18 - We Could Be In Love

378 32 11
                                    

"Kamu punya gitar?" tanya Keya basa-basi padahal dia sendiri sebenarnya sudah melihatnya. Keya berjinjit untuk melihat lewat bahu Alvin. "Apa kamu tadi, lagi mainin gitarnya, sebelum aku ngetuk pintu kamar dan ngasih nasgor?"

Alvin berdeham, lalu mundur selangkah. Entah kenapa melihat Keya tidak pergi sama sekali atau mengucap kata pamit membuat Alvin berpikir ada baiknya, jika dia menawari gadis itu untuk masuk dulu. "Mau masuk dulu? Gue tadi emang lagi main gitarnya dan iya, itu gitar punya gue," jelasnya singkat, padas dan jelas.

"Kalau, kamu nggak keberatan," ucap Keya percis gumaman tetapi sayang karena Alvin masih mendengarnya dengan jelas. Gadis itu mendesah pelan. "Aku, sebenarnya ngerasa bete di kamar sendirian. Butuh temen buat ngobrol—"

"Kenapa lo gak ketemuan aja, sama Rei, Kei terus Audy?" potong Alvin—benar-benar kelewat cepat. "Bukannya mereka temen-temen lo, ya?"

Sadar jika ekspresi Keya terkejut, Alvin spontan gelagapan. "Sori, gue gak ada maksud buat nyarkasin lo. Tapi, kalau memang lo beneran kesepian..."

Dalam hati Keya merutuki kenapa Alvin ini tidak peka sekali? Sebenarnya gadis itu punya alasan. Dia ingin mengobrol dengan laki-laki itu dan terlebih ingin menanyakan perihal judul novel laki-laki itu, membicarakan novelnya.

Jujur saja sejak jam sembilan pagi sampai jam dua siang, Keya berselancar di berbagai macam platform menulis di appstore atau web hanya agar menemukan cerita buatannya Alvin dan katanya, Jones itu adalah nama penanya.

Jika sedang benar-benar dilanda rasa penasaran, maka Keya tak segan buat melakukan hal nekat, asal masih berada di bawah aturan norma dan agama. Misal, seperti sekarang. Niat ke kamar Alvin dengan modus nasi goreng agar laki-laki itu mau memberitahu apa judul cerita buatannya dan ada di platform yang mana.

Satu sisi Alvin tengah berpikir apa sudah seharusnya dia mengusir si gadis mungil ini dari depan kamarnya? Tapi ada sisi lain yang mengatakan kalau dia tak sebaiknya mengusir Keya. Sempat terlintas pikiran buruk namun, dengan cepat, ia tepis pikiran itu karena rasanya sangat mustahil dilakukan. Gila memang.

Sekarang dia sedang belajar untuk tidak begitu lagi membatasi diri.

Dan dengan dirinya yang tidak menolak kehadiran Keya, adalah salah satu bagian dari hal itu. Memang, pikiran apa sih, yang sempat hadir dalam benaknya? Mustahil baginya untuk menghadapi bayangan yang nantinya menjadi nyata.

Kadang ada kalanya Alvin merutuki perasaannya sendiri, seperti saat ini—ketika pikirannya malah memikirkan hal yang seharusnya tak dia pikirkan.

"Sebenarnya, aku pengin ngobrol sama kamu, perihal novel-novel kamu."

Tidak mau terus terjebak canggung, mau tak mau Keya mengalah. Tampak Alvin dalam jangka waktu lama pun tidak akan peka jika terus diberi kode. Diam-diam gadis itu menghela nafas. Keya sempat melirik sekilas jika kini Alvin tengah mengangkat sebelah alisnya, mungkin heran dan Keya merasa sangat wajar.

Terdengar, helaan nafas kecil. "Masuk, Key," ucap Alvin pelan. Alvin kini sedikit bergeser, mempersilahkan Keya masuk dulu dan tak lupa menutup pintu.

Keya kembali melihat ke sekitar kamar Alvin. Ini, adalah kali kedua, gadis itu masuk ke dalam kamarnya Alvin. Jujur, kemarin dia tak begitu memperhatikan keseluruhan flatnya Alvin. Tapi sekarang, dia baru sadar jika flatnya Alvin sangat bisa dibilang lebih luas daripada flatnya. Sedetik kemudian dia meringis, karena ia sadar jika di flat laki-laki itu, tidak terdapat banyak barang seperti flatnya.

"Ngomong-ngomong, kamu waktu datang ke sini bawa apa aja?" tanyanya Keya karena tiba-tiba penasaran. "Flat kamu luas banget, daripada flat aku..."

Wake Up and Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang