Markas Militer Taebek 16:00 URK
Container-kontainer berwarna putih dengan lambang medis merah terang sudha tersusun rapi di satu area dekat dapur markas. Lahan kering itu kini tak lagi terlihat. Sementara itu kapten Yoo bersandar pada bangunan runtuh tua di sebelah katedral dekat pompa mair manual sambil berkutat dengan pikirannya sendiri.
Saat itu sersan Seo datang dengan selembar kertas dan meyerahkannya pada kapten Yoo yang bahakan tidak menyadari kehadirannya.
"Kau sudah melihat daftar relawan medis?"
Mengangguk lemah. "Iya, sudah."
"Bukannya ketua mereka adalah si dokter itu?"
"Ya."
"Apa dia tahu kau disini?"
"Sepertinya tidak." Jawabnya sambil membuang nafas berat dan pandangan tak terarah, tidak menatap lawan bicaranya.
"Sepertinya kalian memang ditakdirkan untuk bertemu." Ejek sersan Seo.
"Ataukah nasib yang kau maksud itu salah alamat." Dia tersenyum separo.
Sersan Seo pergi meninggalkan kapten Yoo. Tapi baru dua langkah, dia kembali berbalik. "Dan dokter ini. Bukankah dia dokter yang kau selamatkan itu?" sersan Seo menunjuk sebuah nama di lembaran kertas yang dibawanya.
"Mungkin saja iya."
Bandara Internasional, Urk 13:00 URK
Dan disinilah mereka-pangkalan udara internasional Urk. Cuacanya begitu panas sampai kulit para relawan ini terasa terbakar. Disini begitu tandus, tak terlihat sejumput rumput pun di sekitar lintasan. Sudah setengah jam lebih mereka menunggu namun tidak ada instruksi apapun yang diberikan, bahkan ketua tim relawan ini sangat terlihat kesal dan tak menunjukkan senyum sama sekali-tidak seperti biasanya.
Mungkin karena terbiasa menjalani tugas relawan, setidaknya satu di antara 20 relawan sudah tak aneh dengan keadaan seperti ini. Instruksi yang lambat, perjalanan tidak nyaman, petugas penjemputan yang tidak tepat waktu, akomodasi yang tidak sesuai.
Hanya sedikit diantara mereka yang bisa bertahan di situasi awal yang buruk ini, katakanlah dokter Lee. Dokter Lee si anak kaya raya itu justru sangat menikmati dan terkagum-kagum hanya dengan berdiri memegangi kopernya dan menghirup udara dalam-dalam, ayolah, padahal tak ada apapun disini yang bisa kau nikmati dengan senikmat itu.
"Huuuh..." dokter Song meneguk sebotol air mineral sekaligus, "Kenapa aku harus berada disini?"
"PBB saharusnya mengirimkan pesawat dan beberapa orang. Kita tunggu saja," dokter Kang sebagai ketua tim relawan pun mengeluarkan suaranya.
"Kami memang sedang menunggu. Menunggu di tempat yang super panas ini." Timpal dokter Song dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Dengan situasi seperti ini tak ada seorang pun yang mau memulai percakapan, bahkan tak ada yang berbicara pada dirinya sendiri meski untuk menyemangati. Benar-benar panas.
Ketika sedang mengeluh, ponsel dokter Song berdering. Dia segera mengambil ponselnya dan tidak memeriksa siapa nama kontak yang memanggilnya. Karena kepanasan konsentrasinya hilang, bahkan kini dia kesulitan menekan tombol untuk mengangkat panggilan teleponnya.
"Halo?" dokter Song diam sejenak. "Siapa, ya?...Ketua? Ketua apa?...Han? Han siapa?...Oh, kau adalah Han Seokwon." Dia berkata dengan santainya sementara rekannya yang lain saling berbisik dan mendesis memberi peringatan. "Ya, Han Seokwon adalah ketua rumah sakit kam-" dan disitu barulah dokter Song kembali ke kesadarannya dan terkejut atas apa yang telah dilakukannya. Wajahnya pucat seketika dan dia menganga tak percaya. takut setengah mati telah berlaku tidak sopan. "Oh, halo, Ketua Han...maaf ponselku sedikit error tadi." Dia tertawa kikuk. "Ah, ya, kami baru saja tiba di bandara internasional Urk." Dia menekankan setiap katanya. "Ya, baiklah, aku akan memberikan ponsel ini pada dokter Kang." Dia menutupi ponselnya dengan tangan dan memberikannya pada dokter Kang dengan tampang memelas. Lalu dia berkata setengah berbisik, "Kenapa kau tak mengangkat teleponnya?"