  melupakan kenyataan ini. Sebab kamar Aisyah terletak tepat di depan kamar Nichol.

    "Bunda lo ngidam apa sih pas hamil ade lo, Ko?" ucap Devan mengejutkan Nichol dan Ridho, karena cowok itu baru mengeluarkan suaranya setelah kejadian di rooftop tadi siang. Mereka berharap Devan yang ceria bisa dikembalikan.

    "Gue gak tau," jawab Nichol sekenanya. Nyatanya bukan Devan saja yang rapuh, tapi dirinya juga. Memang siapa yang tak sedih saat adiknya meninggal secara tiba-tiba?

    "Tapi gue masih inget pas Bunda cerita, dia pernah nonton konser di Korea pas hamil Aisyah." Nichol sedikit terkekeh, mengingat adiknya itu fanatik akan negeri penuh idol itu.

     Entah energi dari mana, bibir Devan ikut tersenyum membuat Ridho mau tak mau tersenyum juga. Sedikit lega melihat temannya tak lupa akan senyum.

    "Pantes, udah cantik, bikin gue tergila-gila, dan bikin gue gak bisa lupa." Devan menghela napasnya, memejamkan mata. "Gue beneran gak bisa gantiin posisi sepupu gue dalam hati ini."

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang