36 - Vienna

390 39 28
                                    

"Kak Alvin, gak mungkin jadi dalang dibalik pembunuhan berencana dari kakeknya sendiri, kan?"Keya menggeleng tidak percaya melihat tayangan yang di televisi panti yang sedang memperlihatkan persidangan kasus yang dilakui Alvin.

Di sebelah Keya, Bunda Kasih menggeleng sedih. "Bunda nggak tau, tapi, semua bukti udah mengarah kalau Alvin pelakunya, Key. Bunda gak tau kenapa... Nak Alvin harus berbuat seperti itu. Papa Varo dan Mama Yvone juga susah buat dihubungi, rasanya Bunda pun masih sulit menerima hal ini, gak hanya kamu."

Melihat Alvin yang menjadi tahanan dan akan mendekam di bui, gadis itu, sama sekali tidak bisa membayangkan. Kak Alvin pasti di sana akan kesepian, dia akan menderita, Alvin juga pasti di sana akan mudah sakit dan Keya tidak suka.

"Kalau Keya jadi ambil beasiswa ke Praha, gimana menurut bunda?"

Bunda Kasih yang asalnya sempat melamun, spontan melihat anak sulung di pantinya. "Kamu sungguh-sungguh mau ambil beasiswa di Praha itu, Keya?"

"Keya, rasanya sakit bunda, lihat Kak Alvin," ujar gadis itu pahit. "Keyra pikir, mungkin Keya harus menjauh. Pikiran Keya sekarang berantakan, Key gak mau memandang Kak Alvin negatif di saat sebenarnya dia nggak sejahat itu."

Sebelum bunda memberikan respon, Keya sudah bertanya lagi. "Jadi, apa boleh Keya berangkat? Keya janji akan kembali ke bunda. Maafin, kalau Key jadi anak bunda yang egois. Tapi Keya bener-bener butuh waktu untuk Keya sendiri."

***

Alvin menyesapi kopi americano sashet yang baru diseduhnya. Waktu kini menunjukkan pukul sepuluh pagi juga musim panas di Vienna, tidak berbeda jauh dengan musim panas yang ada di Praha. Sama-sama cerah, banyak orang di luaran sana yang menikmati momen musim panas mereka dengan orang terkasih ataupun keluarga mereka. Laki-laki itu dari balik jendela flat hanya menatap penuh iri.

Ya, setelah malam tiga hari lalu, Alvin memutuskan untuk pergi dari Praha ke Vienna. Jika dilihat dari segi jarak, Praha dan Vienna tidak begitu jauh. Hanya, laki-laki itu butuh jarak meski tak jauh untuk tidak bertemu lagi dengan gadis itu.

Entah sementara atau selamanya, Alvin tidak tahu. Yang pasti mereka saat ini, benar-benar butuh jarak, jangan bertemu dan mungkin sama-sama berpikir. Ia, tak akan tetap baik-baik saja serta keadaan mereka akan kembali seperti sedia kala jika dia tetap di sana, bertetangga dengan Keya—selalu bersama gadis itu.

Di Vienna, Alvin tinggal di sebuah flat, yang berada di sudut kata. Flatnya, tidak terlalu mewah, namun bisa dikatakan lebih bagus dibandingkan kamarnya di Praha kemarin. Flat ini terdiri dari enam lantai dan Alvin tinggal di lantai tiga juga kebetulan, lantai tiga selalu sepi yang tentu Alvin sendiri tidak akan begitu peduli.

Meski ada rasa sedih karena tidak akan menemukan tetangga seperti Keya.

Mengingat gadis itu membuat Alvin menggeleng dan menyesap kopi pahit yang kini malah terasa menjadi teman serta bagian dirinya. Laki-laki itu mendesah pelan. Niatnya pagi ini adalah ingin menelepon orangtuanya dan mengatakan, jika dirinya sudah tidak lagi di Praha melainkan berpindah pada negara tetangganya.

Semenjak dirinya di Praha kalau berkomunikasi dengan orangtuanya Alvin tidak pernah mau video call. Mungkin kedengarannya kekanakkan karena nanti, ia tidak yakin apakah bisa menahan kerinduan dan perasaan bersalah apabila melihat wajah kedua orangtuanya di sana. Alvin, tidak yakin. Oleh karena itu komumikasi diantara mereka selalu melalui sambungan telepon ataupun melalui via chat saja.

Menekan ikon berbentuk telepon di kontak dengan nama mama, sengaja ia mengaktifkan mode loudspeaker. Pada dering ketiga langsung terdengar sapaan di sebrang sana, suara mamanya yang sangat dia rindukan. "Hallo, Alvin? Kamu apa kabar di sana? Baik-baik aja? Sehat kan, nak? Kamu nggak telat makan, kan?"

Wake Up and Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang