27. Pemakaman [END]

4.6K 292 28
                                    

Kaget, tentu saja. Bahkan Devan masih terdiam meski panggilan sudah terputus sejak sepuluh menit yang lalu. Devan berusaha mempasok udara begitu banyak, rasanya begitu susah. Perlahan dadanya mulai sesak, disusul linangan air mata menggenang di pelupuk matanya. Devan menangis.

Dengan kaki yang bergetar Devan berbalik, melangkah menuju pintu keluar rooftop. Langkah itu kian cepat dan berubah menjadi cepat. Sambil terisak Devan menuruni tangga seperti orang gila. Dia harus sampai di rumah sakit secepatnya, harus!

Pluto, maafin gue.

---Dear, Pluto.---

Bibir kering Nicol terseyum pahit, ia masih ingin berdiri di samping brangkar gadis bernama planet itu. Padahal baru satu minggu dia bisa mengenal sosok gadis tangguh ini, tapi kenapa Tuhan begitu jahat padanya?

Nicol menoleh saat merasakan sebuah elusan di bahunya. Rega memberi tatapan meminta maaf. Mata cowok itu ikut memerah karena berita beberapa menit yang lalu.

"Dia harus segera dipindahkan," informasi Rega. Nicol mengangguk meski engan, bergerak menutupkan kembali kain putih laput di tubuh Pluto.

"Gue bakal tepatin janji gue, Pluto."

One week ago

Dalam ruangan serba putih, dengan semerbak bau obat dimana-mana kini Pluto berada. Dia kembali ke ruangan paling ia benci sejak kecil. Dan ia rindu sosok yang sering menyemangatinya, Venus.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, Nicol begitu lucunya menyembulkan kepala di balik pintu. Pluto sontak terkekeh kecil kemudian mengangkat tangannya menyuruh Nicol mendekat.

"Udah sembuh?" tanya Nicol jenaka. Dia tidak ingin memperlihatkan dirinya yang rapuh. Karena bisa saja Pluto ikut rapuh.

"Udah," jawab Pluto serak. Bibirnya begitu kering dan kulitnya putih pucat. Nicol tidak tega.

"Kalo sakit bilang, nanti gue panggil dokter."

Pluto hanya menggerakan kepalanya naik turun. Keadaan kembali hening, suara monitor detak jantung Pluto kian memenuhi ruangan.

Tiba-tiba tangan infusan Pluto mendekati tangan Nicol, menggenggamnya longgar. Meski pedih Nicol mendongak, menatap bola mata Pluto sambil tersenyum.

"Sudah satu satu minggu Devan belum ke sini. Jadi, bisa penuhi permintaan gue?" pinta Pluto begitu ringkih.

Nicol tak kuasa menahan air matanya tapi dia tetap mengangguk setuju. Dia membalas genggaman Pluto erat.

"Rooftop rumah sakit, kan? Gue udah bawa kameranya."

Kepala Pluto mengangguk pelan. Bibirnya tak ada henti untuk tersenyum. Hanya itu yang bisa ia beri sebagai tanda terima kasihnya kepada Nicol.

"Ko?"

Nicol menggenggam tangan Pluto semakin erat, berusaha meneguhkan hatinya. "Apa?"

"Terima kasih," ucap Pluto begitu tulus. "Gak lo gak ade lo, sama-sama baik."

"Apapun itu," balas Nicol sama tulusnya.

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang