(Past Time)

3.5K 498 18
                                    

enam tahun laluㅡ

Untuk beberapa waktu aku termenung di atas bangkar, meraba bagian perutku yang kini sudah rata. Ada luka besar dibagian bawah perutku yang kini sudah dibalut dengan perban, ibu bilang dokter selain mengeluarkan Maru dari sana, dokter juga mengambil bagian tubuhku yang lain. Rahimku.

Kuraba sekilas, mencoba merasakan bagian tubuhku yang hilang juga Jeon Maru yang kini tidak lagi ada disana. Tidak ada yang bergerak lagi di dalam sana, tidak ada tendangan kecil yang membuatku berjengit pelan lagi. Aku tidak tau apa ini akan memberi pengaruh padaku di masa mendatang, tapi untuk sekarang aku merasa lega. Semuanya sudah berakhir, bukan?

Fokusku beralih pada pintu saat seorang mengetuk pelan, Jungkook berdiri disana, menatapku dengan kedua irisnya yang sendu. Kulemparkan senyum tipis, mempersilahkannya masuk dalam sekali anggukan kecil.

Dia melangkah agak ragu, menarik bangku kecil disisi ranjang kemudian duduk disana. "Kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk, aku tidak berdusta meski rasa perih masih menjalar-jalar di bawah sana. Aku tidak apa-apa.

"Sungguh?" Jungkook mencoba memastikan dan aku hanya memberikannya senyuman terbaik yang kupunya. Akhirnya dia juga tersenyum, tipis. Sangat tipis bahkan tidak bisa kusadari kalau saja dia tidak duduk dalam jarak sedekat ini denganku.

Keningku mengerenyit dengan netra memicing perlahan, ada bekas kemerahan di pipinya yang pucat. Sudah pudar, tapi aku yakin awalnya bekas itu pasti berwarna merah sekali. "Apa yang terjadi pada pipimu, Jung?" tanyaku akhirnya.

Dia tersenyum tipis, tapi kali ini lebih kentara dari sebelumnya. "Tidak apa-apa," katanya lembut. "Aku punya waktu lima menit untuk bertemu denganmu, tapi kurasa aku bisa mencuri lebih banyak waktu karena orangtuamu sedang mengurus sesuatu," katanya kemudian terkekeh kecil.

"Apa orangtuaku melakukan sesuatu padamu lagi?" tebak ku, mengingat papa pernah menampar Jungkook sekali ketika tau tentang kehamilanku.

"Hanya tamparan kecil, aku bisa mengerti. Dia menghawatirkan putrinya yang sedang sekarat," lirih Jungkook. Aku merengut, jelas tidak setuju. Orangtua Jungkook pasti tidak senang jika mengetahui hal ini. Jungkook meraih tanganku sebelum aku berkata lagi, menempelkan punggung tanganku pada pipinya yang masih sedikit memerah. Iris karamelnya menatapku dalam. "Mamamu bilang, dokter mengambil sesuatu darimu selain Maru," katanya. Suaranya bergetar, bibirnya berkedut sendu.

Keningku mengerenyit, menatap bagian tubuhku yang terasa nyeri bukan main sekarang. Tapi aku tidak ingin membuat Jungkook semakin sedih. Dia sudah cukup terlihat berantakan untuk ukuran bocah laki-laki seusianya. Kubelai rambut ikal legamnya yang berantakan, merapihkannya sedikit lalu tersenyum.

"Ini semua salahku," dia membenamkan wajahnya pada punggung tanganku, kemudian terasa hangat ketika liquid bening mengalir dari pelupuk matanya. Bahu Jungkook bergetar sedetik kemudian. "Ini salahku," katanya lagi, dan dadaku terasa nyeri seperti terkoyak.

"Sudahlah Jung," kataku. Aku ingin membuatnya tenang, mungkin merangkulnya dengan hangat. Tapi tubuhku masih tidak bisa bergerak. "Aku baik-baik saja, tidak ada yang kusesali. Terlepas dari semua hal terjadi beberapa bulan belakangan, sekarang bukannya kau harus bahagia karena memiliki Maru?"

Dia berhenti terisak, lantas mengangkat wajahnya yang memerah. Matanya basah, lantas buru-buru diseka dengan punggung tangannya. "Kita memiliki Maru, Ry. Kita," ulangnya, aku hanya tersenyum masam. "Apa kau sudah melihatnya?" tanya Jungkook kemudian, dan aku menggeleng. "Kau ingin melihatnya? Dia punya bibir yang menggemaskan, kurasa mirip denganmu," katanya tersenyum.

Aku buru-buru menggeleng dan senyum Jungkook langsung pudar dalam hitungan detik. "Mama bilang aku tidak bisa menemuinya," kataku.

"Kenapa?" Jungkook terlihat kecewa.

𝐑𝐄𝐃𝐄𝐌𝐏𝐓𝐈𝐎𝐍 [𝐅𝐢𝐧]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang