18 | Rindu

2.8K 472 132
                                    

***

Mark benar soal ia tidak kembali ke Bandung dalam waktu dekat. Buktinya, setahun sudah laki-laki itu tak datang berkunjung ke rumah tantenya lagi. Bahkan saat lebaran tiba pun, justru keluarga Mahendra lah yang ke Jakarta.

Perkara rindu jangan ditanya. Bahkan Yeri hampir tidak bisa tidur tanpa boneka pemberian Mark. Ia sudah mengusahakan diri untuk melupakan perasaannya pada laki-laki itu. Beberapa kali ia mengunci boneka itu di dalam lemari, beberapa kali pula ia mengeluarkan lagi boneka itu. Setidaknya, boneka itu bisa ia peluk ketika sedih.

Yang Yeri kira perasaan itu hanya datang sekilas, justru berkembang menjadi cinta seiring mengenal kelebihan sang pujangga. Perasaan asing yang sering mengusik diri itu kini justru tertanam begitu dalam. Jika biasanya jatuh cinta menjatuhkan, namun kali ini Yeri rasa menguatkan.

Semakin sering ia mengingat Mark, semakin sering pula ia mengingat Sang Pencipta. Mempasrahkan diri atas semua fitrah yang tak berkurang meski tanpa hadirnya.

B

aru setahun, belum sewindu. Namun rindu ini begitu menggebu. Dan perasaannya masih diliputi harapan semu.

Selama itu, ia hanya fokus pada bisnisnya. Mencari kesibukan yang bisa membuatnya lupa akan raungan batin. Meski hanya sejenak, setudaknya hari-harinya tidak melulu tentang Mark.

"Bisnis Teteh gimana?" tanya sang abi saat mereka berkumpul di ruang tengah.

"Sekarang lagi sepi, Bi."

Semua orang yang ada di sana menatap Yeri. Dari nada suara abi, terdengar begitu serius. Membuat mereka bungkam tanpa berniat masuk dalam obrolan ayah dan anak itu.

Haikal juga memilih berpura-pura tidak mendengar. Fokus pada layar ponselnya.

"Masih mau nunggu?"

Genggaman Yeri pada toples di pangkuannya mengerat.

"Rezeki gak datang gitu aja kalau tanpa usaha. Begitupula dengan jodoh. Kalau kamu masih suka nutup diri dan cuek kayak gini, mungkin kamu gak bakal nikah-nikah."

Di rasa obrolan ini semakin terdengar pribadi, Rausya memilih masuk ke kamarnya dan Haikal berakting sakit perut. Mereka tau, jika abi tengah serius bukan cuma satu yang di komentari, tapi mereka juga kena imbasnya.

"Abi udah kasih kamu kesempatan buat gak bakal jodoh-jodohin kamu lagi. Abi kasih kamu kesempatan buat cari jodohmu sendiri. Tapi ini udah satu taun, dan Abi liat gak ada perkembangan apapun. Usahamu juga gitu-gitu aja."

Yeri menunduk dalam. Orang tua, terkadang tidak mengerti apa keinginan anaknya. Padahal bagi Yeri, menikah bukanlah jalan keluar dari segala hal yang ada.

Abi menghela napasnya, di sebelahnya umi berusaha menenangkan. "Temen Abi punya anak lulusan Gontor. Lebih tua dua tahun dari kamu sih. Kamu mau, Abi jodohin sama dia?"

Yeri sedikit tersentak namun masih bungkam. Setelah setahun lamanya, kini sang abi sudah memilihkan calon suami lagi untuknya. Dan itu, sedikit asing baginya.

"Tapi dia gak mau ta'aruf, maunya langsung khitbah nikah. Kamu siap, kan?"

Yeri menarik napas dalam. Ia memejamkan mata, mensugestikan diri untuk melupakan semua hal tentang Mark. Tak ada gunanya menunggu, laki-laki itu pun belum tentu akan kembali. Kali ini Yeri akan menguatkan tekadnya untuk mengikhlaskan Mark. Melupakan semua perasaan yang sudah bersarang begitu lama.

"Apa yang menurut Abi baik, Riana ikut Abi aja!" ucapnya lirih kemudian undur diri untuk kembali ke kamarnya.

Di kamarnya, Yeri bersandar pada pintu. Menormalkan rasa sakit yang entah bagaimana bisa menderanya. Selama ini tanpa tahu kabar bahkan melihat Mark, bukankah seharusnya perasaan itu sirna?

Melamarmu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang