20. Venus?

3.3K 246 10
                                    

Kebahagiaan bagi seluruh siswa SMA Adikarya saat bel pulang berbunyi. Satu per satu keluar bergerombol dan menemui jemputan atau pulang dengan angkutan umum. Namun berbeda dengan Devan, cowok itu belum pulang meski bel sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Ia sibuk, sibuk mengerjakan soal yang baru ia dapat dari bungkus gorengan. Sungguh, ia mendapat kertas itu dari Ridho saat istirahat membeli cireng.

"Eh, yang ini gue belum tau. Cari dulu."

Saat kerutan di keningnya semakin banyak, ia mendengar langkah kaki dari luar kelas. Menoleh cepat, dan ia mendapati gadis yang belum ia temui sejak tadi pagi. Pluto.

Bibirnya tersenyum, ia segera membereskan semua alat tulisnya dan berlari menyusul Pluto.

"Pluto!"

Gadis itu berhenti, terdiam cukup lama kemudian melepas earphone putih yang ia pakai. Tubuh kecilnya membalik, menantikan Devan mulai mendekat.

"Hi, To!"

Pluto hanya tersungging bibir seraya bersidekap santai. "Hm."

"Mau pulang?" tanya Devan ambigu, Pluto sedikit tertawa garing.

"Lo pikir bisa nginep?" tanya Pluto balik. Gadis itu membenarkan tasnya sebelum menatap tepat ke manik gelap Devan. "Kenapa nanya?"

Devan menggaruk lehernya gugup. "Pulang bareng, gimana?"

Demi apa, Devan gregetan menunggu jawaban Pluto. Tapi gadis itu malah menekuk alis bingung.

"Gue bukan patner lo lagi, ngapain pulang bareng? Lo gak punya beban bayaran lagi, Van."

"Apaan?" serobot Devan tak suka. "Gue mau nganterin lo sekarang, karena kita teman. Bukan patner!"

Mata mereka kembali bertemu, bertubrukan antara emosi sesaat dan sirat tersembunyi. Perlahan bibir datar Pluto tertarik, melepas dekapan di dadanya seraya berbalik badan.

"Ayo, gue gak suka supir yang lelet!" teriak Pluto penuh candaan.

Devan tersenyum tak percaya, mulai melangkahkan kaki mengejar Pluto yang sudah jauh. Di koridor sekolah, mereka berjalan berdampingan tanpa peduli riuhnya dunia. Yang mereka tau, mereka akan pulang bersama bukan karena ikatan patner. Tapi, mereka berdua itu ... teman.

"Kita ke warung pecel dulu, ya?" ajak Devan sambil memberikan helm. Pluto yang penuh diam pastinya menjawab dengan deheman. Lagi-lagi hanya Devan yang tau, jika Pluto suka pecel.

"Ayo, sekarang gue yang traktir."

Dan, motor hitam Devan melaju keluar parkiran, melewati pagar sekolah, membelah riuhnya jalanan Jakarta yang penuh polusi.

______

Di salah satu warung pecel pinggir jalan, motor Devan terparkir. Sang pemilik tengah menikmati nasi pecel bersama gadis bernama planet itu. Sesekali bibirnya ikut tersenyum kala tatapan mereka tak sengaja bertemu.

"To, mulai minggu depan TO, udah siap?" tanya Devan sesudah menelan satu sendok nasi.

Kepala Pluto mengangguk kemudian mengunyah satu kerupuk.

"Gue bisa gak, yah?" Suara Devan terdengar ragu, membuat kunyahan Pluto berhenti sejenak.

"Lo raguin gue sebagai partner atau emang ngerasa jadi manusia paling bodoh?" sarkastik Pluto. "Lo bisa, Van. Lo 'kan udah janji."

Devan hanya mampu nyengir saja, tak bisa membalas ucapan pedas dan tatapan menusuk dari gadis di depannya ini.

"Eh, To. Gue masih penasaran, kenapa waktu itu lo bisa masuk rumah sakit? Lo sakit apa?"

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang