Arham dan Irene menginap semalam di rumah orang tua Arham sebelum ustaz muda itu bertolak ke Semarang. Di saat yang sama Sabrina dan Arzan juga menginap. Setiap akhir pekan, dua pasangan itu memang sering menyempatkan waktu mengunjungi orang tuanya.
Sabrina dan Arzan yang baru saja mendapat kabar baik sehari yang lalu terlihat berseri-seri dan semakin mesra. Dokter menyatakan Sabrina positif hamil. Kebahagiaan tak hanya menyelimuti perasaan sepasang suami istri itu, tapi juga dua pihak keluarga, dari keluarga Sabrina maupun Arzan.
Perhatian ekstra tercurah untuk Sabrina. Marini selalu menyediakan makanan kesukaan menantunya. Apalagi morning sickness kerap menerjang. Satu keluarga dibuat rempong jika Sabrina muntah banyak dan ngidam makanan yang langka.
"Gimana keadaan kamu sekarang, sayang?" Arzan memijit-mijit tengkuk sang istri yang tertutup kerudung. Ada Irene, Arham, dan kedua orang tuanya juga.
"Masih enek rasanya. Jadi pingin yang seger-seger." Sabrina mengeructkan bibirnya. Sejak hamil, ia sering kali bersikap manja pada sang suami, nggak mau ditinggal, maunya ditemani terus.
"Kasihan sayangku, mual-mual terus. Nanti Mas beliin buah yang seger, ya." Arzan melebarkan senyumnya, berharap buah yang segar dapat menetralkan rasa mual yang menyiksa.
"Pingin kelapa muda juga..." Sabrina kembali merajuk.
"Okay, nanti dibelikan juga."
"Beli juga untuk Irene ya, Arzan. Ibu perhatiin Irene agak pucat, nih." Marini melirik Irene yang memang terlihat kurang sehat.
"Iya, insya Allah, Bu. Nanti Arzan beliin untuk semua keluarga. Ya udah, Arzan pamit dulu." Laki-laki itu mengecup kening sang istri lalu berpamitan untuk membeli buah-buahan dan kelapa muda.
Selanjutnya, Irene, Marini, dan Sabrina memasak bersama untuk makan siang. Di dapur, Sabrina kembali mual-mual terlebih saat mencium aroma bawang.
"Mbak, lebih baik istirahat aja, dari tadi mual-mual terus." Irene menelisik wajah Sabrina yang pucat. Sejak pernikahan itu, Irene membiasakan diri memanggil Sabrina dengan sebutan "Mbak" karena Sabrina adalah istri dari kakak iparnya.
"Iya, Ren, rasanya enek banget. Nggak tahan sama bau bawang."
"Orang hamil rasanya begitu, ya? Meski sering mual tapi seneng, kan? Aku juga pingin cepat hamil." Irene tersenyum sembari mengamati perut Sabrina yang belum terlihat buncit.
"Mudah-mudahan kamu segera menyusul, ya. Insya Allah nanti juga akan merasakan. Yang penting terus usaha dan doa." Sabrina menyunggingkan segaris senyum.
"Iya betul kata Sabrina. Harus terus berusaha dan berdoa. Allah pasti akan memberi di saat yang tepat," lanjut Marini.
Irene mengamini apa yang dikatakan ibu mertuanya. Semua hanya soal waktu. Jika Allah sudah berkehendak, maka terjadilah. Ia dan Arham hanya perlu bersabar menunggu sembari terus berikhtiar dan berdoa yang terbaik.
Malamnya Irene membantu Arham mengepak baju-baju untuk dibawa ke Semarang. Irene lebih banyak diam. Berat rasanya membayangkan terpisah sementara dari Arham. Mamanya bilang, "Cuma dua malam, Irene. Nggak bakal kerasa." Begitu cara sang mama menghibur putri bungsu. Kabar bahagia dari kakaknya membuatnya bisa sedikit melengkungkan satu senyum. Mayaza akan bertunangan dengan anak salah satu teman orang tuanya.
"Sayang, dari tadi diem? Tenang aja, kita jauhan cuma bentar. Nanti Us Us bakal terus ngubungin Mas Irene tersayang selama berada di Semarang." Arham menyila rambut Irene ke belakang telinga.
Irene masih memasang tampang "duck face" khas dirinya saat sedang merajuk.
"Tapi rasanya begitu lama... Irene bakal kesepian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Yuk, Mas!
General FictionRank #1 lifestory-09/09/2019 Rank #2 pondokpesantren-06/09/2019 Rank #3 lifestory-06/09/2019 Tentang Arham, ustaz alim, guru di pondok pesantren dan Irene, cewek tomboy nan bengal dengan segala ke-absurd-an-nya. Awas baper, heehe.. Ada lucunya, ada...