10 | Pilihan

3.3K 457 37
                                    

Di kamarnya, Mark termenung sembari menatap ke arah jalanan komplek. Mobil-mobil yang semula terparkir di rumah Yeri baru saja lewat lima menit lalu namun masih meninggalkan rasa penasaran dalam benaknya.

Apakah yang Lukman katakan benar? Ataukah hanya candaan semata?

Entahlah, setelah hampir sebulan mengenal Lukman agaknya laki-laki itu tak selalu serius dalam segala hal. Ia terlalu banyak bercanda. Seolah tak memiliki beban hidup.

"Gak baik ngelamun sore-sore," Mark tersentak begitu mendapati Jafar di kamarnya.

Ia menghampiri laki-laki yang berdiri di ambang pintu kamarnya ini dan mencium tangan pria itu sopan. "Baru pulang om?" Tanyanya basa-basi.

Jafar tersenyum tipis, "Dari tadi sih, tapi gak ada yang jawab salam sama sekali,"

Mark tersenyum canggung, sampai sebegitunyakah ia melamun hingga tak mendengar salam dari suami tantenya ini?

"Maaf om," sesalnya.

Jafar menggeleng dan menepuk pundak Mark pelan, "Gak apa-apa. Om paham kok gimana rasanya nikah tinggal beberapa bulan lagi. Om juga dulu gitu waktu udah ta'aruf sama tante kamu,"

Ia sedikit lega karena Jafar tak mencurigai hal lain.

"Udah ya, om mau mandi dulu."

Mark menghela nafasnya sembari menatap punggung Jafar yang kembali menuruni lantai dua karena kamar omnya itu ada di lantai dasar. Ia sedikit bersyukur karena Jafar tak mengetahui kegelisahannya akan hal lain.

Namun di sisi lain, ia harus berterima kasih pada Jafar karena telah mengingatkannya bahwa tak lama lagi dirinya harus memutuskan.

Khitbah atau berhenti.

"Orang tua itu gak pernah ngerti ya bang,"

Mark kembali di kejutkan dengan kehadiran Alvano di belakangnya. Ah, mengapa keluarga Mahendra ini selalu muncul tiba-tiba? Beruntung ia tak punya riwayat penyakit jantung.

"Lo, sejak kapan di sini?"

"Lah kan tadi gue bilang minta shampo sambil ikut keramas bang," Vano menunjukkan rambutnya yang basah dan handuk kecil yang tersampir di pundaknya. Remaja itu hanya mengenakan handuk yang dililit sebatas pinggang tanpa atasan apapun. Beruntung ia yang melihat, bukan Zainal ataupun Iyang.

Alvano berjalan menghampiri Mark yang masih berdiri di ambang pintu. Remaja itu tersenyum tipis dan menepuk pundak sepupunya itu pelan.

"Itu cuma acara pengajian," ucapnya pelan dengan senyuman khasnya seraya berlalu, kembali ke kamarnya untuk berpakaian.

Sadar akan maksud Alvano, Mark terkesiap dan mengalihkan pandang dari remaja itu. Agaknya sepupunya ini tahu betul sesuatu yang bergelut dalam pikirannya. Sekontras itu kah?



















•••















Setelah para tamu kembali ke rumah masing-masing, Yeri dan Haikal yang mendapat bagian bersih-bersih. Yah, selalu begitu sementara sang Umi sibuk membungkus makanan untuk dibagikan pada tetangga. Beruntung ada dua orang baru yang meringankan mereka. Lukman dan Iyang juga ikut serta dalam acara bersih-bersih ini.

"Ikal, nanti anterin ini ke rumah temen-temen kamu ya!" Titah Umi begitu melihat Ikal dan Iyang yang tengah duduk di sofa setelah memindahkan karpet yang sudah di gulung.

"Ngapain di anterin? Nanti juga mereka nyamperin sendiri karena tau ada makanan di sini," Ikal bergumam pelan. Berharap protesannya ini tak terdengar sang Umi.

Melamarmu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang