I - 2

825 28 0
                                    

Dal.Komm Coffee. Coffee Shop

Hampir semua mata tertuju pada mereka dan berusaha menahan tawa. Bagaimana tidak. Dua lelaki bertubuh gagah dan tampan duduk di sebuah meja menghadap kaca besar dengan dua buah boneka yang tidak terbilang kecil duduk bersama mereka, boneka kelinci putih dan rakun lucu yang membuat mereka jadi pusat perhatian setiap pengunjung maupun pejalan kaki.

Dengan wajah yang selalu datar, sersan duduk menunggu cappuccinonya tidak terlalu panas sambil memainkan tangan boneka kelinci putih di sebelahnya seolah itu adalah gadis yang sedang berkencan dengannya.

"Pacarmu cantik sekali," kata kapten mengejek lalu mulai menyuap ice cream yang ada di puncak americano nya.

"Ya, dia memang tipe idealku." Jawab sersan sambil menatap terpesona pada boneka kelincinya dengan wajah datar. "Pacarmu juga cantik." Pujinya mengejek.

Kapten melempar pelan sendoknya ke meja dan menepuk puncak kepala boneka rakun di sebelahnya. Sedikit menimbang, "Dia adalah teman seperjuanganku." Teringat bentuknya yang tidak semanis boneka kelinci sersan. "Tapi, kenapa kau menerimanya?" kapten sedikit mencondongkan tubuhknya dan menatap boneka-boneka itu dengan kesal.

"Dia memaksaku menerimanya dan melarangku kesana lagi, aku harus bagaimana?" jawabnya santai.

Kapten menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan membuang napas berat, tak habis pikir. "Bagaimana kau bisa terjun ke dunia perang dengan hati mellow itu?" kembali membuang napas berat, "kau memang sulit dimengerti." Dia bergidik ngeri.

Menatap keluar kaca dan menerawang, "Apa menurutmu bocah itu akan baik-baik saja?"

"Menurut penglihatanku, dia adalah anak yang kuat dan tahan banting. Dia anak yang kuat, dia pasti baik-baik saja." Melihat sersan yang diam dan tak merespon, kapten mulai mengelus-elus boneka di sebelahnya.

"Usiaku sama dengan dia saat itu." Kalimatnya memecah beberapa detik hening sebelumnya, membuat kapten kembali focus padanya. "Kau harus memiliki mentor yang baik untuk menjadi seorang atlet." Matanya masih menerawang, memikirkan pencuri tadi.

"Kenapa? Apa masalah tadi mengganggumu?" kapten mulai khawatir. "Apa masalah ini megingatkanmu pada masa lalumu yang kelam itu?"

"Aku hanya kasihan padanya."

Tiba-tiba dia menautkan jemarinya dan menangkupkannya di atas meja. "Saat kau seusia itu, kau pasti sering melakukan kesalahan 'kan?"

Sersan menoleh dan menunjukkan ekspresi bangga, "Malah aku yang memerintahkan mereka." Meneguk cappuccino dengan angkuh dan bangga.

"Apakah kau karakter utama dalam film noir? Dan kau adalah ketua geng yang memaksa anak-anak mencuri." Kapten bergidik. "Augh...kau memang kejam."

Sersan mengunyah coklat beku yang bersanding dengan cappuccinonya, menghasilkan suara kunyahan yang terdengar keras dan menatap kapten dengan menantang.

"Lihatlah ekspresimu itu." Katanya merendahkan.

Ponsel hitam itu berdering di atas meja membuat kapten memeriksanya. Membaca nama kontak yang tertera dan menatap layar ponselnya dengan tampang heran. Ekspresinya berubah dan menatap sersan dan layar ponsel bergantian.

"Apa itu dari Batalyon?" tanya sersan.

"Ya, benar sekali." Dia menunjukkan layar ponselnya dan membuat sersan membaca nama kontak yang tertera. "Tapi, bukan dari Batalyon kita."

Terpampang jelas tulisan di layar ponselnya yang bertuliskan Yoon Myeongju.

"Jangan diankat." Pinta sersan dengan tampang datar dan menjaga agar suaranya tetap datar.

Kapten tersenyum licik dan terkesan mengejek. "Aku akan mengangkatnya dan memintanya kesini. Kau harus jantan, temui dan putuskan dia." Kata kapten dengan berapi-api.

"Aku akan mentraktirmu makan malam. Steak." Sorot matanya semakin berubah seakan memohon.

"Aih...aku masih punya gaji untuk beli makanan sendiri." Ejek kapten.

Saat telunjuk kapten hendak menyentuh layar ponsel, sersan dengan cekatan menahan tangan kapten. "Aku akan mentraktirmu wiski usia 17 tahun."

Sedikit tergoda. "Usia 17 tahun?" Kapten memandang keatas seolah berpikir. "Wiski itu kan murah."

"Kau bisa blind-date dengan sepupuku dari angkatan udara."

"Angkatan udara?" tampangnya masih mengejek namun hatinya mulai goyah.

"Dia adalah pramugari. Dan dia punya banyak teman." Sersan tak menyerah dan berusaha untuk semakin meyakinkan.

Kapten segera menangkiskan tangannya yang ditahan oleh sersan. "Kenapa kau tak pernah memberitahuku tentang sepupumu?" dia terlihat sedikit marah namun memberikan ponsel itu begitu saja pada sersan. "Kalau begitu, mana ponselmu?"

Sersan segera menolak panggilan pada ponsel kapten dan menaruhnya di atas meja dan segera merogoh saku jaketnya.

"Sini cepat."

Sersan mengeluarkan tangannya. Tampangnya berubah. Kembali dia memeriksa setiap saku yang ada di jaketnya bahkan memeriksa saku celananya.

"Ha! Kau mau menipuku?" kapten memeasang tampang jengah. "Untuk apa kau meraba kantong kosongmu itu?" kapte ikut merogoh saku jaket sersan.

Kini air muka sersan benar-benar berubah dan menatap kapten. "Yang tadi itu..."

Mereka kembali mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Ketika kapten menulis perkiraan pemeriksaannya pada si pencuri di tangan pencuri itu, sersan sedang memeriksa balutan di kaki si pencuri dan menanyakan keadaannya, dia yakin, saat itulah si pencuri merogoh saku jaketnya dan mencuri ponselnya, memindahkannya dengan cepat ke saku celana. Iya, tepat di saat itu. Tepat saat bantuan medis datang dan mengangkutnya ke dalam ambulan.

"Jangan bilang kau telah dirampok?" tanya kapten jengah.

"Akan kubunuh bocah sialan itu." Tiba-tiba matanya berkilat dan emosi terpancar dari perkataannya.

"Bukankah kau kasihan padanya?" ejek kapten.

"Dia dibawa ke rumah sakit mana?" tanya sersan kesal.

Descendant of the Sun : Another StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang