Pagar Pembatas Area Militer. Urk.
Dokter Julie membawa kamera mirrorless nya dan mulai berkelling. Sudah seperti panggilan alam, dia selalu melakukannya di jam istirahat setiap singgah di tempat baru. Bahkan sekarang disaat yang lain mulai meregangkan tubuhnya di atas ranjang militer yang tidak nyaman, dia mulai mencari keindahan yang mungkin tak akan dijumpai jika tugas relawan sudah mulai sibuk nanti. Dia tidak benar-bear mengerti tugas relawan apa yang sebenarnya akan dia lakukan di barak seperti ini, dia belum melihat ada orang lain atau tempat tinggal lain di sekitar barak.“Julie, how your flight?” telepon Woobin, seniornya yang berbeda jurusan saat kuliah.
“Not as bad as in Afghanistan last year.”
“Benarkah? Setidaknya kau harus mensyukuri keadaan mu itu, Julie.”
“Haha, although very hot and long wait, they’re coming. You right, I should be greatful…”
“Julie? Hallo…Julie? Kau disana? Julie…”
“I can hear you. Hallo…”
“Julie…”
Bip.
Telepon terputus begitu saja. Signal disini pasti buruk.
Kembali dokter Julie menjejakkan kaki dan mengambil beberapa potret Urk disekelilingnya. Sampai dia menemukan sebuah pagar besi pembatas lingkungan militer. Dia berada di dalam lingkup tersebut. Dan dia melihat beberapa plat besi yang sudah korosi di bebatuan besar di luar batas pagar. Dia tertarik pada bebatuan yang cukup besar tersebut dan memutuskan untuk melompati pagar dan berjalan mendekati batu itu dan melewatinya. Menemukan pemandangan indah disana.
Dia menyempatkan juga untuk ber selca—self camera dan tersenyum sendiri. Meski keadaan disini jauh dengan di Korea, cukup menyenangkan untuk membangun kesan pertama di Urk. Setidaknya anginnya menyejukkan. Membuatnya duduk di belakang batu besar itu, menatap pemandangan alam yang indah dengan langit biru cerah tanpa awan.
Angin sepoy-sepoy itu membuatnya mengantuk dan memutuskan untuk memejamkan mata sejenak dibelakan batu yang memiliki cekungan cukup besar untuknya berteduh disana.
Tidak hanya dokter Julie, Dokter Kang berjalan-jalan di luar tenda sendirian sambil melakukan panggilan terlepon dan mengobrol bersama dokter Pyo melalui sambungan telepon. Dia berjalan ke arah belakang barak mendekati pagar pembatas yang tingginya tak lebih tinggi dari pinggang orang dewasa.
“Benarkan pria itu dan pacar Myeongju ada disana?”
“Ya, mereka bertugas disini. Aku gugup sekali di bandara tadi.” Dia mengadu. “Aku yakin dia mengingatku. Iyakan?” katanya meyakinkan diri.
“Tentu saja. Kalian memang sudah jodoh. Kalian akhirnya dipertemukan kembali,” kata dokter Pyo dengan berapi-api. “Kau bahagia tidak dipertemukan dengannya kembali?”
“Tidak sama sekali. Aku merasa kaku.” Dia mengingat pertemuannya dengan kapten Yoo di bandara dan di tempat mobil jeep terparkir tadi. Dia teringat wajah kapten Yoo yang datar dan tanpa perasaan membuatnya tak bisa menebak isi pikiran kapten Yoo dan membuat kapten Yoo seolah sudah melupakannya.