Sepanjang jalan pulang, Irene membisu seribu bahasa. Hal ini membuat Arham bingung. Kini ia merangkai kata yang tepat untuk menjelaskan bahwa ada aturan yang membatasi pergaulan antar laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Mereka tidak bisa bebas berkhalwat. Tidak boleh berbincang atau keluar berdua tanpa didampingi mahram.
"Teh ada niat nyantri di pondok nggak?" tanya Lia memecah keheningan.
Irene mengembuskan napas sejenak.
"Entahlah... Apa aku sanggup ya menjalani kehidupan di pondok..." Irene mengelus dagunya.
"Insya Allah sanggup. Sepertinya Irene udah mulai betah di pondok." Bibi Rohmah tersenyum menatap Irene.
Arham mengamati bayangan wajah Irene di kaca spion. Ekspresi wajahnya mendadak muram dan tak bersemangat. Ia pun sungkan untuk menanggapi perkataan Irene karena jelas Irene marah padanya.
"Lusa Irene mau balik ke Bandung, Bi." Irene membalas senyum Bibi Rohmah.
Arham tersentak mendengarnya. Entah bagaimana menjelaskan. Yang pasti perasaanya bercampur aduk antara kaget, sedih, atau harus bersyukur karena ia tak akan lagi menghadapi ke-absurd-an Irene. Ada sesuatu yang berkecamuk. Ia hanya bisa merutuki pikirannya yang dirasa mulai ngawur, jauh di lubuk hati ia ingin Irene tetap tinggal.
"Yah, kok cepet amat, Teh? Di Bandung Teteh kerja apa, sih? Kan udah lulus kuliah." Lia bertanya dengan polosnya.
"Hehee... Aku jualan buku, Lia," balas Irene.
Lia mengernyitkan alis, "Jualan buku di mana? Masa Teteh yang lulusan universitas Amerika jualan buku?"
Irene tertawa kecil, "Emang nggak boleh? Kan semua orang punya hak buat jualan buku. Aku itu suka baca buku, makanya jualan buku."
"Jualan itu pekerjaan yang halal, Lia, selama barang yang diperjualbelikan itu halal dan dengan cara yang halal juga jualannya. Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wassalam juga berdagang," Arham menanggapi.
Irene langsung terdiam begitu mendengar Arham bicara. Dalam hati, Arham bertanya-tanya, kenapa Irene tidak menanggapi ucapannya?
"Iya, Ustaz. Teteh Irene itu kan anak orang berada, tapi mau jualan buku. Lia salut," sahut Lia sembari tersenyum ke arah Irene.
"Bagus itu, artinya Irene itu mandiri, nggak mau tergantung sama orang tuanya. Kalau Irene tinggal di pondok lebih lama insya Allah cepet adaptasi karena biasa mandiri." Bibi Rohmah mengacak rambut Irene.
"Oh mandiri... Kalau lagi merasa takut, disogok mama sama es krim, es durian, atau es buah, itu termasuk mandiri nggak, yah? Casing-nya sih meyakinkan, terlihat sangar, mandiri... Faktanya...." Ucapan Arham menggantung di ujung.
Irene kesal mendengarnya. Biasanya ia membalas ucapan pedas Arham, tapi kali ini gadis tomboy itu memilih diam. Ia berjanji akan mendiamkan Arham. Ia akan mengesankan diri bahwa ia tak butuh Arham. Ia tak akan berbicara dengan Arham untuk memberi Arham pelajaran, bahwa Arham tak bisa memperlakukannya seenaknya, menjaga jarak seolah dia bakteri patogen yang harus dijauhi.
Arham menunggu reaksi lebih Irene, tapi wanita itu masih bertahan dengan kebekuannya.
Hingga tiba di pesantren, Irene sama sekali tak menatap Arham. Ia berlalu begitu saja dan terlihat benar, gadis itu berusaha menghindari kontak mata dengan Arham.
Arham punya ide cemerlang.
"Lia, tolong nanti jelaskan ke si Mas kenapa nggak boleh berkhalwat dengan yang bukan mahram."
Lia mengangguk. Tentu ia tak bisa menolak permintaan sang ustaz.
Lia menyusul Irene dan memintanya untuk datang ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Yuk, Mas!
General FictionRank #1 lifestory-09/09/2019 Rank #2 pondokpesantren-06/09/2019 Rank #3 lifestory-06/09/2019 Tentang Arham, ustaz alim, guru di pondok pesantren dan Irene, cewek tomboy nan bengal dengan segala ke-absurd-an-nya. Awas baper, heehe.. Ada lucunya, ada...