Park Aery

3.6K 512 19
                                    

Enam tahun lalu –

"Aku hamil," kata ku, suara ku bergetar lirih nyaris tidak terdengar.

Bocah laki-laki di depan ku bergeming, untuk sesaat aku bahkan tidak yakin kalau dia masih bernapas. Mungkin ia menahannyaㅡtanpa sadarㅡsebab ku lihat wajah perlahan memerah, kemudian pucat. Itu wajar, dia pasti tidak siap mendengar ini dari ku. Bahkan aku pun demikian.

Awan hitam bergerak lamban di atas kepala kami, debu-debu halus berterbangan disekitar kami dengan gerakan memutar di permukaan tanah. Rambut halusnya yang ikal legam bergoyang dibelai angin, dan tali tas punggungnya dibiarkan jatuh dari pundak, melewati lengannya yang kurus.

Untuk sedikit, aku mungkin mengira dia akan kabur dan lari terbirit-birit setelah mendengar pengakuan. Tapi nyaris semenit berlalu, dan Jeon Jungkook masih berdiri seperti patung dihadapan ku. Lalu aku mendengarnya tersedak saat berusaha mengisi udara ke paru-parunya. "Apaㅡkau yakin?" tanyanya kemudian, dengan suara yang sama lirihnya dengan ku tadi.

Aku mencoba sabar, menyadari Jungkook mungkin dalam penyangkalan sekarang ini. Aku tidak keberatan, bahkan sudah memperhitungkannya sebab hal-hal semacam ini sudah ribuan kali ku tonton dalam film percintaan. Tragis, kini aku menghadapinya dalam kehidupan nyata dan rasanyaㅡmenakutkan.

Ku usap kedua telapak tangan pada permukaan rok ku. Berusaha menarik napas dalam dan membuangnya perlahan sembari menggangguk lamat. Jungkook seperti terserang penyakit jantung sedetik kemudian. Bocah laki-laki itu hampir limbung, namun berhasil menahan bobot tubuhnya dengan menyandarkan diri pada tembok. Diam-diam aku bersyukur tidak ada stu pun orang yang bisa mendengar percakapan rahasia kami di belakang sekolah.

Jungkook menarik napas dalam, mengusap wajahnya perlahan. Keringat dingin mengalir melewati pelipisnya, aku tidak yakin apa itu disebabkan oleh kabar yang ku bawa. Mengingat pemuda itu menghabiskan sepanjang jam pulang sekolah dengan bermain basket di lapangan olahraga sekolah.

"Ba–bagaimana kau tau? Apa kau tidak datang bulan? Mungkin kau salah menghitung?" dia berbicara terbata namun kalimatnya meluncur dengan cepat.

Helaan napas lembut meluncur dari kedua belah bibir ku, sedang aku sibuk mengeluarkan benda tersebut dari dalam tas ku. Benda yang sudah ku sembunyikan di sana sejak dua hari yang lalu. Ya, ya, aku tau. Harusnya aku memberi tahu Jungkook lebih awal, tapiㅡdemi Tuhanㅡbutuh keberanian yang besar bagi ku untuk memikirkan semua kemungkinan yang terjadi. "Apa kau pernah mendengar kalau benda ini bisa salah dalam menentukan hasil?" kata ku lantas menyodorkan dua buah test pack yang dibelikan Jimin dua hari yang lalu. Aku tidak mau membayangkan bagaimana saudara kembar ku bisa mendapatkan benda ini kemarin lusa. Dia pasti malu besar.

Netra Jungkook melebar, bulat dan besar. Aku sampai khawatir kalau-kalau bola matanya akan menggelinding keluar karena kelopaknya dibuka seperti itu. Dia tersedak lagi saat berusaha menelan saliva, kali ini batuknya sangat keras. Aku menyesal tidak membawa air minum atau sebagainya, tapi Jungkook segera membaik dalam beberapa detik kemudian.

Tungkainya melangkah mundur. "Oke," katanya sembari memijat pelipis. "Ja–jadi, siapa yang melakukannya pada mu, Aery?"

Aku mendelik, berusaha membuka mata dengan sama lebar seperti yang dilakukan Jungkook beberapa detik lalu. Lantas dengan penuh emosi melemparkan test pack yang ku genggam ke arahnya. Benda itu berhasil mengenai wajah dan leher Jungkook, dia mundur selangkah lagi memegangi dirinya sendiri. "Pikir mu siapa berengsek?! Aku hanya melakukannya dengan mu," kata ku nyaris berteriak. "Kita melakukannya sebulan lalu setelah pesta dansa sialan itu, kau ingat?"

Jungkook melangkah tanpa ragu, menghampiri ku, nyaris memeluk dan berusaha menenangkan ku agar tidak berteriak. Tapi aku keburu menepis tangannya, mendorong tubuhnya agar tetap jauh dari ku. Jungkook menyerah dengan mudah. "Tap–tapi kita hanya melakukannya sekali, Ry," katanya lemas.

"Sekali juga sudah cukup kalau kau membuang semuanya di dalam, idiot!" bentak ku. Aku tidak percaya akan mengatakan ini pada Jungkook. Sekarang perasaan ku sudah tidak karuan, marah dan malu. Semuanya berkumpul jadi satu.

Ada hening yang tercipta sampai beberapa waktu, sampai Jungkook menjedanya dengan kalimat pendek. "Oke, Aery–" dia menahan napas. "Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini,"

Setelahnya Jungkook pergi dengan tergesa, meninggalkan ku dalam ketidak pastian soal apa yang harus ku lakukan kemudian. Berhari-hari aku tidak menemuinya di sekolah, Jimin bilang Jungkook mendadak sakit. Namun melarang semua teman-teman untuk menjenguknya. Asumsi Jimin, mungkin bocah laki-laki itu akan meminta orangtuanya memindahkan dia dari sekolah. Pergi jauh sampai aku tidak bisa menemukannya.

Jimin marah besar, dia hampir saja membocorkan soal ini pada mama dan papa supaya kedua orangtua kami bisa menyeret Jungkook keluar dari persembunyiannya untuk bertanggung jawab. Tapi aku melarangnya.

Aku melaranganya bukan karena kasian pada Jungkook, tapi lebih tidak siap dengan keputusan yang akan diambil mama dan papa setelahnya. Bagaimana kalau mereka memutuskan untuk menikahkan ku dengan Jungkook?

Jangan salah paham, bukan berarti aku tidak menyukai pemuda dengan gigi kelinci yang manis tersebut. Jeon Jungkook itu pemuda yang menawan, sampai-sampai aku sempat merasa bangga ketika dia lebih memilih mengajak ku ke acara pesta dansa sekolah dan mengabai ratusan ajakan dari gadis-gadis di sekolah yang sudah lebih dulu dilayangkan padanya.

Tapi menikah di usia muda berarti mengorban segalanya bagi ku. Masa muda ku, pendidikan ku, dan cita-cita ku untuk menjadi penari hebat di dunia. Tidak, aku tidak akan melakukannya.

Jadi setelah nyaris sepekan berlalu sejak pertemuan terakhir kami di belakang sekolah, aku memutuskan untuk menggugurkan kandungan ku. Tentu saja Jimin menolak ide tersebut mentah-mentah, sebab dia bilang hal tersebut mungkin akan memberikan resiko yang lebih besar daripada yang dapat ku tanggung seorang diri.

Namun keputusan ku sudah bulat, aku bahkan sudah menemukan alamat yang tepat untuk melancarkan tujuan ku. Menarik napas dalam ketika berhasil menginjakan kaki di depan bangunan tua dengan pintu bercat putih usang di depannya. Aku nyaris menggenapkan langkah ketika samar-samar nama ku disebutkan.

"Ae–aery," suara Jeon Jungkook lembut menyapa rungu ku.

Aku menoleh lamban, mendapati pemuda tersebut terengah di belakang punggung ku. "Jungkook?" gumam ku dengan nada berat. Pemuda tersebut terlihat lebih berantakan dari yang ku bayangkan. "Dari mana tau aku di sini?"

"Ji–jimin," sahutnya masih terengah. "Apa yang–apa yang akan kau lakukan di sini?"

Aku tidak heran jika Jimin juga membocorkan rencana ku pada Jungkook. Dia tidak akan membiarkan semuanya berjalan semudah ini, tapi aku tidak akan gentar hanya karena Jungkook akhirnya menampakan batang hidungnya. "Aku sudah mengambil keputusan. Aku akan menggugurkannya Jung," sahut ku mantap.

"Apa?" kening Jungkook berkerut dalam. "Tapi, itu berarti kau membunuhnya aery,"

Aku berjengit. Akan lebih mudah jika mengatakan aku akan mengugurkan kandungan ini segera. Tapi membunuhnya, harusnya Jungkook tidak menggunakan kata-kata tersebut. Kata itu punya makna yang besar dan dalam, kata yang kuat dan berbahaya. Apa setelah ini, setelah aku menggugurkannya maka aku akan menjadi seorang pembunuh?

"Kau tidak bisa melakukan ini Ry," katanya lagi mengintrupsi pergolakan batin ku.

"Apa?" tapi aku masih terlalu angkuh. "Kenapa aku tidak bisa melakukannya, dia ada di rahim ku. Aku bisa melakukan apapun, termasuk membuangnya!"

"Tapi dia juga darah daging ku," []

𝐑𝐄𝐃𝐄𝐌𝐏𝐓𝐈𝐎𝐍 [𝐅𝐢𝐧]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang