Barak. Urk 10:00 URK
Pasukan tentara menyambut dengan tarian sederhana di satu titik pusat di barak. Mereka bersorak riang saat para relawan memasuki wilayah aman. “Selamat datang.”
Mereka memberi karangan bunga dan mengalungkannya dileher paran relawan rumah sakit. Banyak diantara mereka tersenyum karenanya—terutama para dokter dan perawat wanita karena hanya para perempuan ternyata yang mendapatkannya. Membuat dokter Lee dan dokter Song yang sydah sedikit membungkuk harus kembali menegakkan badannya saat tentara itu hanya melewati mereka begitu saja.
“Hei, itu medicube kita. Kita akan tinggal disana.” Dokter Lee semakin sumringah saat menunjukkan container medis yang sudah terparkir rapi di sudut.
“Kenapa kau bergembira sekali?” dokter song menatap dokter Lee heran. “Di umur 40-an ini kenapa aku harus tinggal disana?” keluhnya.
“Aku menyukainya, ini seperti aku pergi kemping.” Dokter Lee masih dengan wajah berseri-seri.
Menghibur diri, dokter Song berpura-pura meregangkan badan lalu bernyanyi lagu trot dengan dokter Lee.
Sejurus kemudian mereka mulai memasuki tenda masing-masing mengikuti arahan sersan Seo dan dibagi oleh dokter Kang selaku ketua relawan, mereka ditempatkan di tenda yang cukup besar untuk disinggahi berdua.
Karena baru pertama kalinya mereka lumayan banyak mengeluh di hari pertama mereka ini. Seperti di salah satu tenda berisikan dokter Kang dan suster Minji. “Yah, kita tidak bisa mengemas apa-apa. Koper kita belum datang.” Keluh suster Minji sambil merapikan pakaian seadanya yang bisa ia masukkan ke ransel ke dalam sebuah lemari. “Tapi bagus juga, sih. Aku sudah lelah.”
Dokter kang belum sempat menjawab dan hanya disibukkan dengan barang bawaannya.
Waktu itu datanglah seorang tentara berbadan kecil memasuki tenda dokter Lee dan suster Minji. “Tok tok…bagaimana kabar kalian?” sapanya.
Tidak merespon, dua perempuan itu hanya memandanginya dengan tatapan bertanya-tanya.
Melihat dua perempuan itu hanya berdiri diam di tempat mereka membuatnya segera bertanya, “Kalian tidak ingat aku?”
Dan mereka bertiga hanya bisa bertukar pandangan bergantian. Dokter Kang dan suster Minji saling bertatapan seolah saling bertanya ‘siapa lelaki ini?’ tapi mereka tak menemukan jawaban. Dan dokter Kang kemudian beradu tatap dengan tentara itu dengan penuh tanya, dan tentara itu menatap dengan penuh harap. Dan begitulah seterusnya.
“Pasien yang kabur dari UGD,” tentara itu mengingatkan sambil mempraktekkan jalan yang terpincang-pincang persis saat dulu dia melarikan diri dai rumah sakit.
“Oh! Si pencuri itu!” dokter Kang langsung bisa menebaknya dan dia kemudian menunjukkan keterkejutannya. “Astaga!”
“Kopral Kim Kibeom, itulah namaku.”
“Kenapa kau bisa ada disini? Aku tak menyangka.” Suster Minji ikut menunukkan keterkejutannya.
Mereka semua tertawa bersama mengingat masa lalu. Dan dokter Kang mengingat sesuatu. “Kau, coba melompatlah.”
“Melompat?” Kibeom menatap bingung.
“Dulu pergelangan kakimu terluka ‘kan? Aku hanya mau tahu apa kau sudah sembuh.”
“Ooh…” kibeom pun segera menurutinya dan dia melompat cukup tinggi. “Pergelangan kakiku sekarang sudah sembuh. Aku juara satu dalam tes fisik kemarin.” Katanya dengan bangga.
“Tapi,” suster Minji meliriknya dengan curiga. “Kau tak mencuri lagi ‘kan?”
Kibeom segera menegapkan badannya. “Kopral Kim Kibeom. Tentara Republik Korea menjunjung tinggi kehormatan dan kesetiaan serta persatuan.”
Sementara itu di dalam tenda lainnya. Tampaklah dokter Song yang sedang duduk di atas ranjang sambil melompat-lompat dengan kasar. Wajahnya ditekuk, bibirnya melengkung kebawah dan alisnya bertaut. Wajahnya sudah selayaknya anak kecil yang sedang merajuk.
“Sudah hentikan. Tempat tidurnya bisa rusak.” Kata suster Jaae dengan santai sambil memasukkan pakaian yang bisa di bawanya ke dalam lemari.
“Kau saja yang berhenti.” Katanya dengan melakukan hal yang masih sama.
“Berhenti apanya?” katanya tetap tanpa menoleh.
“Tak usah memasukkan itu ke lemari, sekarang kita harus kabur. Apa kau tahu berapa macam penyakit endemic yang ada disini?”
“Berapa?”
“Aku bertanya karena aku tak tahu.” Dia segera berdiri dan memegang kedua lengan suster Jaae yang masih memegang pakaian. “Jadi, kita harus pergi sebelum penyakit itu menular pada kita.”
“Sudahlah.” Suster Jaae melepas kasar lengan itu. “Kenapa pula kau melakukan ini di tendaku?”
“Kau tak denar pembicaraan Moyeon dengan ketua Han tadi?” berusaha meyakinkan. “Kerjaan ini sebenarnya adalah ‘hukuman’ dan bukannya ‘sukarelawan’. Kenapa kita harus ikut dihukum juga?”
“Kau tahu? Mengenalmu selama 30 tahun sama saja dengan menghukumku.”
“Apa kau serius berpikir begitu padaku?”
“Apa kau jackpot bagiku?”
“Cih…”
Entah sadar atau tidak, Julie yang duduk santai di atas tempat tidurnya memperhatikan mereka sejak awal. Awalnya dia tidak tertarik dengan celotehan dokter Song dan suster Jaae, tapi ketika dia mendengar ‘…kerjaan ini sebenarnya adalah hukuman dan bukan sukarelawan’ seketika membuatnya berpikir. Dia tidak bisa menutup mata dan telinga, dia juga tidak bisa membohongi hatinya yang tersakiti karena ucapan itu, namun juga menamparnya untuk kembali melihat realita.