III - 6

180 4 0
                                    

Dapur Barak. Urk. 20:22 URK

Para dokter dan perawat yang bebas tugas berkumpul mengelilingi meja makan menunggu dokter Song selesai dengan masakannya. Dia membuat semangkuk besar—benar-benar besa— nasi campur dan membawanya ke meja makan.

Dia mengasuk semuanya sampai rata menggunakan sendok. Rekan-rekan yang lainpun tak bisa melepaskan tatapan dari mangkuk besar itu dan berusaha menahan agar liur mereka tak menetes keluar membayangkan bagaimana nikmatnya makanan itu ketika masuk kedalam mulut mereka. Suster Minji, suster Jaae, dokter Lee, dokter Han, dokter Min semua berkumpul dan tak sabar melihat dokter Song yang terus mengaduk tanpa memperbolehkan mereka makan.

Hanya ada satu telur mata sapi diatasnya.

“Nah, ini baru cara kita makan. Kalian akan selamanya mengingat masakanku ini.” Dokter Song mengambil satu sendok dan mulai memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya. “Aku memasaknya dengan sempurna. Siapkan sendok kalian.” Dia merasakan kenikmatan itu dan mulai mengangguk memberi tanda pada rekan-rekannya bahwa makanan ini telah siap makan.

Semua menelan ludah lalu tersenyum kegirangan dan siap memasukkan sendok mereka.

“Tunggu!” dokter Lee membuat semua orang diam menatapnya. Mereka menatap seolah bertanya. “Aku mau menaruhnya di piring saja.” Katanya sambil tersenyum lalu mulai menyendokkan nadi campur itu ke dalam piring stainlish yang sudah dipersiapkannya.

“Ah, si pangeran kita yang satu ini.” Cibir dokter Song. Lalu dia melihat dokter Lee menyendok satu-satunya telur di atas hidangan ke piringnya membuatnya sontak setengah teriak, “Hei, kau tidak adil…kau mengambil semua kuning telurnya!” lalu dokter Song mengambil telur itu yang masih setia di atas sendok dokter lee dengan sendoknya yang sudah dia pakai untuk makan tadi.

Perbuatan dokter Song itu membuat dokter lee mengerutkan dahi. “Sunbae! Kenapa kau menggunakan sendokmu pada makananku begitu?” dia membanting sendoknya dan tubuhnya terhempas ke sandaran kursi. “Aku tak mau makan lagi.” Dia merajuk.

Dokter Lee meninggalkan dapur dan pergi ke bagian belakang barak dekat bekas bangunan yang runtuh. Dia pergi menelepon istrinya, mengadu. Dia adalah anak manja dari keluarga kaya dan sangat menjaga kebersihan dirinya. dia merutuk dan merajuk, mengadu pada istrinya yang hanya bisa mentertawakan kelakuan suaminya itu. “Mereka itu kan dokter, kenapa mereka makan di satu mangkuk yang sama, itu ‘kan jorok…”

Sejurus kemudian raut wajahnya merubah ketika bicara dengan istrinya lewat sambungan telepon. “Disini enak juga ‘loh. Haya saja aku tak bisa mandi air hangat…” lalu sebuah tangan hilam mungil dan kotor menyentuhnya dari belakang membuatnya terlonjak kaget. Dia melihat seorang anak laki-lagi berkulit hitam sedang berdiri sambil menjilati tangannya yang lain yang tak kalah kotor dengan tangan yang barusaja menyentuh dokter Lee. “Sayang, nanti ku telepon lagi.”

Setelah mematikan sambungan telepon, dokter Lee memeriksa bagian kemejanya yang tadi disentuh anak itu. Terdapat bercak noda hitam di atas kemeja putihnya. Noda itu sangat kontras membuatnya geram. “Aish, kau ini.”

Anak itu mengulurkan tangan dan wajahnya sedikit memelas. Dia berkata dengan bahasa setempat meminta makan pada dokter Lee. “Berikan aku makanan. Aku dengar bisa mendapatkan makanan jika datang kemari. Aku tidak bisa datang kemarin.”

Meski sudah dijelaskan dokter Lee tetap tidak tahu apa yang anak itu maksud karena tidak mengerti bahasanya sama sekali.

“Tak usah mendekat.” Katanya saat anak itu mulai maju selangkah sambil masih mengadahkan tangan. “You cant touch other people chlotes with that dirty hand.” Katanya perlahan berharap anak itu mengerti.

Descendant of the Sun : Another StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang