28 - One Last Cry

414 35 9
                                    

Tolong komen yang banyak










Gadis itu mendesah pelan ketika melihat Henry yang sudah menghilang, di persimpangan jalan, karena belok kanan. Keya berjalan masuk ke flatnya. Obrolan malam mereka berakhir pada pukul satu pagi. Karena arah flat mereka searah, jadi Henry sekaligus mengantar Keya sebelum pulang ke flatnya, tentu saja.

Keya menapaki satu persatu anak tangga gedung flatnya dengan gontai. Ia, merasa ngantuk, lelah serta masih kepikiran juga, dengan nasib saudaranya Henry.  Dalam hati Keya berharap, kalau saudaranya Henry itu bisa sembuh juga Henry—bisa memberikan semangat karena kehadirannya laki-laki itu ke Indonesia.

Saat sudah sampai di lantai dua Keya terdiam sejenak. Tanpa bisa ia cegah kini, dia melihat pintu kamarnya Alvin yang tertutup. Mendesah pelan, Keya tahu, pasti laki-laki itu sudah tertidur. Yang perlu Keya lakukan sekarang adalah sama... seperti laki-laki itu. Terlebih niat tidurnya tadi sudah tertunda beberapa jam.

“Tolong jangan begini, Alvin minta maaf sama kakek. Ampun... Argh!”

Niat Keya yang hendak membuka pintu kamarnya terurung. Masih sengaja membiarkan kunci flatnya berada di lubangnya, buru-buru Keya mendekat, ke flat kamarnya Alvin, sekedar memastikan suara samar yang entah kenapa masih dapat dia dengar dengan jelas. Keya mendekatkan telinganya ke kamar Alvin. “Vin...”

Sedikit ragu tetapi pada akhirnya Keya mengetuk pintu kamar laki-laki itu. “Vin, kamu di kamar gak apa-apa, kan? Alvin, kamu baik-baik aja, kan?”

Karena tidak mau dibuat menduga dengan asumsi yang terus bermunculan, Keya mencoba membuka pintu kamar Alvin sedikit berharap peruntungan dan dia cukup bersyukur, ternyata pintu flat laki-laki itu sama sekali tidak dikunci.

Tanpa ragu Keya masuk, melihat Alvin yang tertidur di ranjangnya dengan bergerak gelisah juga peluh dan keringat yang mebasahi tubuhnya. Alasan kenapa, Keya berkata demikian karena gadis itu melihat kaos Alvin sudah basah. Laki-laki itu juga terlihat meracau di dalam impinya dan Keya sama sekali tidak tahu...

“Alvin minta maaf kakek, ini di luar kendali Alvin sepenuhnya, Alvin—“

“Alvin!” Bentak Keya tanpa sadar karena sudah terlampau gelisah melihat laki-laki itu yang terus bergerak gelisah dan terus meracau tanpa henti.

Karena bentakan Keya terlampau keras, gadis itu melihati, kini kedua mata Alvin secara perlahan mulai mengerjap, pertanda sadar ada yang mengusi tidurnya yang sebenarnya, tak pernah tenang. Karena takut Alvin akan kembali meracau, ia buru-buru menepuk bahu dan pipi laki-laki itu secara bergantian. “Wake up, Vin.”

Kedua mata Alvin spontan terbuka dan dia cukup terkejut ketika dia sudah membuka mata hal yang kali pertama dia lihat adalah Keya di hadapannya dengan ekspresi khawatir. Entah bagaimana caranya kenapa gadis itu ada di kamarnya.

Demi apapun, dada Alvin rasanya sesak sekali karena mimpi itu lagi-lagi... singgah tanpa salam yang tak pernah dia harapkan ada. Tanpa dia sadari, kini laki-laki itu merasakan jika kedua pipinya basah—Alvin sadar jika dia menangis.

Melihat Alvin yang kini menangis, Keya terhenyak. “Are you, okay...?”

Alih-alih menjawab, laki-laki itu memejamkan matanya, sehingga air mata itu kembali turun. Selain sesak, Alvin juga merasa pusing, serta kepalanya pening. Semua yang ada pada dirinya, terasa berantakan. Mulai dari pikiran, hati dan juga, perasaannya. Semuanya jadi terasa menyiksa, semuanya jadi terasa memuakkan.

Meski belum diizinkan, Keya memberanikan diri untuk duduk di pinggiran ranjang Alvin. “Alvin, can you wake up, please? Hai, kamu kenapa?”

Masih seraya memejamkan mata, Alvin menggelengkan kepala. “Gue, gak apa-apa. Gue udah biasa kayak gini setiap malam, gue udah keseringan begini—“

“Coba bangun, dan kamu tenangin diri kamu dulu,” potong Keya cepat. Di atas nakas sebelah ranjang Alvin, Keya melihat tidak ada segelas air. Keya berdiri, beranjak pergi ke dapur untuk mengambilkan Alvin air terlebih dahulu.

Ketika Keya menghampiri Alvin, gadis itu merasa lega sebab melihat laki-laki itu sudah duduk, meski kelihatan sedang melamun. Keya memberikan segelas air yang langsung diterima laki-laki itu meski sejenak, Alvin terlihat terkejut.

Setelah air di dalam gelasnya habis Alvin masih memegang gelasnya tanpa ada niatan, untuk menaruhinya di atas nakas. “Mau minum lagi, Vin?” tanya Keya karena berpikir pasti Alvin masih ingin minum makanya masih memegang gelas.

Laki-laki itu menggeleng masih seperti orang linglung. “Udah, gak,” sahut Alvin dengan suara pelan seakan-akan dia takut jika suaranya keras, kejadian pada mimpinya kembali hadir sehingga ketakutan kembali menerjangnya sekali lagi.

Keya paham. Alvin pasti, butuh berpikir. Gadis itu tanpa izin menggambili gelas yang dipegang Alvin dan menaruhnya kembali ke atas nakas. Setelahnya dia duduk di sisi ranjang untuk melihat Alvin yang lagi-lagi kembali melamun.

“Kalau aku boleh tau, tadi kamu kenapa?” tanya Keya pelan. Baru pertama kali, dia melihat Alvin begini. Seketika Keya ingat apa yang dikatakan Alvin, saat mereka meminum kopi setelah Alvin menemaninya untuk bermusik di stasiun.

Alvin mengajak rambutnya sekilas lalu menoleh. Tidak, ia bukan memiliki maksud merasa kesal karena Keya terlihat sangat ikut campur pada urusannya Tak berpikir bergitu hanya saja, dia berusaha mengusir bayangan dari mimpinya tadi.

Sebelum menjawab, Alvin menghela nafasnya sejenak. “Gue mimpi buruk kali ini tentang...” Tiba-tiba laki-laki itu merasa tercekat. “Kakek ada di mimpi...”

Beberapa detik kemudian, hening menyapa keduanya. Keyra yang terkejut dan Alvin yang masih berusaha menenangkan dirinya sendiri. Setidaknya, kali ini, jantungnya tidak terlalu berdebar keras seperti ketika dia baru banung tadi.

Cukup lama hening di pertengahan malam seperti ini sampa tiba-tiba Keya berbicara membuat Alvin kembali melihat gadis itu. “Itu cuman mimpi yang pasti, memang gak hanya sekedar mimpi aja. Aku tau susah bagi kamu buat biasa aja.”

“Di mimpi itu kakek kecewa dan gampar gue, apa gue punya alasan untuk, jadi biasa-biasa aja bahkan ketika gue tau itu mimpi, ketika gue udah bangun?”

Keya menarik nafas sejenak, dia tahu di posisi Alvin rasanya berat “Kutau, Vin. Aku tau tapi meskipun aku banyak omong pun, gak menjamin kamu bakalan, jadi baik-baik aja, kan? Aku sekarang memposisikan aku adalah kamu bukan saat, ketika aku bersama kamu. Aku berusaha pahamin kamu meski nggak mudah.”

Laki-laki itu menunduk, ada sedikit cahaya terang di atas gulananya ketika ia mendengar Keya memposisikan diri sebagai dirinya bukan sebagai sosok teman seperti gadis itu biasanya. Senang rasanya mempunyai teman yang memahami.

“Sekarang aku tanya, apa yang membuat kamu ngerasa lega ketika kamu... ada di posisi kalau kamu yang berbuat salah, Vin?” tanya Keya pelan.

Sesaat Alvin merasa bingung. Dia bingung bagaimana cara menjawab atas pertanyaan Keya karena pasalnya, Alvin sendiri tidak tahu apa jawabannya. Alvin, tidak pernah merasa bersalah selama hidupnya sebelum hidupnya berubah.

Karena paham jika Alvin kebingungan, gadis itu kembali berbicara. “Maaf kalau kesannya aku banyak bicara, tapi, aku harap kamu mungkin jadi punya, atau sedikitnya gambaran dari ucapanku, Vin.” Keya berdeham sejenak, sebelum gadis itu melanjutkan ucapannya. “Kalau aku pribadi ketika aku merasa bersalah karena apapun, siapapun, pun yang apapun itu intinya, saat aku udah minta maaf pada hal itu atau siapapun, sebisa mungkin buat gak ngulangin lagi terus melakukan hal-hal baik lagi, memperbaiki apa-apa aja yang udah jadi kesalahanku sebelumnya.”

“Misalnya, aku ngehilangin pulpen temanku. Aku, akan minta maaf ke dia, kalau dia gak terima maafku, it’s okay. Dia nerima maaf aku atau nggak, masalah-gak masalah pulpennya ilang sama aku, aku bakalan tetep beliin pulpen, aku ganti pulpen temanku yang hilang karena aku. Aku harus bertanggung jawab, aku harus ngembaliin apa yang sebelumnya aku buat salah, dan apa yang udah aku rusak.”

Keya melihat Alvin yang masih melamun. Namun gadis itu tersenyum, dia tahu meski begitu Alvin paham dan mendengarkan ucapannya. “Aku tau kalau ini, pasti gak seberapa sama masalah kamu. Tapi, ayo kita coba urain, Vin. Aku di sini bakal bantu kamu, meski gak banyak. Tapi kamu juga harus berusaha mau, kan?”

Kali ini Alvin kembali menoleh dan menatap Keya tak percaya. Dia sangat tak menyangka jika Keya akan seberusaha ini untuk, membuatnya baik-baik saja.

Dengan senyuman wajahnya, Keya kembali berbicara. “Aku yakin, kakek, kakekmu di atas sana, gak akan pernah punya niatan untuk menggampar kamu. Di dalam mimpi kamu kakek kamu mungkin ngelakuin itu tapi aku yakin sebenarnya kakek, kakek kamu gak bermaksud kayak gitu. Even, kakekmu pernah ngegampar sepupumu saat dia hidup, tapi aku yakin kakek gak bermaksud kayak gitu, Vin.”

Alvin masih melihat gadis itu. Memperhatikan bagaimana gadis itu bicara, bicara yang setiap katanya terasa menenangkannya, bicara seraya tersemyum pada dirinya meski cahaya kamarnya remang-remang, meski masa saat ini menunjukan tengah malam tapi kecerian gadis itu, tidak pudar atau berpendar sama sekali.

Laki-laki itu tidak tahu alasan paling kuat perihal, saat ini ia merasakan hal yang tak dia sangka sama sekali, sejak awal pun, yaitu, jantungnya yang berdegup tidak biasa hanya karena Keya di sisinya, bicara padanya, tersenyum padanya.

Sebelum Alvin gila, dengan cepat laki-laki itu mencium bibir gadis itu.

Wake Up and Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang