37 - Waving Through A Window

403 36 8
                                    

Meski memakai kacamata minus, Alvin tetap bisa melihat dengan jelas, di sana ada gadis yang pernah ia cintai, gadis yang membuatnya terpana, gadis yang, pernah melukai hatinya serta karena kecintaannya pada gadis itu sampai membuat, dunianya gelap dan berantakan. Gadis yang membuatnya cinta dengan pemikiran-pemikirannya, gadis yang tetap sarkas namun tidak sejahat yang oranglain lihat.

"Stefie!" Teriaknya, tidak peduli orang-orang kini merasa terganggu.

Si empunya nama yang sedang berdiri di depan etalase kue dengan sebelah tangan yang memegangi tangan gadis kecil yang entah Alvin tidak tahu siapa, kini melihat sekitar, celingukkan seperti orang bingung dan pertama kali selama Alvin kenal Stefie, laki-laki itu melihat dia terlihat sebodoh ini. Jarak antara teras kafe ia duduki dan etalase kue tempat Stefie dan anak kecil itu berdiri, tidak sejauh itu.

Ketika Alvin hendak memanggilnya lagi, baru Stefie melihat ke arahnya—Alvin bisa memastikan jika di sana pasti gadis itu tercengang, terkejut, aneh, tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. Alvin pun sama. Karena Stefie sudah melihatnya, laki-laki itu melambaikan tangan, meminta Stefie untuk kemari.

Tangan kiri gadis itu yang tidak memegang tangan anak kecil terangkat, ia membalas lambaian tangan Alvin sebelum mendekat ke laki-laki itu, dan duduk di kursi hadapan Alvin. Stefie yang masih menatapnya aneh, membuat Alvin sekedar basa-basi berdeham. "Hai, apa kabar? Lo mau pesen apa? Kali ini, gue traktir."

Memutar matanya jengah, yang khas Stefie sekali, Alvin terkekeh melihati itu. "Gue gak perlu basa-basi dan juga lo tau itu," ujar Stefie serius. "Gue tanya ke lo, gimana bisa lo ada di sini? Kenapa bisa lo ada di sini di saat lo harusnya—"

"Mendekam di penjara?" tanya Alvin geli. "Gue tau pasti lo bakalan tanyai ke gue hal yang to the point di sini. Santai, gue bakalan jelasin ke lo, karena, habis ini lo senggang, kan? Gue pikir, kita masih punya banyak waktu buat cerita."

Gadis itu mengedikkan sebelah bahunya. "Gue senggang, sampai sore, jam empatan." Stefie melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. "Sekarang, masih jam sepuluh siang. Lo masih punya banyak waktu cerita itu pun kalau-kalau kita... gak diusir sama pelayan kafenya karena udah terlalu lama di sini, menuhin aja."

Sudah bertahun-tahun tidak bertemu, membuat Alvin sadar jika gadis yang di hadapannya ini tidak berubah. Bedanya, rambut Stefie yang terakhir ia lihat itu, warna cokelat. Sekarang gadis itu mewarnai rambut sepunggungnya, warna hitam. Juga mungkin, nanti Alvin bisa bertanya perihal siapa gadis kecil bersamanya ini.

"Jadi, bisa gue tau kenapa bisa gue nemuin lo di sini?" tanya Stefie sarkas, karena jika tidak sarkas sama sekali bukan Stefie namanya. "Sumpah, Vin. Gue di sini beneran penasaran kenapa bisa liat lo, makanya gue samperin lo buat sekedar mastiin lo itu beneran atau gue memang ngeliat orang di Vienna yang mirip lo."

"Ini gue beneran Fie, lo bener-bener nggak ngenalin mantan tunangan lo?" Beberapa detik kemudian, Alvin tergelak karena baru sadar akan suatu pemikiran di sini. "Memang ada ya, mantan tunangan yang kayak kita atau kayak lo? Di sini, masih mau ngobrol, lo yang tetap sarkas ke gue kayak biasanya, lo apa adanya."

Pertanyaan Alvin yang tak berdasar, membuat Stefie mendengus. "Gue, ke sini juga karena penasaran apa bener, yang manggil dan gue liat itu Alvin? Gak lo perlu tanyain lagi, kalau lo di posisi gue jelas gue pasti aneh. Gak percaya. Karena sekarang gue udah tau, mendingan gue balik aja... bercanda," ujar Stefie garing.

Sebelum Alvin menanggapi ucapan Stefie, gadis kecil yang duduk tepat di sebelah Stefie, yang gadis itu bawa bersamanya, kini menepuk lengan gadis itu. Ia kini menatap Stefie memohon seraya menunjuk sesuatu, sesuai arah jam satu yang membuat baik Stefie atau Alvin, mengikuti arah pandang yang ditunjukkannya.

Wake Up and Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang