23. Berubah: Dia bukan Devanku.

3.2K 236 7
                                    

     Hari ini, Pluto kembali masuk ke sekolah. Dia masih Pluto sebelumnya, gadis mungil yang penuh aura dingin. Tidak begitu peduli dengan sekitar dan sibuk dengan dunianya sendiri. Namun, sekarang dia memambah kebiasaan. Melamun. Rambut gadis itu senantiasa terbang terbawa semilir angin, membiarkan wajah pucatnya diterpa tirai putih jendela dekat bangkunya. Dia lelah, lelah untuk menangis lagi. Menangisi kebohongan tentang hidupnya.

     Tadi pagi, dia sempat bertemu sosok yang mengganggu pikirannya selama beberapa hari ke belakang. Cowok yang selalu memberinya cengiran lebar, gombalan receh, dan suapan siomay di kantin. Ia rindu cowok itu, ia rindu cengiran itu, ia rindu gombalan itu, rindu segalanya tentang Devan. Sayangnya semua itu berubah, tidak ada lagi Devan yang seperti itu. Kini, Devan itu begitu dingin, datar tanpa ekspresi, bahkan membalas senyumannya pun engan.

    Dia ingin terisak, tapi rasanya sulit. Dia sudah menghabiskan beribu detik hanya untuk menyesali takdir semesta. Andai dia tau itu jantung sahabatnya, dia tidak mau menerimanya. Andai dia tau Aisyah menyukai Venus, dia akan mengalah deminya. Andai, yah, hanya sekedar andai yang bisa Pluto harapkan sekarang. Semuanya sudah sirna, tidak ada lagi Pluto dan Devan.

    "Mikirin Devan?"

   Tatapan Pluto turun dari luar jendela, mengangguk sebentar kemudian kembali menatap ke luar kamar. Jessica mengelus rambut anaknya, bingung harus bagaimana lagi.

    "Kak Kenya sama Riga mau berjiarah ke makam Venus, kamu mau ikut?"

    Ucapan Jessica barusan mampu menegakkan tubuh Pluto yang sejak tadi diam mematung. Gadis itu menoleh, menatap Mamahnya penuh harap.

    "Jangan sebut nama dia lagi, Mah."

   Hati Jessica meringis, sebenci itu Pluto pada dunianya yang sekarang. Jessica menghambur ke pelukan Pluto, memeluk tubuh ringkihnya. Gadis itu kembali terisak, menggeram penuh amarah.

    "Maaf," bisik Jessica pelan kemudian mengecup pucak kepala Pluto beruntun.

  
_____

     "Devan?"

    Prisila menghampiri cowok yang tengah menggelung di dalam selimut. Hampir seminggu ini anak tunggalnya itu mengurung diri di kamar. Dia juga jarang melihat Devan membawa partner belajarnya ke rumah seperti minggu-minggu yang lalu. Keanehan itu terjawab, ketika Jessica menelfonnya dan memberi tau semuanya.

    Wanita cantik itu duduk di tepi ranjang, mengusap rambut Devan yang tidak tertutup selimut. Kedua tangannya sibuk memegang ponsel dengan posisi horizontal, jempolnya bergerak cepat membabad semua musuh dalam gamenya.

    "Mau ikut gak?" tanya Prisila masih mengusap rambut anaknya itu.

    "Kemana, Bun?" tanya Devan balik tanpa mengalihkan atensi. Prisila merengut, nada ceria Devan sudah hilang. Benar yang dikatakan Jessica, keduanya tenggelam dalam kebohongan ini.

    "Ke makam Aisyah."

   Jemari Devan seketika berhenti bergerak, membiarkan dirinya kalah. Napasnya tiba-tiba memburu, menggenggam ponsel itu erat.

    "Bunda juga kangen Aisyah, kamu mau ikut?"

   Devan memejamkan matanya sesaat kemudian menerbitkan senyumnya.

    "Devan ganti baju dulu, Bunda tunggu di bawah."

    Seketika senyum Prisila tertarik, tangannya kembali mengusap pucak kepala Devan.

Hei, PLUTO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang