12 - Stay As You Are

418 35 4
                                    

Menurut Keya saat ini, ada perkataan Alvin yang terasa benar tetapi, entah kenapa pada satu sisi juga terdengar salah. Gadis itu berdeham sejenak sebelum ia menyampaikan apa yang dia rasakan atas penuturan Alvin sebelumnya.

"Mungkin lebih tepatnya, kita harus nerima penilaian orang lain karena itu punya tujuan buat bikin kita lebih baik lagi, kan?" Keya berdeham sejenak. "Yang aku tangkap dari ucapan kamu adalah, seharusnya kita gak usah minder..."

"Pada intinya, gak semua orang seneng atas diri lo," sela Alvin. "Lo nggak perlu untuk selalu jadi apa kata mereka dan apa yang mereka mau. Semua orang... juga punya selera dan penilaian relatif mereka masing-masing. Lo gak perlu untuk ngikutin gimana selera mereka," jelas Alvin dengan nada yang kelewat tenang.

Laki-laki itu mendesah pelan. "Oke, ucapan gue yang sebelumnya, emang, mungkin salah tafsir makanya lo sendiri salah tangkep." Alvin kini menatap tegas, gadis di depannya ini. "Intinya jadi diri lo. Karena yang gue tangkep, lo kayaknya, berusaha untuk jadi apa kata mereka sementara, sebenarnya ada kok, orang yang... suka dengan sesuatu pada diri lo. Lo nggak perlu bersusah payah buat muasin atau bikin mereka seneng. Dunia gak akan kelewat santai kalau lo ikutin kata orang..."

Beberapa detik kemudian, Alvin termenung, karena merasa bahwa dirinya, sudah banyak bicara hari ini. Laki-laki itu menunduk, lalu mengacak rambutnya—sebagai bentuk manifestasi kegusaran. "Gue ngebacot apa, sih..." gumamnya.

Namun, Keya tentu mendengar gumaman itu. Atensinya masih melihati ke Alvin yang mengacak rambut blondenya. Rambut laki-laki itu berantakan. Namun alih-alih terlihat jelek, menurut Keya laki-laki itu, jadi bertambah tampan.

Sadar akan pemikiran itu, Keya menggeleng pelan. Tanpa dia sadari kedua pipinya kini merona merah. Kenapa sempat-sempatnya berpikir seperti itu.

Alvin membuang nafas kasar, lalu berdiri dari duduknya. "Gue mau cuciin piring dulu, abis itu gue mau balik. Makasih buat makan malamnya..."

Saat Alvin bilang begitu barulah Keya tersadar dari lamunannya. Gadis itu buru-buru berdiri serta menyusul Alvin yang sudah membawa piring bekas makan dirinya sendiri dan dia juga. Laki-laki itu di bak cuci piring, hendak mencucinya.

"Vin, nggak usah dicuci. Biar sama aku aja." Keya mencegahi Alvin, yang sudah menghidupkan keran air juga hendak memakai sarung karet untuk mencuci. "Gimana pun, aku yang ajak makan malem maka dari itu, biar aku—"

"Justru karena itu, biar gue yang cuci," potong Alvin serius. "Lo tadi udah masak dan gue gak mungkin tinggal makan aja. Biar gue yang cuci."

Keya mundur selangkah saat melihat Alvin sekarang benar-benar memakai sarung tangan cuci dan mencuci peralatan bekas makan mereka. Sebenarnya gadis itu tak ingin Alvin mencucinya. Tapi melihat bagaimana Alvin benar-benar serius, Keya jadi urung untuk mencegahnya. Di satu sisi, dia juga terkesan dengan itu.

Gadis itu memalingkan muka. Lagi-lagi pemikiran lain tentang Alvin.

Setelah selesai mencuci, Alvin melepasi, sarung tangan karetnya. Laki-laki itu menaruh kembali sarung cuci pada tempatnya. Ia melihati Keya yang sekarang, tengah menunduk entah kenapa. "Keya, gue udah selesai nyucinya." Alvin merasa tak perlu mengatakan ini namun sepertinya ia harus. "Makasih buat makan malem lo. Lo gak usah minder karena masakan lo enak dan gue harap—"

"Kamu mau gak, kalau malam ini, kita jalan-jalan ke luar?"

***

Sesosok wanita paruh baya berkepala lima mendesah pelan saat melihat ke hamparan laut biru di depannya, yang hanya terbatasi oleh kaca jendela bening. Di bulan Juni seperti sekarang, kota Naiper di Selandia Baru mengalami musim yang lumayan membekukan, musim dingin. Suhu sekarang mencapai minus sepuluh, ia juga sudah memakai mantel dua lapis namun dingin masih sedikit terasa.

Wake Up and Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang