8. Potek 💔

54.6K 6.7K 479
                                    

Kemarin ada yang ngira kalau nulis di wattpad itu dibayar. Nggak ya, sama sekali gak dibayar. Makanya cara terbaik mendukung author untuk terus berkarya di wattpad itu ya dengan memberi support. Minimal kasih voment ya. Aku yakin setiap perbuatan baik, sekecil apapun ada ganjarannya. Termasuk menghargai dan nyenengin authornya dengan memberi vote dan komentar, mudah2an jadi kebaikan untuk kalian. Dan dengan menulis cerita yang minimal bisa menghibur pembaca juga bisa menjadi kebaikan untukku. Aamiin.

Irene mematut diri di cermin, menelisik bayangannya dari ujung atas hingga ujung bawah. Ia memastikan apakah dirinya sudah terlihat lebih anggun dengan kerudung biru muda yang dibelikan mamanya. Sungguh, dadanya berdebar dan deg-degan bukan kepalang. Hari ini orang tua Arham akan bertandang ke pesantren untuk bertemu dengannya.

"Ren, kok kamu nggak ikut kajian pagi tadi? Malah ngaca, pakai kerudung baru. Ganjen amat." Rini menggeleng dan berdecak.

"Sesekali absen nggak apa-apa, kan? Aku lagi nggak fokus hari ini. Deg-degan," balas Irene sembari mengamati bayangannya di cermin.

"Deg-degan kenapa?" Rini mengernyitkan alis.

Irene berbalik dan menatap teman sekamarnya.

"Orang tua Us Us mau datang ke sini. Rasanya gugup mau ketemu calon mertua." Irene mengusap sedikit peluh yang mengucur dari dahi.

"Ciyeee... Mau didatengi sama calon mertua. Santai aja Teh Irene. Yang penting penampilan harus meyakinkan. Yang anggun, santun, setiap orang tua pasti luluh kalau lihat perangai calon menantu yang santun." Pita, anggota termuda di kamar itu ikut bersuara.

"Bocah kemarin sore pinter juga ngasih masukan," Rini menyeringai.

Semua yang ada di kamar tertawa.

"Ya bisa dipikir pakai logika lah. Orang tua pasti ingin anaknya dapat istri yang baik dan sopan santun," tukas Pita sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.

"Aku rada trauma dikenalin sama calon mertua gitu," Andin menerawang ke luar jendela kamar seakan memikirkan beban yang sangat berat.

"Trauma kenapa?" Irene penasaran juga dengan pengalaman buruk guru TK itu.

"Jadi dulu ada laki-laki yang serius ingin meminang. Sebelum melamar, dia ngenalin aku ke orang tuanya. Sebenarnya sih nggak ada masalah. Aku pikir orang tuanya nggak keberatan dengan rencana anaknya yang ingin menikahiku. Tapi, sebulan kemudian aku denger dia nikah sama cewek pilihan orang tuanya. Nyesek banget kalau ingat." Mata Andin berkaca mengingat kegagalan kisah cintanya.

"Haduh miris banget ya. Sabar ya Mbak Andin. Insya Allah nanti dapat gantinya," Pita menepuk bahu Andin pelan.

"Sebenarnya sih ada yang lagi deketin. Tapi jujur, ada rasa trauma. Takut kalau berakhir dengan kegagalan lagi. Selama aku hidup, aku baru pernah dekat sama dua cowok. Pertama ada status pacaran. Waktu itu aku belum hijrah. Kedua yang tadi aku bilang, udah hampir lamaran terus nggak jadi. Pengalaman pertama, pacaran pas awal kuliah. Awalnya aku nggak mau, dia ngejar-ngejar terus. Kayak yang cinta mati, kalau bahasa gaul sekarang, bucin gitu lah. Lama-lama aku mau, kan. Eh udah jalan setahun, pas aku lagi cinta-cintanya, dia selingkuh." Andin merapikan kerudungnya. Ia bersiap-siap berangkat.

"Duh yang bucin itu aja bisa selingkuh. Jadi inget dua pasangan artis terkenal Korea yang juga bercerai. Nyatanya oppa-oppa yang sweet di drakor, di real malah nyerein istrinya. Katanya bucin, tapi nyerein. Apalagi kalau alasannya karena  istri udah nggak seksi lagi, ampun dah." Rini menggeleng.

"Kok bisa gitu, ya? Padahal kalau lihat pasangan artis itu serba serasi dan sempurna. Ganteng dan cantik, sama-sama kaya, sama-sama terkenal." Pita mengelus dagunya.

Nikah Yuk, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang