(Past Time)

3.6K 506 4
                                    

Enam tahun lalu–

"Mama akan memberikan bayinya pada keluarga Byun,"

Jungkook memutar kepalanya, menatapku tajam. Aku tau dia tidak akan setuju, tapi mama sudah memutuskannya. Setelah menyembunyikan semuanya selama lebih dari empat bulan. Mama menangkap perubahan pada bentuk tubuhku. Aku tidak bisa menyembunyikannya lebih lama, dan aku melihat bertapa terpukulnya mama dan papa setelah itu.

Kalau saja Jimin tidak menghalau, papa mungkin akan menamparku atau menendangku ke jalan. Tapi Jimin menerima pukulan dari papa untukku, aku berhutang banyak padanya lebih daripada yang aku kira. Dan setelah berdebatan panjang, mama memutuskan untuk memberikan bayiku pada keluarga Byun. Sepupu papa di Busan, kebetulan mereka sangat menginginkan anak di keluarganya.

"Kenapa tidak membicarakan ini dulu padaku?" tanyanya kemudian.

"Aku sedang membicarakannya denganmu sekarang,"

"Bullshits," Jungkook memotong penuh geram. "Kau sudah memutuskannya,"

Aku terdiam sejenak. Mendudukan diri pada kursi taman, pinggang serta kakiku terasa pegal dan perutku terasa mengencang. "Lagipula tidak ada diantara kita berdua yang bisa mengurusnya, Jung," kataku kemudian.

"Aku akan mengurusnya,"

Aku tertawa hambar, kalimat Jungkook jelas tidak masuk akal. "Oh ya? Kau akan memberinya susu pisang kesukaanmu?" kataku sedikit sarkas, Jungkook hanya terdiam menatap ku dengan sengit. Aku mendesah singkat, telalu lelah untuk berdebat. "Keputusan sudah dibuat. Aku tidak ingin merepotkanmu, orangtuamu juga pasti ingin kau menjalan hidup dengan baik tanpa gangguan seorang bayi,"

"Aku akan bicara pada orangtuaku, saat itu kau bisa menyerahkan bayinya padaku,"

Aku hanya menatapnya, menyerahkan dengan sikap keras kepala Jungkook. Untuk beberapa alasan yang pernah kukatakan sebelumnya, aku benar-benar tidak menaruh simpatik sebesar yang diberikan Jungkook pada bayinya. Mama bilang semua ini akan berlalu dalam beberapa bulan kedepan, setelah aku melahirkan dan mereka akan membawaku bersama Jimin ke Prancis. Memulai hidup baru.

Lagipula saat pertama kali hal ini terbongkar, ibu Jungkook sama terpukulnya seperti mama. Mungkin lebih, mengingat Jungkook adalah putra mereka satu-satunya. Kedua orangtua Jungkook meletakan harapan mereka padanya. Jadi kurasa tidak bijak sana untuk membiarkan masa depan Jungkook hancur selagi aku memutuskan untuk mengejar masa depanku sendiri.

Tapi ternyataan keinginan Jungkook untuk mendapatkan bayinya lebih besar daripada apapun. "Lucu tidak?" katanya suatu hari setelah menemaniku melakukan pemeriksaan rutin dari klinik. Dia menunjukan sepasang sepatu bayi berwarna biru langit padaku. "Aku membelinya karena terlihat lucu, apa akan muat jika Maru menggunakannya?"

"Maru?" aku menaikan alis menatap Jungkook bingung. "Siapa?" tanyaku.

Jungkook tersenyum, tangannya terulur mengusap perutku yang membuncit. "Jeon Maru," katanya lagi menatap perutku, kemudian tendangan kecil di dalam sana membuatku berjengit pelan. Aku terkekeh, rasanya luas biasa. "Lihat?" kata Jungkook antusias. "Dia menyukai namanya,"

Jungkook berbaring sampingku, tubuhku miring dan dia memposisikan dirinya di belakangku. Setengah merangkul, mengusap pelan permukaan perutku. "Dia pasti jadi anak yang lincah nantinya," kata Jungkook lagi, mendadak jantungku seperti diremas pelan. "Apa dia akan pintar sepertimu?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Mungkin dia akan tampan sepertimu," sahutku, lalu dia tersenyum.

Tangannya berhenti mengusap, beralih memeluk pelan. Pipiku terasa panas dan jantungku berdetak cepat, Maru bergerak-gerak di dalam sana membuatku berjengit pelan. Tubuhku membentur bagian tubuh Jungkook, dan dia mendesis pelan.

Perlahan memutar tubuhku agar menghadapnya, menatap iris karamelnya yang hangat. Jungkook mengusap pipiku, hangat menjalar dari sana mengirimkan debaran yang lebih intens dan Maru tidak mau diam barang sedetik pun. Keningku mengekerut saat Jungkook mengikis jarak, hembusan napasnya hangat menerpa wajahku dan detik selanjutnya melumat perlahan.

Hari-hari berikutnya kami lebih sering bertemu, Jungkook lebih sering berkunjung–terlebih saat mama dan papa tidak ada–dengan alasan untuk membawakan makanan kesukaanku. Jimin membantuku merahasiakan ini dari papa dan mama. Aku mengatakan padanya bahwa Maru senang ketika dekat dengan Jungkook, dan Jimin senang ketika mendengar Maru senang. Dia sama seperti Jungkook, merasa antusias menunggu Maru lahir.

Bulan-bulan terus berganti dan perutku semakin membesar. Jungkook tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa mengunjungiku di rumah sepulang sekolah. Menceritakan hal-hal yang dilaluinya di sekolah, tentang klub basketnya yang berhasil menang dengan klub tetangga, atau tentang Jimin yang dihukum mr. Alehandro karena tidak mengerjakan tugas.

Lalu mendadak aku merindukan masa-masa di sekolah, mama bilang aku bisa segera melanjutkan pendidikanku setelah Maru lahir. Tapi masih tiga bulan lagi sampai hal itu terjadi, kelahiran Maru.

"Apa dia masih senang menendang perutmu?" tanya Jungkook ketika kami menghabiskan sabtu siang bersama. Dia memeluku di atas ranjang seperti biasanya, memutarkan lagu-lagu kesukaanku dari ponselnya dan diletakan di samping perutku.

Aku mengangguk lamat. "Belakangan semakin kuat," kataku.

"Bagus, berarti dia sehat. Aku tidak sabar ingin bertemu dengannya," Jungkook tersenyum lantas mendaratkan kecupan dipuncak kepalaku.

"Jung," panggilku lembut dan dia hanya bergumam, menanggapi. "Kukira kau benar. Kau pasti bisa merawat Maru dengan baik,"

Jungkook tidak mengatakan apapun, aku memutar tubuh untuk melihat reaksinya. Dia sedang menatap ku tidak percaya, lantas senyum lebar terukir di wajahnya yang tampan. "Apa–sungguh?" katanya terdengar sedikit acar. Aku terkekeh melihat tampangnya yang lucu. Kaget dan gembira, Jungkook seperti bocah lima tahun yang berhasil mendapatkan permen yang diinginkannya. Dia memelukku, menghujaniku dengan kecupan-kecupan kecil.

"Jung, Maru terjepit," kataku menjaga perut ku dari dekapannya. Jungkook buru-buru mengurai jarak, meminta maaf namun masih belum mampu menyembunyikan kegembiraannya.

Yeah, aku mengambil keputusan tersebut setelah memikirkannya lebih dari sepekan. Rasanya tidak ingin juga mengecewakan Jungkook yang tidak pernah melewatkan sehari pun tanpa mengkhawatirkan bayinya. Lagian, keluarga Jungkook lebih baik daripada siapapun–meski ibunya masih menolak untuk bersikap ramah padaku, aku bisa mengerti.

Mengesampingkan hal yang terjadi antara aku dan Jungkook, keluarga Jungkook membesarkan putra semata wajang Jeon tesebut dengan sangat baik. Dia penuh dengan kehangatan dan kasih sayang, jadi kupikir Maru akan tumbuh dengan baik di tengah-tengah keluarga Jungkook. Dan aku harus mengakui, Jungkook akan jadi papa yang baik bagi Jeon Maru. Putra kami. []

𝐑𝐄𝐃𝐄𝐌𝐏𝐓𝐈𝐎𝐍 [𝐅𝐢𝐧]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang