14. Percikan Cemburu

50.3K 5.3K 295
                                    

Sabrina membaca sekali lagi coretan pena Arzan yang ditulis di halaman terakhir.

Aku tak menyesal mencintaimu.
Tak menyesal kendati mencintaimu itu menyakitkan.
Aku tak menyesal jatuh cinta padamu.
Tak menyesal kendati setelah jatuh padamu, hatiku telah mati.
Ya telah mati untuk melihat cinta yang lain.
Hanya namamu... Hanya namamu...

Aku tak tahu sampai kapan rasa ini bertahan.
Sementara mengharap kesempatan darimu, rasanya takkan terjawab.
Aku tak tahu sampai kapan aku memujamu.
Sementara di matamu aku hanya serpihan debu.

Biar saja seperti ini... Biar saja...
Asal bisa memandangmu, aku bahagia.
Biar saja seperti ini... Biar saja...
Kenangan tentangmu akan kusimpan.

Bukan tentang hari ini aku mencintaimu.
Bukan tentang kemarin aku merindukanmu.
Bukan tentang lusa aku mengharapkanmu.
Tapi tentang selamanya... Aku mendoakanmu...
Dan bahkan mau mencintaimu... Di saat engkau tak terlihat...

Sabrina mengusap sudut matanya. Ia tahu perasaan Arzan tak sedikitpun berubah untuknya. Ia selalu memandang pria itu sebelah mata. Namun ia juga lupa, hanya Arzan yang sanggup menerimanya bahkan di saat dia masih meredup dengan jiwa labilnya. Sabrina yang dulu teramat rapuh dan lemah, pesimis memandang hidup, dan terombang-ambing... Dan hanya Arzan yang melihatnya dari sudut yang berbeda.

Tanpa orang tahu, Sabrina memfoto copy buku Arzan dengan mesin fotokopi kantor. Ia simpan tulisan-tulisan itu. Ia hendak mengembalikan buku itu pada Arzan meski ada rasa canggung. Namun ia harus mengembalikannya. Ia meminta bantuan Bibi Rohmah untuk menemaninya ke counter. Sebenarnya ia bisa saja menyuruh santrinya untuk mengembalikan buku itu. Namun ia takut tulisan Arzan yang berisi tulisan pribadi itu dibaca oleh banyak orang.

Setiba di counter, hanya ada Arzan dan satu karyawan yang tengah menata kotak-kotak berisi handphone yang baru saja datang.

Arzan cukup terkejut melihat kedatangan Sabrina ditemani Bibi Rohmah. Sabrina menyodorkan buku itu pada Arzan.

"Buku kamu," ucap Sabrina datar.

Arzan menerima buku itu dengan ragu.

"Ini buku yang dipinjam Lia. Kenapa ada di kamu?" Arzan mengernyitkan dahi.

"Aku memergoki Lia sedang membaca bukumu di taman belakang saat jam belajar." Raut wajah Sabrina masihlah datar. Sikapnya pun begitu dingin.

Untuk sesaat keduanya terdiam. Kebekuan itu belum juga mencair. Sabrina membuang muka dan menatap ke sudut lain. Ia ingin segera pergi tapi ada sesuatu memberatkan langkahnya. Awalnya ia ingin memarahi Arzan karena ia pikir laki-laki itu sengaja mencari perhatian Lia dengan puisi-puisinya. Namun apa haknya untuk marah? Dan setelah membaca semua puisi Arzan, hatinya tersentuh. Amarahnya teredam.

Tanpa berkata-kata Sabrina berbalik. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal. Ada perasaan berat. Arzan memandang langkah Sabrina yang menjauh dengan perasaan tercabik. Gadis itu tak seketus biasanya. Gadis itu sedikit melunak. Dan sampai kapanpun ia tak akan berhenti untuk mengejar cinta Sabrina.

Ia teringat kala dulu mereka masih menjalin hubungan, Arzan kerap mengajak Sabrina berkeliling kota dengan motor. Sabrina harus mencuri kesempatan untuk bisa keluar dari pondok. Setiap kali gadis itu menangis karena bertengkar dengan orang tuanya, Arzan selalu menyediakan bahunya untuk bersandar. Hanya Arzan yang setia di sisi Sabrina bahkan ketika gadis itu mengalami perubahan mood yang drastis atau tertekan dengan segala permasalahannya.

Hingga detik ini perasaan itu masih tersimpan. Arzan merasa sekarang saat yang tepat untuk mengambil langkah ekstrim, melamar Sabrina meski harus dihadapkan dengan penolakan.

Nikah Yuk, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang