16. Cafe

3.1K 267 1
                                    

Ditemani 2 gelas milk tea dan dessert yang mereka pesan, Pluto dan Devan duduk di dekat jendela cafe. Jika Devan mulai sibuk dengan buku catatan dan buku tebal, Pluto justru sibuk dengan es batu yang ia gigiti. Devan sampai terkekeh melihat tingkah anak itu.

"Nilai lo gimana?" tanya Pluto seraya meletakkan gelas di meja, tangannya menangkup sebelah pipi menatap Devan.

"Baik, seiring gue belajar nilai gue makin baik. Terakhir gue ikut kuis dapet 82."

Bibir Pluto membentuk senyuman, sedikit lega mendengarnya. Setidaknya ia tidak melihat wajah bangga Devan karena mendapat nilai 65. Pluto kembali memasukan es batu ke mulutnya saat yang ia gigit sudah habis.

"Suka banget gigit es, gak takut gigi lo sakit?" tanya Devan, ia meletakkan pensilnya untuk leluasa memperhatikan gadis itu. Pluto menggeleng.

"Nggaklah."

"Lucu banget," ucap Devan gamblang.

Devan tidak tau saja berkat ucapannya Pluto sudah duduk tak nyaman di sebrangnya. Devan meraih ponselnya, membuka satu aplikasi chat saat ponselnya bergetar singkat.

"Jangan main hp." Pluto mengambil ponsel berwarna hitam itu tanpa izin, menatap pemiliknya sengit. Devan berdecak sebal.

"Gue cuman bales chat dari Nichol."

Pluto tak membalas, ia memilih mengecek isi ponsel Devan. Hampir semuanya aplikasi game.

"Astaga, ini beneran hp?" gumam Pluto refleks.

Devan melirik wajah terkejut Pluto, bingung juga apa yang gadis itu kagetkan.

"Kenapa? Liat kumpulan vidio bokep gue?" tanya Devan jahil. Pluto langsung melayangkan jitakan panasnya.

"Apus deh semua game lo, bentar lagi bakal ada banyak pelajaran tambahan sama simulasi. Lo harus les juga pas mendekati UN." Pluto meletakkan ponsel Devan, tak ada lagi minat melihatnya.

"Nggak usah dihapus. Mending gue ganti hp, sayang itu hasil download semua."

"Terserah, asal lo harus belajar."

"Gue bingung deh, buat apa nilai gede? Itupun gak semua orang jujur dalam dapetinnya," kelakar Devan tiba-tiba. Pluto langsung nyerobot tak setuju.

"Justru karena lo masih mampu buat dapetin secara jujur, lo harus berusaha. Buat apa nantinya, pasti juga bakal berguna."

"Iyain," balas Devan terlanjur malas.

"Lo inget ini minggu ke berapa?" tanya Pluto setelah keheningan cukup lama. Devan menangkup dagunya, mengingat sebentar.

"Minggu ke tiga, lebih empat hari sampe sekarang," jawab Devan.

"Lo ngerti maksud gue, 'kan?" Devan menghentikkan catatannya, menatap Pluto yang sibuk ke luar jendela.

"Waktu gue jadi partner belajar lo ... udah mau abis."

Entah kenapa, ucapan Pluto menohok hati Devan. Padahal itu sebuah kebenaran, bahwa hubungan partner itu tidak akan bertahan lama. Ia kembali melanjutkan mencatat isi dari soal Fisika yang ia kerjakan dan berdeham canggung.

"Gak mau lo perpanjang?" tanya Pluto.

Devan seketika tersenyum lebar, melirik Pluto yang ternyata menatap dirinya juga.

"Emang bisa, To?"

"Bayar, sesuai les privat."

Raut ceria Devan kembali murung, bibirnya mencibir perkataan Pluto tanpa sopan santun dan menggerutu karena menyesal bertanya lebih lanjut.

"Lo bisa aja minta bantuan gue, tapi gak bisa sesering pas gue jadi partner lo."

"Kenapa? Takut pacar lo ngamuk?" tanya Devan sedikit kesal, tapi sedetik berikutnya dia meremas pulpen yang ia genggam, kenapa dia bertanya begitu?

"Bukan, lo 'kan udah gak bego lagi," balas Pluto enteng.

"Aish!" Devan tak tahan dengan kekesalannya pun melemparkan pensilnya geram. Alhasil pulpen itu mengenai pipi Pluto.

"Anj---"

"Sorry!" pekik Devan cepat memotong umpatan hewan dari Pluto. Ia bangkit dari duduknya, mendekati kursi yang Pluto duduki dan memeriksa pipi Pluto. Ada goresan kecil di sana membuat Devan cemas seketika.

"Aduh. Sakit, gak?" tanya Devan dengan raut cemasnya.

Melihat jarak Devan yang sekarang, Pluto tentu tidak nyaman. Terlebih detak jantungnya mulai tak waras. Menggeleng seraya menepis lengan Devan, Pluto bertanya canggung, "U---udah selesai?"

"Dua soal lagi," jawab Devan tanpa menjauhkan posisinya, " tapi ini seriusan gak papa?"

"Gak akan bolong juga pipi gue, sana kerjain! Nanti keburu larut terus cafe ini tutup. Mau diusir lo?"

Devan menggerutu sebal dengan sifat galak Pluto, tapi menurut juga untuk kembali ke kursinya. Mulai fokus lagi, bergelut dengan soal Fisika yang Pluto berikan.

"To, di hari terakhir lo jadi partner gue, lo mau nerima bayaran dari gue?"

Bola mata kelam Pluto menatap Devan bingung, tak mengerti maksud cowok ini. "Bayaran apa?"

"Jalan-jalan," jelas Devan, dia menganfkat wajahnya untuk menatap Pluto seraya menutup buku paketnya. "Sebagai bayaran karena lo udah mau jadi partner belajar gue."

Pluto hanya ber-oh panjang, mulai menyandarkan punggung tampak memikirkan tawaran yang Devan lontarkan.

"Gue traktir deh! Seharian!" bujuk Devan.

Seketika senyum Pluto mengembang. Punggung kecilnya ia angkat, menatap lekat wajah ceria Devan lantas mengangguk setuju.

"Oke, lo juga harus setuju kemana pun tempat yang gue minta."

"Deal!" Devan mengacungkan tangannya, menawarkan salaman. Pluto menyambutnya semangat.

"Deal."

"Gue udah selesai, mau langsung pulang?" tanya Devan yang langsung diangguki Pluto. Mereka bersiap dan membereskan buku mereka sebelum keluar cafe.

Di dalam mobil juga hening, hanya suara musik dari radio di mobil Devan. Sampai di depan rumah Pluto, Devan ikut turun menghantarkan gadis itu sampai pagar.

"Gue masuk," pamit Pluto. Tapi sebelum Pluto sempat membuka pagar, Devan sudah menahan lengannya.

"Ntar dulu, To."

Devan membuka pintu mobil, mengubek sebentar isi dashboard mobilnya. Setelah barang yang ia cari ketemu, ia kembali mendekati Pluto yang masih berdiri di depan pagar. Otak, hati, dan detak jantung Pluto seakan berhenti sejenak saat Devan menempelkan sesuatu di pipinya.

"Udah, jangan lupa nanti lo bersihin," pesan Devan seraya menjauhkan jarak mereka. Pluto terdiam, merasa dunianya berantakan semenjak melihat wajah Devan sedekat itu.

"Gih masuk," perintah Devan. Pluto mengangguk kaku sebelum membuka pagar dan cepat-cepat masuk tanpa mau menoleh lebih dulu. Devan sampai tersenyum geli melihat tingkah buru-buru Pluto.

Di balik pintu, Pluto memegangi plester yang menempel di pipinya. Kemudian bibirnya membentuk senyum tipis. Kini otaknya kembali bekerja, mengingat beberapa memori tentang seseorang yanf menempelkan plester di pipinya beberapa tahun yang lalu.

"Dia memang mirip Venus, tapi dia bukan Venus."


---Dear, Pluto.---

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang