6. Kerikil

55.8K 5.7K 282
                                    

Irene cukup nyaman tinggal di kamar barunya yang berukuran cukup sedang, tidak sempit, juga tidak terlalu luas. Di dalam kamar ada empat ranjang, yang artinya ada empat penghuni. Karena Irene masuk ke kelas santri dewasa, ia tinggal dalam satu kamar dengan para santri dewasa lainnya. Ada mahasiswi asal Cilacap bernama Pita, kasir minimarket asal Bumiayu bernama Rini, juga guru TK asal Ciamis yang biasa dipanggil Andin.

Kelas santri dewasa tentu beda dengan kelas santri usia sekolah. Memang ada kelas pagi dan sore, tapi untuk santri dewasa tidak terikat harus mengikuti kelas karena banyak yang bekerja atau kuliah di pagi hingga sore. Biasanya mereka baru mengaji sore atau malam.

Pagi ini Irene belajar mencuci baju. Semua santri harus bisa mencuci baju sendiri, manual ngucek tanpa mesin. Ada tempat mencuci baju massal yang lokasinya dekat kamar mandi. Berhubung Irene belum pernah mencuci manual sebelumnya, ia akan dibimbing Bi Rohmah. Irene diajari cara mencuci baju dengan sabar oleh wanita paruh baya itu.

"Neng, kalau nyuci baju kemeja, kerahnya dioles sabun colek terus dikucek biar dakinya ilang." Bi Rohmah memberi contoh cara mengucek baju.

Irene memperhatikan gerak terampil jari-jari Bi Rohmah. Mencuci baju manual memberikan pengalaman tersendiri bagi Irene. Air sabun yang mengenai tangannya sedikit membuatnya gatal, tapi dia yakin bisa beradaptasi dan lama-lama akan terbiasa.

"Ini dikuceknya berapa lama, Bi?" tanya Irene sembari mengucek bajunya.

"Ya kalau sudah dirasa bersih ya berhenti," balas Bi Rohmah yang mengagumi tekad Irene untuk mau belajar.

Irene mengangguk, "Asik juga ya, Bi. Sambil main air," Irene terkekeh.

Bi Rohmah tertawa kecil.

"Neng Irene ini lucu. Di rumah pasti bajunya dicuciin asisten semua ya, Neng? Sekarang di pondok Neng harus mandiri ngerjain semua sendiri. Makan seadanya, tidur di kamar yang sederhana, harus berbagi sama empat orang, kamar mandi juga makai bareng-bareng dan suka antri. Nggak bebas main di luar, nggak bebas main hp. Meski kalau santri dewasa itu masih boleh megang hp karena rata-rata pekerja dan nggak terikat sekolah di sini kayak santri pelajar yang lain, tapi tetap kalau lagi ngaji, nggak boleh main hp. Mudah-mudahan Neng betah, ya." Bi Rohmah memperhatikan cara Irene mencuci baju. Terlihat benar gerak tangannya masih kaku.

Irene tersenyum, "Aamiin. Alhamdulillah teman-temannya asik-asik. Pengurusnya juga asik-asik, jadi Irene betah di sini."

"Apalagi ada Ustaz Arham, ya?" Bi Rohmah cekikikan.

Seketika semburat merah menyapu pipi Irene.

"Ih, Bibi bisa saja." Setiap mendengar nama Arham disebut, dada Irene berdebar tak menentu. Inikah cinta? Mendengar namanya saja sudah bergelora aneka rasa tak terdefinisikan. Ada debaran tak menentu, ada getaran yang menyapa, ada desiran yang membuatnya semakin deg-degan, juga gugup yang tak bisa dicegah. Irene menikmati segala sensasinya.

Seusai mencuci baju, Irene menjemur baju di halaman belakang. Tiba-tiba ia mendengar obrolan para santriwati yang tengah duduk-duduk di taman belakang. Letak taman itu di samping kanan tempat jemuran, tapi ada tembok yang memisahkan dan satu celah untuk lalu lintas para santriwati.

Samar-samar, Irene mendengar perbincangan itu.

"Beruntung banget ya santriwati baru itu, yang tomboy itu. Katanya sih lagi dekat sama Ustaz Arham. Mau nikah katanya." Ucap salah seorang santriwati.

"Lho, bukannya Ustaz Arham itu katanya dijodohkan sama Ustazah Sabrina, ya?" timpal yang lain.

"Itu kan baru rumor. Orang nyatanya waktu itu orang tua siapa itu yang tomboy?"

Nikah Yuk, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang