7. Sandal Pembawa Petaka

53K 5.5K 484
                                    


Maaf ya baru update, kemarin jalan kaki keliling kampung ikut karnaval. Malamnya capek, udah ngetik sedikit tapi terus ngantuk.

PLEASE BACA DULU

Oya berdasar suara terbanyak, pada gak mau panggilan Irene yang udah khas dipanggil "Mas" sama Us Us diganti. Please, ini cerita dari awal genrenya itu ada lucunya, ringan, dengan karakter2 tokohnya yang absurd, jadi nggak usah dibikin ribet hanya karena nggak sreg dengan panggilan khas masing-masing. Yang nggak sreg bisa dihitung jari, sebagian besar sreg dan fine2 saja. Kalau memang panggilan ini bikin nggak nyaman, ga ada paksaan untuk terus membaca cerita ini. Author udah usaha banget nyediain waktu, pikiran, n tenaga untuk menulis, jangan dibebani lagi dengan banyak permintaan hehehe.

Pengalaman sendiri dulu pernah ada yang manggil saya C.Ronaldo, CR7 karena saya suka Cristiano Ronaldo, nggak masalah kok. Pernah dipanggil "Bang Sandi", karena dulu saya tomboy dan gayanya katanya mirip bang Sandi, it's ok. Dipanggil Juve, juga pernah karena saya suka Juventus. Ada yang manggil "Tong" juga, teu nanaon. Sama Pak Guru Kimia pernah dipanggil "Mas" karena waktu itu rambut saya pendek banget. Saya nggak mempermasalahkan.

Selain panggilan yang absurd, karakter tokohnya juga suka absurd. Jadi kalau bilang ustaz Arham lebay sebagai seorang ustaz karena manggil Irene "Mas", dikembalikan lagi ke genre ceritanya. Ini bukan genre religi meski latarnya di pesantren dan dari awal genrenya campur2, ada lucunya, ada bapernya, ringan. Cerita yang absurd dengan tokoh yang absurd. Jangan dipandang terlalu serius. Karakter2 di ceritaku ini nggak ada yang sempurna. Emang seorang ustaz nggak boleh lebay, nggak boleh punya kekurangan? Manusia itu selalu punya kekurangan dan kelebihan. Dan aku nggak akan menggambarkan sosok yang sempurna.

Jangan lupa voment ya biar aku terus semangat hehe. Happy reading....

Irene mengikuti kegiatan rutin setiap Jumat pagi selepas Subuh, belajar membaca Al-Qur'an. Dia bisa membaca, tapi masih perlu dibenahi lagi tajwidnya. Pagi itu ia dan santriwati dewasa lainnya dibimbing oleh Ustazah Sabrina.

Irene begitu kagum dengan Ustazah Sabrina yang shalihah dan mampu membaca Al-Qur'an dengan sangat baik. Suara merdunya melantunkan ayat-ayat suci dengan begitu indah. Wajah yang cantik seakan lebih bersinar seiring dengan kecantikan hati yang ia miliki. Mendadak Irene merasa minder dan tidak memiliki kelebihan apapun dibanding Ustazah Sabrina.

"Alhamdulillah kita udah selesai mengaji. Terima kasih untuk yang sudah hadir. Kalian bisa kembali ke kamar masing-masing dan selamat beraktivitas. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap Sabrina mengakhiri acara pagi itu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab para santriwati.

Semua beranjak keluar dari ruangan. Di luar ruangan, Irene mencari-cari sandalnya. Tak ada yang tersisa. Apa mungkin sandalnya dipakai santriwati lain?

Sabrina yang melangkah belum jauh menoleh ke belakang. Ia mengamati ekspresi wajah Irene yang kebingungan.

"Irene, lagi nyari apa, ya?" tanya Sabrina dengan seulas senyum lembutnya.

Irene memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum, "Ini Ustazah... Sandal saya nggak ada..."

"Tunggu sebentar." Sabrina berjalan menuju loker sandal di dekat tempat wudu.

"Ini ada sandal Ustaz Arham. Bisa dipakai dulu." Sabrina menyodorkan sepasang sandal jepit berwarna biru tua.

Irene menerima sandal itu dengan kerutan dahi.

"Sandalnya Ustaz Arham kok ada di sini?"

Sabrina tersenyum, "Jadi gini, waktu itu ada kegiatan bakti sosial. Ustaz, ustazah, dan para santri berbagi rezeki ke rumah-rumah warga yang kurang mampu. Nah waktu itu sandal yang saya pakai lepas. Ustaz Arham minjemin sandalnya. Saya tadinya nggak enak, tapi akhirnya saya pakai sandalnya. Ustaz Arham jalan tanpa alas kaki. Kasihan juga lihatnya, terutama waktu jalan di atas kerikil."

Nikah Yuk, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang