I - 6

464 17 0
                                    

Lorong UGD RS. Hesung

“Apa yang terjadi pada pasien ini?” suster yang tadi siang memasang pembalut leher segera berlari menghampiri Kibeom yang sudah penuh luka lebam dan darah yang memenuhi wajahnya.

Sementara itu, disana Kibeom sedang dipapah oleh kapten Yoo dan sersan menuju ke UGD. Dan saat itu Myeongju hadir. Berdiri di hadapan mereka dengan wajah datar namun memancarkan aura kekesalan. Tatapan Myeongju tajam lurus ke pupil sersan.

Tanpa ekspresi. Datar. Seperti itulah wajah yang selalu sersan tunjukkan. Tidak bereaksi apa-apa.

Sersan melepaskan pegangan Kibeom dan membiarkan suster memapahnya bersama kapten, membawanya kembali masuk ke UGD. Dengan berat hati, khawatir, kapten tetap memapah Kibeom membiarkan sersan berhadapan dengan Myeongju sendirian.

Myeongju maju beberapa langkah menipiskan jaraknya dengan sersan. Tatapannya tak dapat dijelaskan karena banyak perasaan tercampur disana—kesal, marah, kecewa, khawatir, bersyukur. “Apa yag terjadi?” myeongju meatap kasar sersan dengan seksama dari ujung rambut hingga ujung sepatu. “Kau sepertinya baik-baik saja setelah kecelakaan.” Sindirnya. “Ikuti aku.”

Bilik Pasien UGD

D

okter Kang memasuki UGD dan segera menemui pasiennya yang kini telah kembali. Dia menatap pasiennya tak percaya. “Kenapa dia? Apa yang terjadi pada pasien ini?”

Kapten yang salah tingkah melihat dokter Kang datang segera mengalihkan perhatiannya pada plester yang ada di tadah besi milik suster dan memainkannya. Dia berusaha menjawab sesantai mungkin agar tidak menimbulkan curiga. “Dia terlibar dalam ‘kecelakaan’ yang meyedihkan.”

“Luka ini pasti dari hasil perkelahian.” Dokter kang menatap kapten dengan tidak peraya dan benci. “Apa kalian berdua yang memukulnya?” tuduhnya.

“Yang benar saja,” kini kapten yang terseyum mengejek.

Dokter Kang mengusap kepala Kibeom dan menatap matanya dalam seolah memberi kepercayaan, “Siapa yang memukulmu? Apa dia yang memukulmu?”

“Bukan dia.” Kibeom berusaha menjelaskan dengan suaranya yang kini melemah akibat terlalu lelah dan menahan rasa sakit yang hinggap di tubuhnya. “Justru dia yang menyelamatkanku.”

Masih tidak percaya. “Kau sudah ada di rumah sakit, jadi kau jangan khawatir. Kami punya satpam, kau bisa mengatakan yang sebenarnya.”

Sementara itu kapten melihat dokter Kang dengan tatapan tak biasa. Bertambah satu poin lebih tinggi dari mengagumi. Apakah itu tatapan menyayangi.

Melihat dokter Kang yang terus menerus mendesak Kibeom agar jujur dan mendesaknya agar berkata bahwa kaptenlah yang memukulinya. Melihat sikap  itu kapten hanya kembali tersenyum manis. Sangat manis.

“Bukan dia. Aku tidak berbohong,” ucap Kibeom sambil merintih kesakitan.

Kapten merasa gemas. Dia tidak bisa membiarkan ini lebih lama. Dia duduk di ranjang disamping Kibeom yang terbaring. Dia berbisik pada dokter Kang, “Kau tak akan percaya pada apapun yag dia katakana ‘kan?”

Dokter Kang mulai menatap kapten dan pendiriannya mulai goyah. Ada sedikit rasa percaya yang timbul namun tak bisa dia berikan percaya itu semuanya. Dia hanya kembali beralih pada Kibeom dan memulai penanganannya. Memerintah suster Jaae merawat lukanya dan mempersiapkan pemeriksaan x-ray untuknya, dan menyuruh suster Minji untuk menemui security dan menyuruhnya memeriksa rekaman CCTV di tempat sekiranya Kibeom diserang.

“Tolong lakukan sesuai perintahku, aku akan menghubungi polisi.” Dan dia melenggang begitu saja meninggalkan ruang UGD.

“Tunggu!” mendengar kata polisi disebut, kapten segera kembali ke kesadarannya. Dia segera berjalan cepat menyusul dokter Kang yang sudah meninggalkannya.

Melihat dokter Kang yang tak meghiraukannya, kapten segera mengambil tindakan. Berlari mengejar dan menarik tangannya, membuat dokter Kang naik pitam. “Lepaskan.”

“Baiklah, setelah aku meluruskan masalah ini.” Kapten membuat gesture gagah, tangan kanannya bertengger di pinggang dan tangan kirinya dia arahkan menunjuk ruang UGD. “Dia mengatakan yang sebenarnya. Anak itu-” ucapannya diputus seketika.

“Apakah dia anakmu?” katanya kasar.

Kapten mulai kesal namun dia sadar kali ini harus lebih lembut dan sabar. Dia mulai menjelaskan dengan perlahan dan tak lupa menambahkan seulas senyum di bibirnya untuk menghadapi wanita keras kepala di depannya. “Pasienmu itu…dia mencuri ponsel temanku, karena itulah kami kesini mencarinnya. Lalu, kami melihatnya dipukul oleh sekumpulang geng dan kami membantunya.”

Tidak masuk akal. Dokter kang kembali menyela, “Kau membantu pencuri yang telah mencuri ponsel temanmu?”

Kapten hanya mengangguk pasti.

“Aku lebih percaya kaulah geng itu.” Segera ditekannya angka 112 dan menekan tombol memanggil. Dia tak main-main, dia mulai menghubungi polisi. “Apa ini polisi? Aku adalah dokter dari RS. Haesung-”

Ucapan dokter Kang terputus karena kapten seketika melambungkan ponsel hitam sersan yang di pakainya ke udara, membuat dokter Kang kaget, dan menangkapnya dengan mudah sebelum jatuh terbentur marmer. Sementara dokter Kang masih diambang kesadarannya, kapten segera menekan tombol merah dan memutuskan sambungan telepon dari layanan darurat.

“Apa yang kau lakukan?” kata dokter Kang tak terima.

“Aku sudah mengatakan yang sebenarnya.” Kapten kembali menghadapkan wajahnya pada doter Kang yang sedang menatapnya. “Aku tidak ingin terlibat dengan polisi.”

“Begitu, ya?”

Kapten hanya mengangguk dan memamerkan senyumnya.

Doter Kang tidak meyerah dan tetap meminta ponsel itu. Membuat kesabaran kapten benar-benar diuji.

“Kami sebenarnya adalah tentara.” Paparnya. “Kami sedang libur sekarang. Jika kami ketahuan terlibat dalam kasus kekerasan, itu akan sangat merepotkan.” Dia memasukkan ponsel itu kedalam saku celananya. “sangat merepotkan dan aka nada banyak dokumen yang harus aku isi.” Kapten sedikit membungkukkan badan menyejajarkan wajahya degan dokter di depannnya, “Aku mohon kerja samamu.”

“Kenapa aku harus menurutimu? Memang aku peduli jika kau ini gangster atau tentara? Kubilag kembalikan ponselku.”

Kapten merogoh ke dalam kaos nya dan mengeluarkan name tag berupa plat kecil dengan namanya yang dikalungkan di leher. Dia menunjukkannya pada dokter kang sambil mencoba menjelaskan. “Karena setiap pria Korea punya ini, ini tak akan membuktkan apa-apa. Dan juga…” dia mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan kartu anggota militernya, “ Ini adalah tiruan, ini akan percuma saja.” Dia kembali memasukkan dompet kedalam outernya. “Kau lulusan mana?” tanyanya dengan tanpa ekspresi. “Karena ini RS. Haesung, apakah kau alumni Universitas Myungin?”

Dokter Kang mulai tenang. “Untuk apa kau bertanya?”

“Apa kau kenal Yoon Myeongju? Mungkin kalian seangkatan.”

“Bagaimana kau mengenalnya?” tanyanya heran. Dan dia kembali berpikir obrolan singkatnya tadi dengan teman dokternya. “Apa kau…si kopral kepala atau yang lebih tinggi semacam itu?” tanyanya lupa dengan istilah yang diberitahu temannya.

“Bintara?”

“Ah, ya, Bintara.”

Melihat ekspresi dokter Kang, kapten Yoo tertawa dikulum. Entah karena gemas, entah karena merendahkan, atau keduanya. “Bukan aku, bintaranya, tapi kau harus ikut denganku. aku punya seseorang yang bisa membuktikan identitasku.”

Descendant of the Sun : Another StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang