karena ini Day nya author, jadi author mau kasih bab IV full buat readers semuanya...
enjoy it okay 😉
===
Di depan Ruang Kantor, Mohuru, Urk.
Kang Moyeon sibuk mencari kapten sejak pagi tadi dia bangun dari tidurnya. Tapi sudah dicarinya ke setiap sudut di barak, tak bisa dia temukan pria gagah berseragam itu. Dia akhirnya menyerah dan bertanya pada sersan Choi yang sedang mendampingi para ‘merpati’ melakukan rutinitas lari paginya.
“Mungkin kau tahu kemana kapten Yoo pergi? Apa mungkin dia sedang keluar?”
“Dia sedang menjalani siding di komite kedisiplinan.” Katanya sinis.
“Kenapa? Bukannya hukumannya sudah selesai?”
“Sepertinya tidak. Melanggar perintah sangat dilarang dalam dunia militer.” Katanya sambil berkacak pinggang, kesal pada dokter kang karena merasa membuat kaptennya dihukum dan timnya menjadi berantakan. “Dan kau.” Dia memberi penekanan. “Kau orang yang bersi keras menjalankan operasi itu. Bagaimana kau bisa tidak tahu?”
Sementara itu di markas Taebek, kapten Yoo mendapatkan siding disiplinnya dan berakhir dengan pembatalan promosi dan pemotongan gaji selama tiga bulan. Tapi dia adalah tentara, dan perintah ada untuk dilaksanakan. Meski berat ati dia menerima hasil siding itu dengan lapang dada.
Dia pergi keluar markas dengan isi kepala semrawut. Meski dia bisa terima hukumannya, tapi tetap saja hukuman itu tidak menyenangkan dan membebani pikirannya. Dia berjalan tanpa berkonsentrasi sampai akhirnya hampir jatuh tersungkur saat kaki Myeongju menepis kakinya.
Dia reflek menoleh dan meatap tajam. Kamudian bangun dari posisi jatuhnya diiringi sindiran Myeongju.
“Woah, kau sedang memikirkan apa? Kenapa kau tak focus begitu?”
“Aish. Apa yang kau lakukan?” katanya dengan nada mengancam sambil menyiapkan tangannya untuk menusuk mata Myeongju—yang tidak mungkin dia lakukan. Dia segera menurunkan tangannya saat melihat Myeongju tidak bergeming dan hanya memajukan bibirnya mengejek. “Kapan kau tiba?”
“Kemarin.” Lallu dia tidak berhenti mengejek. “Sepertinya kau sudah melakukan kesalahan, ya, sunbae?”
“Tak usah khawatir padaku.” Dia tidak terima dengan tatapan Myeongju yang masih mengejek. “Kau saharusnya buka klinik yang mewah saja di Gangnam. Kenapa kau mau jauh-jauh kesini?” nasihatnya.
“Kau ini.” Myeongju mengumpat. “Aku kan juga punya cita-cita.” Dia menepuk pundaknya sendiri—menepuk bagian pundaknya yang masih kosong. “Aku pasti akan mendapatkan bintang itu.”
Kapten Yoo tersenyum bangga, menghormati cita-cita tinggi juniornya ini.
“Sepertinya, aku akan duluan mendapatkan bintangnya, sunbae. Lihatlah kelakuanmu ini.”
“Wow…selamat ya.” Dia bersandar pada jeep di belakangnya. “Sepertinya, kau sudah tahu Daeyeong sudah pulang.” Ejeknya balik. “Kau tak pernah mencarinya.”
“Aku bertemu dengannya di bandara.” Katanya datar dengan anggapan seniornya ini benar-benar peduli.
“Pasti.” Kapten menepuk-nepuk pundak Myeongju dengan sok peduli. “Apa bandaranya tidak hancur?” dan ejekan itu sukses membuat Myeongju hampir saja mengamuk andaikan lelaki itu tidak mengalihkan pandangan matanya dan merubah air wajahnya.
Raut wajah kapten yang dengan senang hati mengejek menertawai Myeongju berhenti saat matanya menangkap sesosok perempuan yang amat dikenalnyaberdiri juh di belakangnya dan berlari memasuki markas utama.
Begitu pula Myeongju, dia ikut memperhatikan arah pandangan kapten dan mempertajam penglihtannya. “Sepertinya wajahnya tidak asing.”
“Iya ‘kan?” kini kapten semakin yakin. “Aku duluan ya.”
Dan perempuan yang di maksud adalah dokter Kang yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana masuk kedalam markas dan langsung menghadap komandan kompi bertubuh kurus namun setiap gerakannya dienci para tentara. Dokter Kang dengan beraninya memaki, membentak, dan melayangkan pernyataan kapten Yoo tidak bersalah dan dia rela bertanggung jawab sampai akhirnya komandan kompi yang cukup pintar untuk tidak mencari masalah dengan warga sipil ini pun kehabisan kesabaran dan balik meneriaki.
“Tindakannya salah. Dia tidak menaati perintah sebagai seorang tentara!”dank au adalah dokter, dokter itu harus menyelamatkan pasiennya. Itu adalah yang terpenting. Selesai. Hukum militer sama sekali berbeda dengan hukum kedokteran.”
“Aku juga ada disana. Aku akan menjadi saksi. Aku akan bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan!” dia terus meninggikan suaranya membentak komandan kompi.
Komandan kompi ini pu kehabisan kesabaran dan memukul meja dengan keras. Dia bangun dari duduknya dan mulai menunjuk dan menatap tajam. “Dengar aku, dokter. Ini bukan pengadilan. Kau akn tahu apa hukumnya. Gaji Yoo Sijin akan dikurangi selama 3 bulan, dan dia dikeluarkan dari datar kandidat promosi. Apa kau bisa bertanggung jawab dengan hukumannya itu?”
Di saat yang tepat kapten Yoo tiba. Dia merasa malu dan salah tingkah menghada[I kondisi ini. Dan tentu ada segumpal kemarahan dalam dadanya yang dia tahan untuk tidak meledak saat itu juga.
Dia menarik dokter Kang. Membawanya keluar. Membawanya pergi jauh dari markas maupun barak. Dia membawanya berkendara ke atas bukit dan berhenti. Dia segera turun dan membanting pintu. Berjalan ke ujung menghadap pegunungan batu yang terhampar di depannya.
Melihat perubahan sikap kapten Yoo tak membuat dokter Kang sadar dan tetap pada pendiriannya. Dia masih beranggapan pembelaannya akan berpengaruh pada hukuman kapten dan kesal ketika lelaki itu menyeretnya keluar dari markas.
Dia segera menyusul kapten Yoo yang turun dari mobil dan turut membanting pintu meluapkan emosinya. “Tunggu! Apa yang sebenarnya kau inginkan?”
“Kenapa kau selalu melakukan hal yang tak berguna?” dia masih berusaha menahan emosinya.
“”Hal yang tak beruna?” dokter kang tidak terima. “Aku baru saja mengacaukan kehidupan seseorang-“
“Ini bukan karena kau.” Kapten menyela dan masih berusaha mempertahankan intonasinya. “Apa kau pikir aku melakukannya hanya untuk menyelamatkan seorang wanita?”
Pelupuk Dokter kang mulai tak bisa membendung air matanya. Pelupuk itu kini sudah sangat basah, ada air mata yang siap mendobrak keluar.
“Apa kau ingat…luka tembak saat kita pertama kali bertemu dulu?”
Dokter kang mengangguk kecil dalam diam.
“Salah satu atasanku pernah berkata padaku pada hari pertamaku sebagai kapten pasukan khusus. ‘Tentara akan selalu hidup dengan menggunakan kain kafan. Saat kau mati di negeri antah barantah demi kepentingan bangsamu, tempat kematianmu itu adalah kuburanmu. Dan seragammu akan menjadi kain kafanmu. Kau harus ingat itu selama kau memakai seragammu itu. Jika kau menanamkan prinsip itu, kau akan mati secara terhormat dimanapun dan kapanpun itu.’” Semua kalimat itu sontak membuat dokter Kang menitikan air mata. “Dan aku menyerahkan hidupku untuk dia. Dan saat itulah aku mendapatkan luka tembak itu. Seberapa keil atau besarnya keputusanku, termasuk rekan, kehormatan dan juga kewajiban, smuanya sama saja bagiku. Aku telah membuat keputusan atas dasar prinsip itu. Dan aku tak menyesalinya…tapi, hanya karena prinsip itu…pelanggaran hukum militerku tak akan dihapus.” Dia maju selangkah mendekatkan tubuhnya dengan dokter Kang dengan sorot mata yang membara. Dia tak lagi memikirkan perasaan perempuan di depannya dan terus berbicara. “Karena dunia militer punya hukumnya sendiri. Dan karena itu pula, kau tak perlu ikut campur, dokter Kang.”
Perempuan itu kembali menangis. “Maaf, karena kekhawatiranku…telah mengganggumu.” Dan dokter Kang masuk ke dalam mobil dan mengendarai mobil itu. Pergi begitu saja meninggalkan kapten Yoo dengan segala perasaannya.
Sementara itu, setelah beberapa menit kepergian dokter Kang, kapten Yoo hanya berjalan berputar-putar di tempat sambil sesekali menendang kerikil yang mengganggu pandangannya. Dan saat itu pula ponselnya berdering nyaring.
“Hormat, kau dimana?” orang dari seberang telepon memulai percakapannya.
“Apa kau sampai dengan selamat?” tak bisa dipungkiri, meski sekesal apapun hatinya masih dapat dia tutupi dengan rasa pedulinya. “Aku sedang di puncak sekarang.”
“Mengambil keputusan?”
“Bukan, tapi puncak sungguhan.” Dia mengeluh.
“Apa kau sedang dalam perjalanan pulang ke kamp?” tanyanya penasaran tidak mengerti maksud sebenarnya ucapan atasannya itu.
“Tidak…” dia semakin kesal karena sersan Seo yang biasanya selalu mengerti dirinya saja tidak mengerti. “Aku hanya jalan-jalan. Jalan biasa saja, kau tahu?!”
“Oh, yasudahlah.” Dia benar-benar menyerah tidak mengerti. “Kau sudah bertemu dengan Myeongju?”
“Apa itu penting sekarang?” dia jengah dan mulai menggertak. “Aku baru saja kehilangan promosi dan juga gajiku!”
“Kau pantas mendapatkannya. Kau kehilangan banyak demi wanita itu.”
“Aku tak melakukannya karena wanita itu.” Dia mengelak. “Aku mebuat keputusan sebagai seorag tentara untuk menyelamatkan orang.”
“Iya, dan ‘orang yang cantik’.” Ejeknya karena sudah sangat hafal diluar kepala prinsip atasannya itu.
“Kau bicara apa sih?” dia mulai kesal lagi. “Kau mau mengejekku saja?”
“Tidak juga. Aku hanya mau menelepon saja.” Dan dia kembli pada topic yang ingin dia angkat. “Apa kau sudah bertemu Myeongju?”
“Sersan mayor Seo. Apa kau tahu mahalnya panggilan internasional itu?” ejeknya. “Tagihanmu akan meledak hanya karena seorang wanita.” Dan dia mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.
Kapten Yoo menatap ponselnya seletah memutuskan sambungan telepon dan tidak berhenti mengumpat. Dia mulai menyumpah dan geram menendang kerikil di tanah.
“Argh…kau berisik sekali.” Perempuan dengan rambut di gulung ke atas kepala dan kacamata hitam bertengger di pangkal hidungnya muncul dari balik pepohonan rindang pendek di ujung tebing yang datarannya lebih rendah.
Kapten Yoo sontak kaget. Matanya menatap bingung dan tangannya menunjuk perempuan itu. “Sudah sejak kapan kau ada disana?” katanya sambil terus menuding dan berjalan mendekati perempuan itu.
Perempuan itu sedikit memanjat mengingat tempatnya yang rendah. Kemudian mengulurkan tangan meminta bantuan kapten Yoo.
Kapten Yoo reflek mengulurkan tangannya dan membantu menarik perempuan itu sampai berdiri bersebelahan.
Perempuan itu menurunkan kacamatanya dan menatap pegunungan menghadap laut memunggungi kapten Yoo.
“Kau belum menjawabku, Julie.”
“Apa?” katanya menoleh melupakan apa yang sebelumnya ditanyakan kepadanya.
“Sejak kapan kau ada disini?” katanya sambil maju membuat dirinya berada tepat di depan Julie.
“Hm…dua jam sebelum kau datang?” lalu dokter Julie melenguh dan meregangkan otot-otot tubuhnya. “Kalian mengganggu tidur siangku.”
“Kau mendengar semuanya?” tanya kapten Yoo tidak yakin.
Julie hanya mengangguk singkat. “You have a bad day?”
Kapten Yoo hanya menatapnya dalam.
“Sudahlah, dokter Kang mungkin kesal karena dibentak olehmu, tapi dia pasti tidak benar-benar marah padamu.” Julie kembali memakai kacamata hitamnya dan mendekatkan wajah mereka. “Kau sudah menguasai hati dan pikirannya. Percaya padaku.” Dan perempuan itu kembali melangkah meninggalkan kapten Yoo di belakangnya.
Kapten menatap kerikil di tanah dengan tatapan kosong. “Hey, Julie!”
Suara itu membuat dokter Julie berhenti. Perempuan itu segera menoleh tanpa menjawab. Dan dia dikagetkan oleh kapten Yoo yang sudah berada sangat dekat dengannya, dengan cepat memegangi wajahnya dan mengecup keningnya dalam.
Kapten Yoo memejamkan matanya dan tak juga melepaskan bibirnya dari kening dokter Julie. Dia menikmati bagaimana indra pembaunya menghirup aroma buah segar dari rambut Julie dari shampoo yang dia pakai.
“Kau pikir bisa mencium siapa saja dengan seragam itu?” ejek Julie tanpa merubah posisi.
Kapten Yoo masih tidak menyadari apa yang dilakukannya dan masih menikmati kesegaran aroma wanita ini dan perasaan nyaman yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Terik matahari terabaikan olehnya dan angin khas pegunungan dia biarkan terus menerpa dirinya.
“Sijin.” Julie menekan perut rata kapten Yoo dengan telunjuknya. “Sijin. Kau sadar apa yang sedang kau lakukan?” masih tidak mendapat respon. Julie mulai menggerakkan kepalanya yang masih berada dalam rengkuhan kapten Yoo yang kuat.
Sepersekian detik kemudian kapten Yoo tersadar dan melepaskan ciumannya, tapi tidak dengan kedua tangannya yang masih menahan kepala Julie. Dia menatap dokter Julie seperti orang bodoh dengan tatapan bingung. “Kau memabukkan, Julie.”
Setelah menunggu cukup lama sampai matahari hampir tebenam, akhirnya ada truk tentara melintas dan mengantarkan mereka sampai dengan selamat ke barak. Mereka berpisah di depan dapur. Julie yang lebih dulu meninggalkannya karena sudah tak sabar untuk membasuh diri dan berganti pakaian, sementara itu kapten Yoo masuk ke dapur dan duduk cukup lama di atas konter.
Kapten yoo tidak sadar berapa lama dia diam mematung dengan pikiran kosong di ataas konter. Sampai-sampai dia tak sadar hujan sedang mengguyur wilayah mereka dengan cukup deras.
Seketika dia ingat apa yang dikatakan sersan Seo di telepon. Sersan Seo mengatakan ‘pergilah ke dapur dan bukalah lemarinya. Promosimu dicabut dan gajimu dikurangi. Sepertinya kau membutuhkan minuman.’ Mengingat itu dia melakukan arahan sersan Seo dan menemukan sebotol wine yang tersisa setengah dan tersenyum menatap wine di tanganya. Dan barulah saat dia meoleh pada suara berisik di jendela dia sadar, suara berisik itu adalah air hujan yang deras yang menimpa kaca jendela di dekatnya.
Saat itu dokter Kang masuk ke dalam dapur, terlihat kapten Yoo yang masih berpakaian lengkap seperti sebelumnya memegang sebotol wine dan menatapnya.
“Ada…apa?” dia bertanya tanpa melepaskan pandangannya.
“Aku mau minum.” Tapi melihat kapten Yoo memegang wine di tangannya membuat dokter Kang berbalik hendak berjalan keluar.
“Kenapa kau keluar?” dia berjalan mendekati perempuan itu. “Kau harus minum dulu.”
“Sepertinya kau mau sendirian dulu.” Kata dokter Kang mengalihkan pandangan menghindari mnatap kapten.
“Tidak. Aku ingin kau menemaniku. Aku sudah tak banyak pikiran sekarang.” Kapten mendadak kikuk dan diliputi rasa bersalah. “Masuklah kesini.”
Dokter Kang berjalan masuk sesuai instruksinya, namun tak berpikir untuk memulai percakapan denganya. Mengingat wine yang ada di tangannya menandakan siang tadi dia begitu tertekan dan emosional. Dia tidak segera mengambil gelas dan hanya diam bersandar di konter.
“Apa kau mau minum wine atau air?” kapten Yoo membuka sumbat botol nya dan menyerahkan botol itu pada dokter Kang.
Dokter ini tak mengerti maksudnya. Dia tak ingin bersuara dan menenggak langsung wine itu dari botolnya begitu saja. Dan ternyata, kapten Yoo mengambil sebuah gelas dari dalam lemari dan hendak menyerahkannya pada dokter Kang. Dia tertawa dikulum melihat perempuan itu terlanjur meminum wine langsung dari botolnya.
Dokter kang sadar apa kesalahannya, dengan mempertahankan wajah dia mengmbalikan botol itu pada kapten.
“Pasukan yang bertugas tak diijinkan untuk minum alkohol.” Katanya.
“Lalu, kenapa kau mengeluarkan ini?”
“aku memang mau minum tadi, tapi gagal karena ada saksi yang melihatku.” Katany lemah lalu ikut bersandar di konter.
“Maaf.” Dokter Kang tertawa dan memperhatikan pria di depannya itu. “Maaf karena aku sudah egois.”
“Aku juga mau minta maaf.” Dia menatap sampai akhirnya dokter Kang menatapnya balik. “Anggap saja aku suah minta maaf.”
“Tidak.” Tentu perempuan ini masih bisa berpikir. Bagaimana dia bisa memaafkan pria di depannya yang sudah membentaknya beberapa jam yang lalu.
Kapten Yoo dengan wajah serius bercampur tkut hanya memandang dokter Kang diam.
“Jangan takut.” Doktr Kang tertawa melihat pria di depannya bertingkah seperti bocah yang baru saja dimarahi ibunya. “Apa aku egois lagi? Oh, bagaimana caramu bisa pulang?”
“Jalan.” Dia pindah dari posisi awalnya menjadi bersandar di tiang di depan dokter Kang. “Hanya aku yang bisa sampai disini dengan berjalan kaki.”
“Sepertinya tidak…” seketika kesombongan kapten Yoo runtuh. “Aku melihatmu turun dari mobil tadi. Dengan dokter Julie.”
Kapten Yoo langsung menatap dokter Kang sedeik lalu berpaling. “Ketahuan, ya.” Dia sontak kembai menoleh. “Lalu kenapa bertanya lagi?”
“Aku ingin mendengar leluconmu lagi.” Katanya santai.
Dokter Kang menatap sambil tersenyum. “Kau terlihat tampan dengan seragam itu, sungguh.” Dokter Kang menyimpan botol wine di konter dan menyandarkan dirinya disana. “Meskipun pujianku yang tadi tak begitu pantas bagi orang yang kena hukuman.”
Dia menolehkan kepalanya, “Bagaimana kau tahu ini seragamku?”
“Bagaimana apanya? Wanita sangat menyukai seragam itu.”
Dia menyunggingkan senyum separuhnya dan berdiri dengan angkuh, “Karena itulah aku suka jadi tentara.”
Mereka tertawa bersama.
Karena pintu yang terbuka, angin kembali menerpa tubuh mereka. Membuat dokter Kang merasa seteguk wine lagi bisa menghangatkan tubuhnya. Dokter Kang berbalik dan mengambil botol itu dan kembali meminumnya.
“Enak ya?”
“Hm,” mengangguk. “Tubuhku jadi hangat. Kau mau?”
Terdengar jelas dia menelan ludahnya, tapi suara itu sangat dekat dibelakang dokter Kang. “Aku ingin menonton film dan minum denganmu” dia menggantungkan kalimatnya.
“Itu bisa jadi kencan yang sempurna,” timpanya tanpa membalikkan tubuh dan kembali meneguk wine nya.
“Kau menonton film itu?” dia ingat pernah meninggalkan dokter kang di bioskop beberapa bulan lalu.
“Tidak.”
“Kenapa kau tidak menontonnya?”
“Karena aku ingin menontonnya dengan seseorang. Dan aku sudah memikirkannya. Dan jika aku kencan bersama dengan pria tampan nantinya…aku tak boleh nonton film yang bagus. Aku selalu melihat majalah tentang film itu…dan majalah itu akhirnya engingatkanku padamu karena film itu menggambarkan Yoo Sijin bagiku.” Melihat perubahan sorot mata kapten Yoo membuat dokter Kang mendengus. “Kau pasti ingin juga kan? Ini…” dokter Kang menyodorkan wine itu pada kapten.
“Aku tahu cara lain untuk meminumnya.”
Tanpa aba-aba kapten Yoo maju mengimpit tubuh dokter Kang ke konter di belakangnya, memegangi kepalanya dengan dua tangan dan bibirnya menyesap sisa wine di mulut perempuan itu. Membuat perempuan itu terlonjak kaget. Tapi, seolah tak sejalan, otak dokter Kang memerintahkan untuk menjauh, tapi tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak. Bahkan tangannya menjuntai di pundak kapten Yoo yang berusaha mempertahankan wine agar tidak tumpah di seragam pria itu.