I - 4

486 19 0
                                    

Lapangan Parkir RS Haesung

“Apa kau tahu dia lari kemana?” kapten berjalan .berdampingan dengan sersan dan mengedarkan pandangannya.

“Aku puya feeling yang bagus.” Sersan berjalan lebih cepat menuntun kapten untuk mengikutinya. “Gangster yang tadi kulihat itu…” langkahnya terhenti ketika dia mendengar sebuah suara yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Sersan menghentikan langhkah kapten dan mengarahkan untuk memandang ke sebuah titik.

Mereka melihat gerombolan berandal sedang memukuli dua orang lelaki, yang dia ingat, salah satu lelaki yang dipukuli itu adalah bocah pencuri yang mencuri ponselnya. Tanpa ragu sersan dengan postur tinggi besarnya melangkah maju tanpa ragu.

Tahu kemana sersan akan melangkah, kapten menarik lengan sersan dan mencoba menghentikannya. “Hey, kau seius? Apa kau serius membutuhkan ponselmu itu?” kapten melongok melihat berandal itu. “Sepertinya mereka gangster yang kuat.”

“Aku masih membutuhkan ponsel itu.”

“Kenapa?” tiba-tiba cara kapten memandang sersan berbeda dan lebih ke tatapan menggoda. “Apa di ponselmu itu tersimpan file yang tidak bisa dilihat orang lain?”

Sersan hannya melirik kapten sekali.

Kapten pun tak berhenti menggoda sersan. Meninju ringan perut berotot sersan, “Aey, kau memang pria sejati.” Kapten kembali senyum menggoda. “Apa itu file yang bagus?”

“Iya.”

Kapten tersenyum kegirangan dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Dengan senyum lebar yang menunjukkan deretan gigi rapinya dia berjalan maju mendekati gerombolan itu dengan santai. “Hey semua yang ada disana! Everybody, hentikan aktivitas kalian!” teriaknya pada gerombolan berandal itu.

Para berandal menghentikan kegiatan mereka dan salah seorang berandal maju menghadap kapten dan sersan. “Kau pikir kau siapa sedang apa kau disini?” berandal itu semakin maju dan membuat bahunya dan bahu sersan bertubrukan. “Tak usah sok jagoan di sini.”

Sersan tak menghiraukan dan terus maju ke hadapan dua orang yang sedang dipukuli setelah melewati beberapa berandal dan membuat bahu mereka saling bertubrukan. “Kami masih punya urusan degan dia.” Sangat jelas kemana arah tatapannya.

Lalu salah satu berandal yang duduk di pagar pembatas meyahuti, “Kalau begitu antrilah, kami semua punya urusan dengannya. Dasar pria bodoh.”

Pencuri ponsel sersan itu langsung terseok memeluk satu kaki sersan dan memohon dengan wajah yang sudah peuh lebam dan darah yang mengalir di beberapa titik di wajahnya. “Tolong aku. Kumohon, tolong aku.”

“Hey,” kapten mulai geram melihat pencuri itu. “Apa kau mencuri ponsel mereka juga?”

Sersan tidak menghiraukan kapten. Dia segera berjongkok menyejajarkan wajahnya dengan bocah pencuri itu dan menatap wajahnya. “Kenapa mereka menghajarmu begini?”

“Tolong aku. Aku akan mengembalikan ponselmu.”

Kapten tersenyum sarkas. “Hei. Lihatlah berapa banyak lawanmu ini.” Kapten menghampiri sersan dan bocach itu. “Apa kau itu kesepakatan yag adil?”

“Kibeom ingin keluar dari geng. Tapi dia diminta untuk membayar bos.” Kata satu lelaki bertubuh tambun yang sebelumnya dipukuli bersama pencuri bernama Kibeom itu.

Sersan menatap seolah bertanya ‘berapa’.

Si tambun itu menjawab sambil menunjukkan tangannya dengan kelima jari mengacung, “Mereka meminta $5000.”

“Apa geng memang seperti itu?” tanya kapten mulai terhanyut ke pembicaraan ini.

Sersan berdiri dan memandangi seluruh anggota. “Biaya keluarnya makin mahal.”

Berandal yag sebelumnya duduk di pagar pembatas seketika melompat menghampiri sersan. “Jadi kau gangster juga? Karena bocah ini miskin, apa kita selesaikan ini saja?”

“Ide yang bagus, kita bisa menyelesaikannya. Jika uang adalah masalahnya, aku sudah membawanya.” Sersan mengambil dompet dari saku belakang celananya dan menunjukkannya di depan semua berandal. “Aku punya bayak uang. Rebut ini dari tanganku dan kalian bisa mengambil semuanya.”

“Benarkah?” berandal yang mendekat itu tersenyum mengejek.

“Apa kau bercanda?” kapten justru menatap sersan dengan tatapan kaget dan tak percaya.

Sersan melirik kapten yang tak lebih tinggi darinya. “Tidak usah ikut campur.” Sersan kembali menatap berandal yang sedang menatapnya. “Aku tidak bercanda. Aku adalah kakaknya.”

Mereka semua menatap tak percaya. termasuk Kibeom, dia langsung menatap tak percaya. matanya dan mata sersan seketika saling beradu tatap.

“Siapa tadi namamu?” tanya sersan pada Kibeom.

“Kibeom. Kim Kibeom.”

Sersan kembali menatap berandal di depanya dan memamerkan dompetnya. “Aku kakaknya Kibeom. Jika kalian bisa mengambilnya, aku akan membayar biaya keluarnya.” Tantang sersan. “Ambil.”

Beberapa berandal maju mendekat dan mengeluarkan pisau lipat dari saku mereka. Mereka menatap tajam sersan, seolah sedang menerkamnya. “Mati kau jika membohongi kami.” Ancam salah satu mereka.

Dengan mudah sersan menghindari setiap serangan mereka. Menangkisnya. Menahan gerak musuh. Mengunci setiap gerakan berandal yang menyerangnya dan balik memukuli mereka dengan dompet yang setia berada di tangannya.

Beberapa berandal yang menyerangpun runtuh. Pisau mereka terlempar ke tanah.

Dengan penuh sesumbar, kapten memungut salah satu pisau, membolak-baliknya lalu membuangnya. “Kalian bahkan membawa pisau? Hm, geng ini lemah sekali.” Kapten berdiri tegak penuh kesombongan. “Kita harus menghentikannya.” Ajaknya pada sersan. “Hey, keluarkan saja senjata kalian. Keluarkan semuanya.”

“Jumlah kami lebih banyak,” salah seorang berandal menatap kesombongan kapten. “Ayo kita serang mereka.”

Semua berandal pun mengeluarkan senjata mereka, pisau lipat, cutter, besi runcing, dan beberapa benda tajam anak jalanan lainnya. Seketika kapten berjalan mundur perlahan tanpa merubah tampang penuh sesumbarnya. Dia berjalan ke belakang sersan dan berbisik, “Setidaknya mereka tidak punya pistol.” Katanya sambil memamerkan senyum polosnya.

Descendant of the Sun : Another StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang